Find Us On Social Media :

Dukung Osama Bin Laden Secara Terang-terangan, Sosok Mbah Buyut Para Teroris Dunia Ini Jadi Pembela Palestina Hingga Titik Darah Penghabisan, Playboy Kaya Raya yang Salah Asuhan Sejak Mahasiswa

Carlos The Jackal

Gridhot.ID - Teroris adalah sosok yang sangat-sangat keji di dunia ini.

Tentu kita sangat mengenal nama Osama Bin Laden.

Sebelum muncul nama Osama bin Laden atau Abu Bakr al Baghdadi, soal kasus terorisme yang berbau agama, nama Carlos The Jackal akan jadi yang terdepan.

Dari satu negara ke negara lain, Carlos The Jackal terus-menerus berjuang menentang kapitalisme global melalui aksi terorisme.

Baca Juga: Senggol Putri Semata Wayang AHY, Penulis Ini Sempat Buat Annisa Pohan Berang Hingga Ingin Cabein, Denny Siregar Akhirnya Minta Maaf

Dia menentang habis-habisan imperialisme negara adidaya Amerika Serikat melalui aksi-aksinya.

Bersama organisasi Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina (Popular Front for the Liberation of Palestine-PFLP), dia juga mati-matian memperjuangkan Palestina.

Jika berbicara tentang Israel, dia akan muncul menjadi sosok pembenci dan seolah ingin menghapuskan nama negara tersebut dari peta dunia.

Maka, jangan kaget jika aksi-aksinya benar-benar membuat dunia, khususnya Amerika Serikat dan Israel, kebakaran jenggot.

Baca Juga: Niat Ngebut Mau Berangkat Apel, Kapolsek di Rembang Banting Setir Tabrak Rumah Warga Setelah Berhalusinasi, 2 Orang Tewas di Tempat, Warga Ungkap Hal Mengerikan

Melihat sekilas rekam jejaknya di atas, tentu Anda akan menduga bahwa Carlos The Jackal berasal dari jazirah Arab atau setidaknya dibesarkan di negara mayoritas Muslim.

Lalu dari mana dia berasal? Apa saja aksi-aksinya? Bagaimana juga kondisi dirinya sekarang?

Carlos the Jackal memiliki nama asli Ilich Ramírez Sánchez, (lahir 12 Oktober 1949, Caracas, Venezuela), adalah seorang militan Venezuela yang mengatur beberapa serangan teroris paling terkenal tahun 1970-an dan 1980-an.

Ramirez dilahirkan dalam keluarga Venezuela kelas atas; ayahnya menjalankan firma hukum yang menguntungkan.

Baca Juga: Rutan Pondok Bambu Kecolongan, Wawancara Deddy Corbuzier dan Siti Fadilah Supari Disebut Langgar Ketentuan, Begini Kronologi Masuknya Sang Mentalis ke Ruang Rawat Mantan Menteri Kesehatan

Ayah Ramirez adalah seorang Marxis yang berkomitmen, dan Ramirez menerima pendidikan yang menekankan teori politik komunis dan pemikiran revolusioner.

Ramirez muda hidup dengan gaya hidup sosialita ibunya, ia terkenal sebagai seorang playboy kaya raya dan gemar berpergian.

Setelah sempat bekerja di sekolah persiapan Inggris, Ramirez mendaftar di Universitas Persahabatan Rakyat Patrice Lumumba di Moskow.

Akan tetapi karena kinerja akademisnya yang tidak bagus dan masalah dengan otoritas universitas dia harus diusir dari kampur pada 1970.

Baca Juga: Kapolsek di Rembang Seruduk Rumah Warga Hingga Tewaskan Balita, Diduga Bawa Mobil dalam Kondisi Mabuk, Keluarga Korban: Mulutnya Bau Alkohol

Karier akademiknya berakhir, Ramirez berusaha untuk melanjutkan pelatihan revolusionernya dengan Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina (PFLP).

Bassam Abu Sharif, salah satu petinggi PFLP lalu memberi nama yang juga kode "Carlos" untuk kemudian dikirim ke Yordania untuk melakukan pelatihan senjata.

