GridHot.ID - Kota Chongqing, China tengah dihantam banjir besar.
Banjir tersebut berasal dari level air Sungai Yangtze yang memuncak.
Hal ini pun tentu menjadi pukulan bagi pemerintah China.
Setelah mengendalikan sebagian besar pandemi virus Corona, para pejabat China kini berjuang dengan musibah banjir besar.
Banjir besar itu telah melumpuhkan sejumlah wilayah dan telah menewaskan ratusan orang, serta membuat jutaan orang mengungsi di bagian tengah dan barat daya negara itu.
Melansir dari The Straits Times, Sabtu (22/8/2020), banjir di Sungai Yangtze memuncak lagi pada minggu ini.
Provinsi Sichuan dan kota metropolitan Chongqing memliki dampak yang paling luas.
Sementara itu, Bendungan Tiga Ngarai mencapai tingkat tertinggi sejak tahun 2003.
Banjir tahun ini bukan sebagai bencana alam tunggal, dengan hilangnya nyawa dan harta benda yang sangat besar, tetapi lebih sebagai rangkaian bencana yang lebih kecil dan lambat tanpa ampun yang dihadapi China.
Jumlah korbannya terus meningkat bahkan ketika laporan resmi dari pemerintah hanya berfokus pada upaya bantuan negara.
"Bangsa China telah memerangi bencana alam selama ribuan tahun, memperoleh pengalaman yang berharga," kata pemimpin negara itu, Xi Jinping, Selasa (18/8/2020).
Xi melakukan kunjungan ke Anhui, provinsi lain yang terkena banjir di hilir dari Bendungan Tiga Ngarai.
"Kita harus terus berjuang," katanya.
Xi menyebut upaya bantuan bencana China sebagai ‘ujian praktis dari kepemimpinan dan sistem komando tentara kita’.
Dia bertemu dengan kerabat dari tiga orang yang tewas saat memerangi banjir, dan pada hari Rabu (19/8/2020) dia berbicara kepada pasukan Tentara Pembebasan Rakyat dan Polisi Bersenjata Rakyat, yang telah terlibat dalam pekerjaan bantuan.
Penampilan publik Xi dan Perdana Menteri China, Li Keqiang, menggarisbawahi parahnya krisis yang dihadapi negara itu.
Turun tanganya pemmpin negara ke lokasi banjir telah memberikan pukulan lain bagi ekonomi yang masih berjuang untuk pulih dari pandemi.
PM China mengunjungi Chongqing, di mana Sungai Yangtze meluap ke tepiannya untuk kelima kalinya dalam tahun ini.
Pada Kamis (20/8/2020) sore, sungai itu meluap dengan parah sejak tahun 1981.
Para pemimpin China telah mencoba meyakinkan orang-orang bahwa pemerintah telah melakukan segala sesuatu yang dapat dilakukan, tetapi beberapa orang mungkin ragu.
"Saya percaya bahwa publik China akan mempertanyakan Beijing dari bencana alam dan buatan manusia yang terus menerus tahun ini, dan bahkan mempertanyakan model pemerintahan China dan keefektifannya," kata Wu Qiang, seorang analis politik independen di Beijing.
Seorang penduduk Chongqing,mengatakan: "Kerugian dan pukulan berat bagi pelaku bisnis, memerangi pandemi di paruh pertama tahun ini dan banjir di paruh kedua".
Banjir telah menyebabkan kerugian ekonomi setidaknya sebesar 26 miliar USD (Rp 383 triliun) sebelum minggu ini.
Pada pertemua di Beijing pekan lalu, Zhou Xuewen, sekretaris jenderal markas besar pengendali banjir China, mengatakan bahwa setidaknya 63 juta orang telah terkena dampak dan 54.000 rumah hancur.
“Sedikitnya 219 orang tewas atau hilang,” katanya.
Di wilayah Sichuan pada hari Jumat (21/8/2020), tanah longsor yang disebabkan oleh hujan lebat menewaskan sedikitnya enam orang di sebuah desa dekat Ya'an. Satu lagi di wilayah yang sama menyebabkan lima orang hilang.
Hujan lebat biasa terjadi di China selatan selama musim panas, tetapi tahun ini turun lebih lebat dan lebih lama dari biasanya, membanjiri tanaman dan seluruh desa selama dua bulan terakhir.
Mungkin bukan secara kebetulan, Xi Jinping mengumumkan kampanye melawan limbah makanan dengan latar belakang banjir, meskipun para pejabat bersikeras tidak ada krisis pangan yang akan dihadapi.
Hujan deras tahun ini menghidupkan kembali perdebatan tentang Bendungan Tiga Ngarai, sebuah proyek besar-besaran yang dimulai pada tahun 1994 yang memaksa relokasi lebih dari 1 juta orang, menggenangi seluruh masyarakat dan merusak lingkungan sekitarnya.
Aliran air ke waduk bendungan mencapai 75 juta liter per detik, memecahkan rekor 61 juta liter yang ditetapkan bulan lalu, menurut pernyataan dari Kementerian Sumber Daya Air.
Meski para pejabat mengatakan bendungan itu tidak dalam bahaya, ketinggian air telah mendekati kapasitas maksimum.
Sejak banjir dimulai pada bulan Juni 2020, para pejabat berulang kali menawarkan jaminan bahwa bendungan tersebut dapat menahan apa yang disebut ‘banjir sekali dalam seabad’.
Beberapa laporan media pemerintah telah melangkah lebih jauh, mengklaim bahwa bendungan itu hampir pasti mencegah banjir yang lebih buruk di kota-kota di hilir, termasuk Wuhan, tempat pandemi Covid-19 dimulai.
Pada hari Jumat (21/8/2020), para pejabat mengumumkan bahwa aliran ke Bendungan Tiga Ngarai agak berkurang, meskipun mereka tetap waspada.
"Tekanan pengendalian banjir di bagian tengah dan bawah Sungai Yangtze telah berkurang," lapor Kantor Berita milik pemerintah, Xinhua.
Jalur air besar China lainnya, Sungai Kuning, juga mengalami luapan banjir.
Kementerian Sumber Daya Air China mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa di provinsi Shaanxi pada Jumat sungai di sana telah mencapai tingkat tertinggi sejak 1997.
Hampir 700 sungai kecil dan anak sungai juga telah banjir, membebani bendungan dan tanggul yang ada. (Serambinews.com/Agus Ramadhan)
Artikel ini telah tayang di serambinews.com dengan judul Setelah Wabah Covid-19, Pemimpin China Kini Diuji dengan Tantangan Baru Berupa Banjir Besar (*)