Laporan reporter Gridhot.ID, Nicolaus Ade
Gridhot.ID - Sepasang suami istri sudah ditakdirkan hidup bersama hingga ajal menjemput setelah menikah.
Semua resiko dan tantangan dalam kehidupan keluarga harus dihadapi baik susah maupun senang.
Hal itu tercermin dalam diri pasangan suami istri di Solo yang sudah lanjut usia ini.
Kisah menyentuh hati pasutri penjual bakso kuah bernama Slamet Parmin Hadiwiyono (78) dan Painem (60) mendadak jadi jadi sorotan publik.
Pasalnya di usia senja mereka, Parmin dan Pinem tetap pantang menyerah mencari rezeki bersama.
Kegigihannya tersebut terekam dalam video dan foto yang disebarkan netizen di sejumlah akun media sosial hingga viral.
Salah satu akun Instagram yang membagikannya adalah akun Instagram @jelajahsolo.
Dalam akun Instagram @jelajahsolo nampak sebuah video Parmin dan Painem nampak mesra sedang berjualan bakso kuah.
Pasutri tersebut berjualan dengan memodifikasi sebuah sepeda menjadi gerobak bakso.
Saat berkeliling, Parmin berada di dapan untuk mengayuh gerobaknya, sementara Painem duduk di belakangnya menemani suami tercinta.
Melansir dari TribunSolo.com, ternyata pasangan ini adalah warga Kenteng Baru RT 02 RW 07, Kelurahan Semanggi, Kecamatan Pasar Kliwon, Solo.
Nampak didaerah tersebut sebuah rumah sederhana bersekat triplek tempat tinggal Parmin dan Painem bersama seorang cucunya bernama Rifa'i (18).
Parmin dan Painem sudah menempati rumah tersebut sejak tahun 1993.
Di rumah itulah mereka mulai memutuskan untuk berjualan bakso kuah bersama-sama hingga saat ini.
Mereka biasanya berjualan di kawasan SD Kanisius Semanggi II, SD Al-Fajar Semanggi, dan Kantor Majelis Tafsir Alquran (MTA) Semanggi.
"Kami berputar-putar paling jauh di kawasan Alun-Alun Kidul Keraton Solo, Gladag, Balaikota, terkadang sampai Pasar Gedhe," tutur Painem.
Painem mengatakan, saat berjualan keduanya akan berusaha untuk mendatangi titik-titik keramaian.
Parmin mengatakan bakso yang dijualnya merupakan hasil olahan sendiri.
"Kalau dulu itu, saya pernah sama orang lain, ikut tempatnya orang," kata Parmin.
Parmin belajar mengolah bakso dari seorang juragan bakso bernama Hartono di daerah Kelurahan Jagalan, Solo.
"Juragan saya itu biasanya borong dua hingga tiga kuintal daging, kemudian itu dicacah-cacah," tutur Parmin.
"Hasil cacahan terus dimasukkan ke bak, terus diaduk sama tangan, itu dulu sebelum ada gilingan," imbuhnya membeberkan.
Ia mengungkapkan, Hartono pernah mengajaknya berjualan bakso di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat.
"Terus dulu itu, juragan mau buka usaha bakso di Sumbawa, saya diajak tapi ndak mau, saya milih disini, buka sendiri," tutur Parmin.
Parmin mengungkapkan, daging yang mereka pakai untuk membuat bakso dibeli di Pasar Gemblegan, Kecamatan Serengan, Solo.
"Kalau tenaganya sehat habis subuhan bisa ambil gilingan, jadinya pukul 10.00 WIB sudah keluar jualan," ungkap Parmin.
Parmin dan Painem biasa menggunakan gilingan daging ayam dan sapi sebagai bahan baku pembuatan bakso mereka.
Mereka biasa membeli 3/4 kg daging sapi, 2 kg daging ayam, dan 4 kg tepung pati.
"Kalau dulu, banyak sampai 15 kg, waktu itu ikan (daging) kan murah, ayam dulu ndak ada Rp 15 ribu, sekarang Rp 20 ribu ini malah sampai Rp 40 ribu/kg, ikan sapi malah Rp 120 ribu/kg," tutur Parmin.
Parmin mengungkapkan, mereka harus menyiapkan kurang lebih Rp 550 ribu sebagai biaya membeli daging.
Awalnya, ia mulai berjualan dengan cara dipikul berkeliling Solo mulai pukul 14.00 WIB.
"Itu sekitar tahun 1970-an, dan sempat berhenti jualan dan coba untuk menjadi tukang becak," tutur Parmin.
"Terus baru stabil jualan bakso tahun 1993, dan saat itu istri juga sudah membantu jualan keliling," tambahnya.
Kini setiap harinya dua sejoli tersebut mengayuh sepeda gerobaknya sampai belasan kilometer.
Namun, jika kondisinya kurang sehat, mereka berjualan hanya dalam waktu singkat dan jarak kayuh yang tak jauh.
"Kalau ada keramaian di Pasar Gedhe, terlebih saat ada banyak lampion, bisa pulang jam 11 malam, kadang ya jam 5 sore, kalau jualan di alun-alun biasa jam 10 malam," terang Painem.(*)