Gridhot.ID- Beberapa mahasiswa turut menyampaikan sudut pandangnya terkait polemik kata 'anjay' yang ramai di media sosial sejak Sabtu (28/8) lalu.
Berdasar pada laporan Kompas.com, sejumlah mahasiswa yang dimintai pendapat terkait kegaduhan kata 'anjay' mengaku nggak sependapat dengan isi dari rilis pers Komisi Nasional Pelindungan Anak (Komnas PA).
Sebelumnya, isi rilis pers tersebut mengaitkan penggunaan kata 'anjay' dengan tindakan yang berpotensi dipidana.
Mahasiswi bernama Priscila Winia pun mengaku nggak setuju dengan pemidanaan seseorang lantaran menggunakan kata 'anjay'.
“Aku sendiri enggak setuju dengan masalah pelanggaran pidana penggunaan kata tersebut. Menurutku masih lebih banyak permasalahan lain yang lebih serius dan seharusnya lebih harus ditindaklanjuti,” ujar Priscila kepada Kompas.com pada Selasa (1/9/2020).
Menurutnya, kata “anjay” merupakan perkembangan dari kata kasar agar terdengar lebih halus.
Ia pun menilai, kebanyakan orang juga menggunakan kata tersebut untuk mengekspresikan kekaguman terhadap sesuatu.
Meski begitu, Priscila nggak mendukung bila penggunaan kata tersebut dibarengi dengan tindakan nggak menyenangkan, kayak misalnya melakukan kekerasan fisik sambil nyebut kata 'anjay'.
Terkait sanksi, mahasiswi Universitas Indonesia ini lebih menyarankan untuk memberikan teguran kepada orang yang menggunakannya dengan konotasi negatif.
“Dibandingin kita menegur seperti ‘lu enggak boleh ya ngomong gitu ya’. Akan tetapi, kita lebih bilangnya untuk coba tahu tempat dan waktu gitu, di mana kata tersebut boleh digunakan,” ucap Priscila.
Senada dengan Priscila, Charlenne Kayla Roeslie juga tidak menyetujui potensi hukuman pidana saat seseorang menggunakan kata 'anjay'.
“Kalaupun mau diperkarakan gitu, pembuktiannya dari mana kalau emang si komunikator mau memaki? Jatuhnya subyektif banget,” ungkap Charlenne saat dihubungi Kompas.com pada Selasa (1/9/2020).
Mahasiswi Universitas Multimedia Nusantara ini menganggapkalo penggunaan gaya bahasa tidak dapat menjadi masalah. Apalagi bila pemakaiannya sesuai dengan tempat, situasi, dan budaya setempat. “Kasar enggak kasarnya suatu kata, pun, tergantung konteks.
Misalnya, kata ‘tai’ gitu, kan sebenarnya sama aja sama kata ‘tinja’. Namun di masyarakat, ‘tinja’ dinilai enggak kasar dan "tai" dinilai kasar,” contohnya.
Melihat fleksibilitas dan peluang subjektivitas pemaknaan bahasa, Charlenne mengaku nggak mau bila hal ini menjadi aturan seperti beberapa pasal karet dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Pasal karet merupakan sebutan dari sebuah pasal atau UU yang dianggap tidak memiliki tolok ukur yang jelas.
Mirip dengan pernyataan Priscila, Charlenne juga menyarankan Komnas PA untuk menangani masalah lain yang lebih penting nilainya.
“Kekerasan terhadap anak, misalnya. Lebih penting. Lebih urgent,” kata Charlenne. (*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Mahasiswa soal Polemik “Anjay”: Banyak Hal Lain yang Lebih Penting"