Laporan reporter Gridhot.ID, Nicolaus Ade
Gridhot.ID- Impian seseorang untuk menjadi orang sukses pasti akan selalalu diusahakan supaya akhirnya tercapai.
Jalan menuju kesuksesan setiap orang pun berbeda-beda dan tak ada yang bisa memprediksinya.
Ada yang melalui dari jalur kariernya, pendidikan, berdagang, hobi, atau bahkan sekedar iseng iseng yang ditekuni.
Sebuah kisah inspiratif soal kesuksesan belakangan ini dibagikan oleh seorang pria asal Sumatera Utara yang tak menyangka hidupnya bisa berbalik 180 derajat lebih baik.
Marsius Sitohang, tak pernah menyangka perjalanan hidupnya telah membawanya melanglang buana hanya karena kecintaannya terhadap budaya daerah asalnya.
Pria yang berasal dari Kampung Palipi, Kecamatan Palipi, Kabupaten Samosir ini sempat dianugerahi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI sebuah penghargaan maestro seni tradisi pada tahun 2013 lalu.
Dilansir dari laman Kebudayaan.kemendikbud.go.id, Marsius hanya menempuh pendidikan resmi sampai kelas 2 Sekolah Rakyat (sekarang Sekolah Dasar).
Hal tersebut membuatnya tak telalu paham membaca dan menulis, namun tidak menyurutkannya dalam melestarikan seni tradisional.
Marsius sejak kecil telah menggeluti opera Batak terutama alat musk tradisional berupa seruling.
Kerap Marsius kecil menghabiskan waktunya memainkan seruling dan belajar secara otodidak maupun kepada orang-orang di kampungnya di Palipi daerah danau Toba.

:quality(100)/photo/2019/09/18/71433961.jpg)
Kisah Marsius Sitohang, Tukang Becak Tak Tamat SD Namun Jadi Dosen di Univeristas Sumatera Utara
Permasalahan ekonomi yang ia hadapi mengharuskannya untuk berani merantau ke Kota Medan untuk mencari lapangan pekerjaan.
Namun keahlian dalam hal opera Batak terutama musik seruling tersebut tak ia tinggalkan sampai di Medan.
Sebab darah seni telah mengalir dalam dirinya karena ia lahir dari keluarga seniman opera Batak dan dari jalur itulah kelak membuat jalan hidupnya berubah 180 derajat.
Pria kelahiran 1 April 1953 sempat menjajaki profesi sebagai pengayuh becak di Kota Medan.
Hanya berselang satu tahun saja profesi tersebut ia jadikan sebagai pegangan hidup kala merantau ke kota.
Suatu ketika, awal tahun 1980-an Marius yang tak meninggalkan opera Bataknya walaupun berada di Kota Medan.
Dikutip dari laman Kebudayaan.kemendikbud.go.id, ia diundang dalam sebuah seminar tentang musik tradisional yang diadakan di Taman budaya Medan, pada kesempatan itu Marsius beserta 5 orang pemain musik tradisional lainnya diperkenankan tampil.
Marsius Sitohang dan grup musiknya.
Rizaldi Siagian MA, seorang ahli musik tradisional (etnomusikolog) sekaligus tenaga pengajar tetap di jurusan etnomusikologi Fakultas Satra Universitas Sumatera Utara (USU) melihat keahlian Marsius dalam bidang musik tradisional langsung berdecak kagum.
Seusai penampulan tersebut Rizaldi menemui Marsius dan menawarkannya sebagai tenaga pengajar pembantu di USU.
Kebetulan waktu itu mata kuliah praktek pertunjukan dari Batak Toba di jurusan Etnomusikologi USU sangat lemah.
Sehingga melalui Surat keputusan (SK) rektor USU, pada waktu itu Prof DR AP Parlindungan SH, salah satu pendiri jurusan musik tradisional di USU, maka diangkatlah Marsius Sitohang menjadi tenaga pengajar luar biasa dengan status honorer.
Sejak diangkat menjadi dosen di sana pada 1984, nama Marsius pun semakin dikenal luas.
Nada musik yang dimainkannya hampir mirip gaya musik Amerika Latin namun dimainkan dengan alat musik Batak Toba.
Dengan bekal kemahiran meniup sulim - seruling tradisional Batak, Marsius Sitohang telah mengunjungi beberapa negara di benua Asia, Eropa, dan Amerika di sela-sela tugasnya menjadi staff pengajar di USU, Medan.
Marsius Sitohang maestro musik tradisional Batak
Namun Sebelum mencapai titik tinggi kariernya tersebut ia sempat terseok-seok ketika awal menjadi di USU.
Sebab ia hanyalah seorang staf pengajar honorer dan hanya mendapat bayaran sebesar Rp 24.000 kala itu.
Dilansir dari akun Facebook Perpustakaan Nasional RI, bahkan ia sempat menerima kisaran honor Rp 16.000 per bulan saat semester genap tahun 1986/1987.
Uang yang tak seberapa itu tak dapat menutupi besarnya biaya hidup yang harus ia tanggung bersama istri dan keempat anaknya.
Namun kegigihannya dalam melestarikan musik tradisional Batak Toba berbuah hasil yang luar biasa.
Bahkan Harian terkemuka Amerika Serikat The New York Times edisi 19 November 1991 bahkan pernah mempublikasikan pertunjukan Marsius dengan sesama pemusik tradisional lainnya. (*)