Find Us On Social Media :

5 Tahun Operasi Tinombala, Ali Kalora Nyatanya Masih Gentayangan di dalam Hutan Rimba dan Tak Tersentuh Aparat, Teknologi Super Canggih Tetap Tak Bisa Deteksi Keberadaan Sang Teroris Keji

Ali Kalora, Pimpinan Kelompok Separatis MIT

Gridhot.ID - Ali Kalora memang sedang jadi sorotan akhir-akhir ini akibat aksi kejamnya.

Selain Ali Kalora, nama Santoso juga pernah viral di masyarakat.

Keduanya sama-sama menjadi pimpinan MIT namun memiliki kemampuan yang berbeda.

Inilah perbedaan Ali Kalora dan Santoso, dua pimpinan teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang kerap melakukan teror di wilayah Sulawesi Tengah.

Ternyata Ali Kalora tak sekuat Santoso, pimpinan MIT sebelumnya.

Ali Kalora yang baru-batu ini diduga mendalangi pembantaian satu keluarga di Dusun St.2 Lewono, Desa Lemban Tongoa, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi memiliki banyak kelemahan.

Meski demikian, Ali Kalora Cs hingga kini belum juga ditangkap.

Bahkan, Operasi Tinombala yangf telah berjalan hampir lima tahun belum berhasil menangkap pimpinan Mujahidin Indonesia Timur tersebut.

Ali Kalora menjadi pemimpin MIT sejak tahun 2016 menyusul ditangkapnya pentolan MIT, Basri alias Bagong pafa tahun 2016.

Di tahun yang sama, Santoso alias Abu Wardah tewas dalam penyergapan aparat keamanan tahun 2016 lalu.

Baca Juga: Tahta Menantu Keluarga Cendana Berhasil Disandang, Mayangsari Justru Harus Gigit Jari, Bambang Trihatmodjo Ternyata Masih Kucurkan Dana Miliaran Rupiah Kepada Mantan Istri

Berikut perbedaan Ali Kalora dan Santoso:

1. Tak mampu rekrut puluhan orang

Dilansir dari BBC Indonesia, Ridlwan Habib, pengamat terorisme dari Universitas Indonesia saat wawancara dengan BBC Indonesia pada Rabu (2/1/2019) menilai Ali Kalora tidak memiliki pengaruh sekuat Santoso, yang mampu merekrut puluhan orang.

Hal yang sama disampaikan Al Chaidar, pengamat terorisme serta staf pengajar di Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe.

Al Chaidar meyakini Ali Kalora kini merupakan satu-satunya pemimpin MIT yang tersisa.

Sebagai pemimpin baru MIT, Ali Kalora disebutnya "tidak memiliki pengaruh yang kuat seperti Santoso".

"Karena sepanjang 2018, hanya menyisakan sekitar empat orang anggota, kemudian bertambah satu orang, sehingga menjadi lima orang," kata Chaidar.

Sementara itu pada Februari 2019, polisi menyebut ada tambahan satu orang anggota baru dalam kelompok Ali Kalora yakni anak kandung pimpinan terdahulu MIT, Santoso.

Hal tersebut disampaikan Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo pada Kamis (14/2/2019).

"Satgas berhasil mengidentifikasi satu orang DPO lagi yang ikut bergabung ke kelompok Ali Kalora, yaitu anak kandung Santoso," kata Dedi

Baca Juga: Didapuk Jadi Presiden Sementara, Benny Wenda Deklarasikan Kemerdekaan Papua Barat: Mulai 1 Desember 2020, Kami Menerapkan Konstitusi Kami Sendiri

Terkait perekrutan anak kandung Santoso, Dedi mengatakan hal itu masih dalam proses penelurusan.

"Antara direkrut dan inisiatif sendiri karena datang ke hutan. Ali Kalora ini lagi diidentifikasi dan nanti akan segera diterbitkan DPO," kata dia.

2. Ali Kalora kerap menyamar

Meski kurang mampu merekrut orang, Ridlwan Habib menilai Ali Kalora memiliki kemampuan bertahan hidup dalam pelarian.

"Dengan logistik yang terbatas, Ali Kalora bisa menjadi apa saja, menyamar menjadi warga lokal, bahkan petani dan jalan sejauh itu," tambahnya.

