Laporan reporter Gridhot.ID, Nicolaus Ade
Gridhot.ID-Navy Seal dikenal sebagai pasukan khusus militer Amerika Serikat yang kemampuannya tak diragukan lagi.
Pasukan ini sering diterjunkan dalam misi-misi khusus jika Amerika sedang menghadapi ancaman.
Dengan kemampuan dan intelejensinya di atas rata-rata, pasukan ini hampir selalu berhasil dalam menjalankan misinya.
Namun bukan berarti pasukan ini juga tak pernah gagal.
Mereka pernah mengalami kekalahan dan berhasil dipukul mundur pada Oktober 1983 saat terjadi krisis politik di Grenada tanpa terdeteksi oleh intelijen AS.
Krisis Grenada makin makin memanas setelah dipicu pembunuhan Perdana Menteri Maurice Bishop oleh pasukan pemberontak People Revolution Army (PRA).
Akibatnya nyawa ribuan warga AS di Grenada ikut terancam.
Pemerintah AS kemudian segera mengirimkan kekuatan militer ke negara yang mulai dikuasai komunis itu.
Sejumlah pasukan khusus seperti Ranger, Delta Force, dan Navy SEAL diturunkan.
Seperti biasa SEAL mendapat tugas melancarkan pengintaian kawasan pantai, sabotase pangkalan militer , demolisi (penghancuran), dan tugas yang sebenarnya bukan porsi SEAL.
Yakni melaksanakan evakuasi sejumlah pejabat penting. Sesuai rencana SEAL akan disusupkan melalui udara dan laut.
Operasi awal SEAL dimulai pada 25 Oktober 1983 dengan target menyusup ke kawasan bandara Point Salines dan memandu pasukan yang kemudian datang menyerbu, yaitu Rangers.
Untuk menyusupkan SEAL, rencananya sejumlah personel dari Team SEAL 6 akan diterjunkan dari C-130 Hercules ke laut dan setelah itu bergerak menyusup menuju daratan.
Pada hari H di tengah kegelapan malam pesawat C-130 terbang pada ketinggian 500 kaki (sekitar 152 meter) dan tak lama kemudian SEAL melompat keluar.
Meskipun telah menjalani latihan khusus, penerjunan pada malam hari dan mendarat di air laut bergelombang besar itu ternyata memberi masalah bagi SEAL.
Akibat banyaknya perangkat tempur yang harus dibawa, empat SEAL justru terjerat parasut dan hilang tenggelam.
Musibah tak terduga itu mengakibatkan misi dibatalkan dan SEAL yang selamat diperintahkan berenang menuju kapal penjemput untuk selanjutnya diangkut ke AS.
Membawa beban terlalu berat untuk melakukan penerjunan di air laut memang sangat berbahaya dan itu jelas karena keteledoran personel SEAL sendiri.
Pasukan khusus sehebat apapun jika melakukan kesalahan, meskipun sepele, di lokasi yang merupakan bukan habitat manusia, yakni di air dan udara resikonya adalah mati konyol.
Pasalnya personel pasukan khusus yang sudah susah payah dilatih agar tetap hidup setelah melaksanakan misi tempur justru tewas karena hal sepele.
Hari berikutnya SEAL dengan misi yang sama diterjunkan lagi ke pinggiran pantai dari helikopter Black Hawk.
Namun, sewaktu berada di lautan lagi-lagi masalah datang. Sebagian besar peralatan ternyata hilang dan kawasan pantai ternyata dipenuhi kapal patroli musuh.
Untuk menghindari korban jatuh lagi, SEAL diperintahkan menuju kapal penjemput dan segera meninggalkan lokasi sasaran.
Tapi memang tak ada kata menyerah bagi personel SEAL.
Hari berikutnya SEAL yang kali ini bergerak pada pagi hari kembali diterjunkan dan berhasil menyusup ke daratan.
Sasaran utama adalah menghancurkan pemancar radio yang digunakan pasukan PRA untuk melancarkan perang urat syaraf.
Suatu ledakan bom yang menghancurkan transmisi membuat PRA tahu sedang diserang.
Tembakan gencar dari PRA pun menyalak termasuk tembakan senapan mesin dari ranpur BTR-60.
Team SEAL yang tugasnya memang bukan bertempur secara frontal, segera bergegas ke pantai dan kemudian berenang menuju kapal penjemput.
Sementara itu SEAL Team 4 yang ditugasi menyusup ke pantai Grenada dan mendeteksi kondisi pantai apakah cocok untuk pendaratan amfibi atau tidak, berhasil mendarat tanpa kesulitan.
Di sepanjang garis pantai, Team 4 berhasil mengetahui bahwa pertahanan pantai PRA justru sudah ditarik mundur secara tergesa dan dipindahkan ke pusat kota.
Namun, SEAL menilai pantai Grenada tidak cocok untuk pendaratan amfibi. Mereka pun mengirimkan sinyal, sebaiknya marinir dan Ranger diterjunkan lewat udara.
Padahal jika pasukan Ranger mendarat lewat pantai itu sesungguhnya lebih aman karena minim pertahanan musuh.
Operasi lintas udara Ranger dan US Marine kemudian menjadi penerjunan yang spektakuler sekaligus sangat beresiko mengingat pasukan PRA telah menyiapkan meriam penangkis serangan udara (PSU).
Sistem pertahanan udara pasukan PRA akhirnya berhasil dihancurkan oleh pesawat Hercules bersenjata sejumlah meriam dan roket yang dikenal sebagai AC-130 Gunship.
Tapi akibat perlawanan sengit pasukan PRA yang didukung pasukan Kuba, sebanyak lima perseonel Ranger tewas.
Gugurnya sejumlah personel Navy SEAL dan Ranger jelas menunjukkan bahwa dalam pertempuran melawan negera kecil seperti Grenada, resiko kematian personel pasukan khusus AS yang sangat terlatih tetap tinggi.
Apalagi jika sampai mengalami keteledoran seperti SEAL di lautan.
Pasukan Ranger yang mendarat di drop zone yang justru dipertahankan pasukan musuh secara mati-matian sebenarnya juga merupakan keteledoran SEAL.
Pasalnya, Ranger harusnya mendarat lewat laut, bukan lewat udara yang resikonya justru lebih tinggi.(*)
Artikel ini telah tayang di Intisari Online dengan judul "Operation Urgen Fury, Ketika Navy SEAL yang Terkenal Jago Perang di Laut Justru Mati Konyol di Lautan"