Setelah PFLP dikeluarkan dari Yordania pada 1970-71, Carlos dikirim ke London, di mana ia mengumpulkan daftar nama sebagai target potensial untuk penculikan atau pembunuhan.

Misi pertama Carlos adalah membunuh Joseph Sieff, presiden Marks & Spencer dan salah satu pengusaha Yahudi paling terkenal di Inggris.

Baca Juga: Skenario New Normal Dianggap Salah Kaprah, Amien Rais Sebut Pemerintah Belum Siap: Ini Bisa Mengelabui Kita, Karena Apapun Dianggap Normal

Pada 30 Desember 1973, Carlos memaksa masuk ke rumah Sieff dengan menodongkan senjata kepada pelayan. Namun, saat Sieff sudah di depan mata dia hanya berhasil melukai kepala, karena ketika akan dipicu untuk kedua kalinya pistol Carlos macet, dia pun terpaksa meninggalkan tempat itu.

Carlos kemudian membantu dalam perencanaan upaya pendudukan kedutaan Prancis di Den Haag, Belanda, oleh anggota Tentara Merah Jepang pada 13 September 1974.

Ketika Perancis sedang bernegosiasi untuk membebaskan 11 sandera yang ditahan di kedutaan, Carlos melemparkan granat ke sebuah kafe dan arena perbelanjaan di Paris.

Serangan itu menewaskan dua dan melukai puluhan orang lainnya, dan dalam beberapa hari Perancis telah menyetujui tuntutan Tentara Merah Jepang.

Baca Juga: Adakan Halal Bihalal Sampai Prajanya Berjoget dengan Penyanyi, Rektor IPDN Beri Klarifikasi, Neta S Pane: Bagaimana Mungkin Para Calon Birokrat Itu Bisa Seenaknya Melanggar Ketentuan PSBB?

Pada Januari 1975 Carlos memimpin serangan roket yang gagal terhadap sebuah pesawat El Al di Bandara Orly di Paris. Serangan roket kedua seminggu kemudian mengakibatkan baku tembak dengan polisi Prancis, tetapi Carlos menyelinap pergi dalam kekacauan berikutnya.

Namun di tahun yang sama, rekannya di PFLP yang juga terlibat dalams erangan El Al, Michel Moukharbal menjebaknya hingga Carlos harus berhadapan dengan dua agen kontra-intelijen Perancis (DST).

Akan tetapi, sebuah senjata mesin di tangan Carlos berhasil menjadi pembunuh dua agen tersebut bersama dengan Moukharbal.

Carlos, yang sebelumnya tidak dikenal oleh penyelidik Prancis, tiba-tiba menjadi fokus perburuan yang akan berlangsung hampir dua dekade.

Baca Juga: Nyelonong ke Ruang Isolasi untuk Nyolong HP Pasien Positif Corona, Pemuda Ini Langsung Dapat Karma Instan, Diburu Tenaga Medis Bukan untuk Dihakimi Tapi Justru Hal Ini yang Terjadi

Selama pencarian di salah satu rumah persembunyian Carlos di London, seorang jurnalis dari Guardina membuka salinan The Frederic Forsyth's Day of the Jackal, dari situlah muncul julukan "Carlos the Jackal".

Carlos melarikan diri ke Beirut dan mulai merencanakan misi berikutnya — misi yang akan membuat namanya dikenal dunia. Pada 21 Desember 1975, Carlos dan lima rekannya menyerbu pertemuan para menteri OPEC di Wina, menewaskan dua penjaga keamanan dan seorang ekonom Libya dan menyandera lebih dari 60 orang.

Setelah mengamankan sebuah pesawat dan melepaskan beberapa sandera, Carlos dan pasukannya menerbangkan 42 tawanan yang tersisa dalam perjalanan yang berakhir di Aljir.

Di sana Carlos disambut oleh kepemimpinan Aljazair, dan belakangan muncul dugaan bahwa dia telah menerima uang tebusan puluhan juta dolar untuk pembebasan para sandera secara aman.

Baca Juga: Baru Sebulan Menikah, Rumah Tangga Zaskia Gotik Sudah Dibayangi Tuntutan Mantan Istri Sirajuddin Mahmud Soal Harta Gono Gini, Imel Putri Cahyati: Hak-hak Saya

Tindakan ini membuat atasan PFLP-nya marah, yang menuntut eksekusi dua menteri OPEC, dan Carlos dikeluarkan dari PFLP pada 1976.