Sosok Ali Kalora ini, menurutnya, berbeda jauh dengan bekas pemimpin MIT, Santoso, yang tewas dalam baku tembak dengan TNI-polisi dua tahun lalu.

Yang disebut terakhir ini memiliki keahlian propaganda.

Sedangkan Ali Kalora mampu menghindar dari kejaran aparat TNI-polisi dengan "menyamar menjadi warga lokal".

3. Ali Kalora dekat dengan kelompok militan Islam dan setia pada ISIS

Satu-satunya "kelebihan" Ali Kalora andalkan adalah kedekatannya dengan kelompok militan Islam di Mindanau (Filipina) dan Bima (Nusa Tenggara Barat).

Baca Juga: Calon Pengantin Wanita di Sulawesi Utara Tewas Sehari Menjelang Akad Nikah, Sang Ayah Curiga Calon Mantu Jadi Dalang di Balik Kematian Anak Perempuannya

"Dengan afiliasinya bersama kelompok Mindanau dan Bima, dia bisa merekrut anggotanya dari luar Poso, termasuk memperoleh senjata api," kata Al Chaidar.

Selain itu, Ali Kalora juga kerap menunjukkan kesetiaaannya pada ISIS.

Dilansir dari BBC Indonesia, pengamat teroris, Ridlwan Habib, mengatakan, tindakan Ali Kalora merampok bahan pangan dan membunuh warga setempat sudah dua kali dilakukan sepanjang tahun ini.

Pada April 2020, seorang petani menjadi korban.

Aksi itu direkam oleh kelompok Ali Kalora dan disebarkan ke kelompok jihadis di Indonesia dan luar negeri.

Tujuannya untuk memberitahu kelompok teror di luar negeri tentang keberadaan mereka "dengan harapan akan mendapat bantuan logistik".

"Dan sebagai bukti mereka tetap setia kepada ISIS (kelompok yang menamakan diri Negara Islam).

"Karena itu baginya, tidak ada jalan lain selain menyiapkan pasukan khusus.

"Ini bukan kelompok yang bisa digalang dengan lunak. Mereka ini prinsipnya membunuh atau terbunuh. Dialog juga tidak bisa."

Dengan fakta ini, dia menyarankan pemerintah beserta aparat keamanan agar menggunakan strategi baru untuk menangkap Ali Kalora.

Kenapa Tak Kunjung Ditangkap?

Berdasarkan pengamatan RIdlwan Habib, Operasi Tinombala telah berjalan hampir lima tahun tetapi belum berhasil menangkap pimpinan Mujahidin Indonesia Timur tersebut.

Padahal berbagai cara sudah dilakukan.

"Pernah coba pakai thermal drone untuk memotret suhu panas tubuh. Ternyata ada kekeliruan. Karena suhu tubuh manusia mirip dengan mamalia seperti kera atau monyet, sehingga ketika mau menyerang dan didekati ternyata segerombolan monyet besar," ujar Ridlwan Habib kepada BBC News Indonesia, Minggu (29/11/2020).

"Pernah dicoba pakai drone detector untuk mendeteksi gerak. Ternyata salah deteksi lagi," sambungnya.

Selain itu, kelompok tersebut juga tidak menggunakan telepon genggam untuk saling berkomunikasi sehingga sulit dilacak.

Di bagian lain, Kepala BNPT Komjen Boy Rafli Amar dalam Sapa Indonesia Pagi di Kompas TV, Selasa (1/12/2020) mengatakan Ali Kalora selama ini bergerak di sekitar lereng Pegunungan Biru.

Mereka kerap berpindah satu sama lain dari lereng pegunungan sisi utara ke selatan.

Di lereng Pegunungan Biru ini terdapat Kabupaten Sigi, Kabupaten Parigi Moutong, dan Kabupaten Poso.

Baca Juga: Lawan Nikita Mirzani, Ustaz Maaher Gandeng Elza Syarief, Mantan Kuasa Hukum Sajad Ukra: Habib Dikatakan Tukang Obat Itu Nggak Sopan

Dengan kondisi ini, pergerakan dan perpindahan mereka meliputi kawasan yang cukup luas.

"Jadi mereka mobile di kawasan yang begitu luas. Satuan tugas hari ini terus mobile untuk menyasar ke berbagai sektor di kawasan lereng itu," kata Boy Rafli.

Ia mengakui, lokasi pelarian MIT merupakan medan yang cukup menyulitkan.

