Laporan Wartawan GridHot.ID, Siti Nur Qasanah
GridHot.ID - Sejumlah massa terlibat unjuk rasa di depan Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Sabtu (14/9/2019) sore.
Menggelar aksi unjuk rasa guna mendukung revisi UU KPK, massa pendemo rupanya berasal dari berbagai kalangan dan berbagai daerah.
Dilansir GridHot.ID dari Wartakotalive.com, seorang pendemo bernama Arief (15) mengaku ikut aksi karena diajak oleh seorang temannya yang sama-sama berasal dari kampung Pulo, Jakarta Timur.
"Iya ikut ini, dijanjiin dibayar Gocap (Rp 50 ribu) setelah bubar," ujarnya.
Arief mengaku tak begitu memahami apa yang disampaikan oleh massa.
"Ya gitu aja dukung Jokowi revisi UU," ucapnya.
Remaja lain dari kelompok massa lainnya yang ditanya, juga enggan menjawab pertanyaan yang sama.
Mereka hanya menjawab diajak oleh orang dewasa dalam aksi hari ini.
Namun dari sejumlah informasi di lapangan, massa dibayar bervariasi mulai dari Rp 50 ribu hingga Rp 300 ribu.
Diwartakan Tribunnews.com, utusan Open Government Partnership sekaligus Kordinator Nasional Lembaga Publish What You Pay Indonesia, Maryati Abdullah mengkhawatirkan fenomena pendemo pro revisi Undang-Undang KPK yang mengaku dibayar
Baca Juga: DPR Tetapkan Firli Bahuri Sebagai Ketua KPK yang Baru, Saut Situmorang Langsung Mundur dari KPK
Ia juga mengaku merasa sedih karena ada kelompok masyarakat ekonomi lemah yang diperlakukan seperti itu.
Menurutnya, fenomena pendemo bayaran tersebut adalah pembodohan demokrasi sekaligus kemunduran demokrasi.
Tidak hanya itu, ia juga melihat fenomena itu adalah potret ekonomi di Indonesia yang menunjukan ketimpangan sosial yang masih tinggi.
Hal itu disampaikannya saat konferensi pers Aliansi Masyarakat untuk Keadilan Demokrasi (AMUKK) di Jakarta Pusat pada Minggu (15/9/2019).
"Saya sedih kalau ada kelompok masyarakat yang dibegitukan. Artinya kan mereka butuh pendapatan. Butuh uang makan harian dan sebagainya dan itu adalah potret ekonomi kita yang timpang dan itu ada di sekitar Jakarta artinya di Ibu Kota," kata Maryati.
"Itu fenomena yang menurut saya semacam pembodohan demokrasi. Orang demonstrasi tapi dibayar. Kemudian dia tidak paham substansinya dan itu benar-benar kemunduran,"sambungnya.
Ia sendiri mengaku tidak tahu siapa yang ada dibalik para pendemo yang mengaku dibayar tersebut.
Namun menurutnya, hal itu menjelaskan bahwa ketimpangan ekonomi dapat membuat kelompok-kelompok masyarakat ekonomi menengah ke bawah akan percaya kepada uang dan kekuasaan.
"Dan dengan ekonomi yang timpang itu berbahaya, karena mereka akan percaya kepada uang, siapa yang bayar dan kedua kepada siapa yang punya power (kekuasaan). Power itu macam-macam bisa senjata, politik, dan sebaginya," kata Maryati.
Menurutnya, dalam hal ini kualitas masyarakat dalam berpartisipasi dalam demokrasi menjadi tidak bebas karena masyarakat tidak punya pikiran orisinil, tidak dilindungi, dan berada di bawah pengaruh atau tekanan uang dan kekuasaan tersebut.
"Dan nanti bisa jadi saya juga khawatir hal-hal seperti itu menyebabkan masalah-masalah lain, konflik, politisasi agama. Kan itu sudah muncul dari adanya "kebodohan", informasi asimetrik, uang, dan sebagainya," kata Maryati.
Ia pun menilai fenomena tersebut adalah sebuah anomali dalam demokrasi karena kebebasan warga negara dan suara masyarakat jadi terhalangi karena bayarannya.
"Itu demokrasi yang tidak sehat. Itu tidak boleh. Kita khawatir ekonomi turun, orang-orang miskin dan pengangguran itu dimobilisasi untuk menciptakan chaos politic dan demokrasi. Tidak boleh," kata Maryati.
Untuk itu menurutnya, para tokoh perlu menyatakan pendapatnya secara tegas terkait situasi tersebut.
"Jadi saya tidak berharap itu terjadi. Jadi memang kita membutuhkan tokoh-tokoh yang punya statement tegas. Pak Jokowi harus punya statement tegas. Saya tidak mau melemahkan KPK dan sebagainya," kata Maryati.
(*)