Carlos kemudian mendapat dukungan dari berbagai individu dan kelompok, termasuk pemimpin Libya Muammar al-Qaddafi dan Stasi Jerman Timur, yang menyediakan markas Berlin Timur sebagai markas Carlos termasuk staf pendukung lebih dari 70 orang.

Carlos kemudian mulai membangun jaringan terorisnya sendiri, yang ia juluki Organisasi Perjuangan Arab Bersenjata (OAAS) pada tahun 1978.

Pada 1979 Carlos menikahi seorang anggota OAAS Jerman Barat, Magdalena Kopp, yang kemudian ditangkap oleh polisi Prancis pada 1982, Tindakan yang memicu serangkaian aksi balasan.

Baca Juga: Bersikukuh Mau Jual Rumah Peninggalan Olga Syahputra Hingga Buat Sang Ayah Nangis, Billy Dibentak Nagita Slavina: Jangan Teriak Sama Orang Tua

sepanjang musim semi dan musim panas tahun itu, Prancis diguncang gelombang pemboman mematikan, salah satunya menargetkan Jacques Chirac, yang saat itu menjabat walikota Paris.

Serangan terus berlanjut hingga tahun 1983, tetapi tekanan dari pemerintah Barat menyebabkan banyak koneksi Carlos di balik Tirai Besi menolaknya.

Dalam pelarian dan kekurangan sumber daya, Carlos menghabiskan sisa tahun 1980-an dalam masa pensiun di Suriah, di mana tuan rumahnya menuntut agar ia tetap tidak aktif.

Tidak lagi dianggap sebagai ancaman serius, ia hampir diabaikan oleh penegak hukum internasional. Namun, pada tahun 1990, ketika rumor mulai mengemuka bahwa pemimpin Irak Ṣaddām Ḥussein berusaha merekrut Carlos untuk memimpin kampanye teror terhadap AS dan target Eropa, badan intelijen Barat melanjutkan perburuan mereka untuk Carlos dengan sungguh-sungguh.

Baca Juga: Kerap Disebut Sebagai Perusak Rumah Tangga Ahok dan Veronica Tan, Puput Nastiti Devi Curahkan Isi Hatinya: Saya Percaya Tuhan Tahu Mana yang Benar dan Salah

Dia kemudian terlacak berada di Sudan, dan pada 1994 agen-agen Prancis menangkap Carlos dan mengembalikannya ke Prancis untuk diadili.

Pada Desember 1997 Carlos dinyatakan bersalah atas pembunuhan terhadap Moukharbal dan kedua penyidik lalu dijatuhi hukuman penjara seumur hidup.

Carlos kembali dijatuhi hukuman seumur hidup pada November 2011 karena dugaan keterlibatannya dalam empat pemboman di awal 1980-an yang menewaskan lebih dari 10 orang di Prancis.

Pada 2017, untuk ketiga kalinya Carlos The Jackal mendapat hukuman seumur hidup setelah pihak berwenang Prancis mengajukan dakwaan tambahan terhadap Carlos pada Oktober 2014, sehubungan dengan serangan granat 1974 di Paris.

Baca Juga: Senggol Putri Semata Wayang AHY, Penulis Ini Sempat Buat Annisa Pohan Berang Hingga Ingin Cabein, Denny Siregar Akhirnya Minta Maaf

Tapi, rupanya tahanan tidak menghentikan segala keyakinan Carlos untuk berjuang menentang imperialisme barat, khususnya AS. Dia menerbitkan buku berjudul “L'islam révolutionnaire” atau “Islam Revolusioner”.

Dalam buku tersebut, Carlos secara terang-terangan mendukung Osama Bin Laden berikut dengan aksi-aksinya serta menyebut Saddam Husein seagai "ksatria terakhir dunia arab.

Artikel ini telah tayang di Sosok.ID dengan judul Terlahir Komunis, Inilah Sosok Pembenci Israel Pembela Palestina, 'Leluhur' Teroris Berkedok Agama yang Siap Libas Apapun Demi Pertahankan Keyakinannya.

(*)