"Sekali lagi, ini medan yang tidak ringan karena ini medan pegunungan dan mereka sudah bertahun-tahun di kawasan itu," kata Boy Rafli.

Menurut Boy sengaja membunuh satu keluarga di Sigi karena tak ingin tinggalkan jejak.

"Mereka tidak ingin meninggalkan jejak dari tindakan yang dilakukan. Jadi mereka tidak ingin jejaknya diketahui dengan cara menghabiskan obyek yang mereka sasar," jelasnya.

Selain itu ia mengatakan, faktor kekurangan logistik menjadi alasan kelompok teroris MIT pimpinan Ali Kalora membunuh satu keluarga di Kabupaten Sigi.

"Saat ini mereka sudah dalam kondisi yang tidak memiliki logsitik yang cukup," ujar Boy Rafli Amar.

"Artinya dengan cara inilah, dengan cara merampok, dengan cara membunuh masyarakat, karena kita tahu bahwa kelompok ini adalah pengusung ideologi kekerasan. Jadi itulah salah satu untuk bertahan hidup," sambungnya.

Mereka juga mengincar harta benda milik warga di sekitar lereng Pegunungan Biru untuk menutupi logistik yang kian menipis.

Baca Juga: Santer Dikabarkan Terinfeksi Covid-19, Kapolri Pastikan Kesehatannya dan Pamer Foto, Idham Azis: Saya Lagi Badminton Nih

Salah satu pemukiman warga yang pernah menjadi sasaran perampasan adalah Dusun Taman Jeka, sebuah wilayah yang terletak di Desa Masani, Kecamatan Poso Pesisir, Kabupaten Poso.

Boy meyakini MIT semakin tersudut karena masyarakat Kabupaten Poso dan sekitarnya sudah tidak lagi memberikan simpati dan dukungan terhadap eksistesi mereka.

"Jadi hari ini cara bertahan mereka untuk hidup di lereng-lereng Pegunungan Biru antara lain dengan mencari logistik, dengan merapok mengambil harta benda masyarakat," terang Boy Rafli.

"Jadi inilah yang terjadi sekaligus kita memang menunjukan mereka masih eksis dan inilah yang menjadi tantangan kita untuk melumpuhkan mereka dalam beberapa waktu ke depan," imbuh Boy Rafli.

Seperti diketahui, pembantaian satu keluarga di Dusun St.2 Lewono, Desa Lemban Tongoa, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi terjadi pada Jumat (27/11/2020) pukul 09.00 WIB.

Sekretaris Desa Lemban Tongoa, Rifai mengatakan, di hari kejadian ada delapan orang yang tak dikenal mendatangi rumah Ulin.

Mereka menyandera Ulin dan keluarganya.

Lalu delapan orang tak dikenal itu membunuh korban Yasa dan Pino Nei.

Tiga orang pelaku membawa senjata api laras panjang dan dua senjata api genggam.

Ulin lari menyelamatkan diri ke Desa Lembontonga.

Total ada empat anggota keluarga Ulin yang dibunuh.

Mereka adalah pasangan suami istri, anak, dan menantu.

Selain itu ada enam rumah yang dibakar.

Baca Juga: Dokumen Rahasia Bocor, Kebohongan China Dalam Penanganan Virus Corona Akhirnya Terkuak, Sembunyikan Separuh Kasus dan Kematian

Warga sekitar dusun yang mengetahui kejadian tersebut melarikan diri ke Desa Kemban Tongoa karena takut.

Sementara itu para pelaku mengambil 40 kilogram beras dan membakar kendaraan bermotor.

Ada sembilan KK atau sekitar 50 orang dari berbagai suku yang tinggal di lokasi tersebut.

Kepada saksi, polisi kemudian memperlihatkan foto pada DPO teroris MIT, salah satunya Ali Kalora yang disebut sebagai pimpinan MIT.

Menurut Kapolda Sulawesi Tengah Irjen Abdul Rakhman Baso, saksi membenarkan foto tersebut.

"Saya luruskan tidak ada gereja yang dibakar. Bukan gereja. Hanya ada satu rumah yang kadang dipakai untuk melayani umat," kata Kapolda.

Artikel ini telah tayang di surya.co.id dengan judul Pengaruh Ali Kalora Tak Sekuat Santoso, Kenapa 5 Tahun Operasi Tinombala Tak Kunjung Menangkapnya?

(*)