Gridhot.ID - Kasus red notice Djoko Tjandra terus bergulir di meja hijau.
Beberapa waktu lalu melansir dari siaran Kompas TV, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H Laoly bahkan dituding ikut masuk dalam pusaran kasus Djoko Tjandra.
Selain itu nama Wakil Presiden Ma'ruf Amin pun disebut-sebut dalam persidangan kasus tersebut.
Di tengah persidangan kasus yang belum rampung, baru-baru ini tersiar kabar duka.
Mantan Hakim Agung dan Anggota Dewan Pengawas KPK Artidjo Alkostar meninggal dunia.
Melansir dari TribunJakarta.com, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyebutkan Artidjo Alkostar meninggal dunia karena penyakit jantung dan paru-paru.
Sepak terjang Artidjo Alkostar sangat panjang dalam dunia hukum di Indonesia.
Ia dikenal sangat ditakuti koruptor dan menangani kasus-kasus besar yang menyita perhatian publik.
Mahfud MD menyebut Artidjo merupakan hakim yang begitu ditakuti para koruptor.
"Artidjo Alkostar adl hakim agung yg dijuluki algojo oleh para koruptor. Dia tak ragu menjatuhkan hukuman berat kpd para koruptor tanpa peduli pd peta kekuatan dan back up politik. Dulu almrhm adl dosen di Fak. Hukum UII Yogya yg jg jd pengacara. Selama jd pengacara dikenal lurus," tulis Mahfud MD lewat akun twitternya.
Berikut sosok Artidjo Alkostar yang dirangkum dari berbagai sumber serta sepak terjangnya menangani kasus hukum.
Ditakuti Koruptor
Artidjo adalah salah satu sosok hakim yang paling ditakuti oleh koruptor kala mengajukan kasasi di MA.
Saat palu hakim di tangan Artidjo, alih-alih para koruptor berharap mendapatkan keringanan hukuman, justru diganjar dengan vonis yang lebih berat.
Dilansir dari Indonesia.go.id, Artidjo Alkostar mengawali karirnya sebagai pembela hukum di LBH Yogyakarta.
Pria kelahiran Situbondo, 22 Mei 1948 ini pernah menjadi hakim agung selama 18 tahun lebih.
Sebelum menjadi Hakim Agung pada 2000, Artidjo berkarier sebagai advokat selama 28 tahun.
Saat menjabat sebagai hakim agung, 19.708 berkas perkara pernah ia tangani. Atau rata-rata setiap tahunnya dia menangani 1.095 perkara.
Selama menjabat, Artidjo tak pernah mengambil cuti dan selalu menolak ketika diajak ke luar negeri. Alasannya, hal tersebut bisa berimplikasi besar terhadap tugas-tugasnya.
Tangani Kasus Soeharto dan Joko Tjandra
Kiprah Artidjo sebagai hakim agung semakin dikenal, karena dia berani berbeda pendapat dengan majelis hakim yang lain pada perkara mantan Presiden Soeharto dan skandal Bank Bali dengan terdakwa Joko Sugiarto Tjandra.
Pada kasus Joko Tjandra, ia menyimpulkan terdakwa bersalah dan dihukum 20 tahun.
Dua hakim agung lain membebaskannya.
Putusan Joko Tjandra itu memperkenalkan dissenting opinion. Ini membuat pendapat Artidjo diketahui publik.
"Ya, dengan begitu orang tidak selalu menganggap saya sebagai pecundang, karena, paling tidak pendapat saya ada yang mendukung. Mosok, dari dulu jadi pecundang terus. Sebagai pengacara, saya sering kalah, karena tidak mau menyuap hakim dan jaksa," ungkap alumnus maupun dosen Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta tersebut.
Tolak Kasus PK Ahok
Dikutip dari Kompas.com, Mahkamah Agung menolak peninjauan kembali (PK) yang diajukan mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, Senin (26/3/2018).
Juru Bicara MA Suhadi mengatakan, majelis hakim yang dipimpin Hakim Agung Artidjo Alkostar menolak seluruh alasan yang diajukan dalam PK Ahok.
"PK Ahok tidak dikabulkan majelis hakim. Alasannya (mengajukan PK) tidak dikabulkan majelis hakim. Pertimbangan belum bisa saya beri tahu," ujar Suhadi saat dikonfirmasi Kompas.com, Senin sore.
Sebelumnya, dalam program AIMAN yang tayang di KompasTV, Senin (5/3/2018), Suhadi mengatakan bahwa upaya pengajuan PK Ahok tersebut merupakan yang pertama dan terakhir bagi Ahok.
"Kalau melihat apa yang sudah digariskan Mahkamah Agung itu adalah final, satu kali. Hanya satu kali dan tidak boleh ada PK lain," kata Suhadi. Hal ini seperti yang tertuang dalam surat edaran (SEMA) Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pembatasan PK, yang pada intinya tidak memperbolehkan peninjauan kembali lebih dari sekali.
Suhadi mengatakan, alasan Ahok tidak lagi bisa mengajukan PK karena MA melihat kondisi yang ada, manajemen perkara ada UU lain yang menentukan satu kali.
"UU MA, UU Kekuasaan Kehakiman, putusan PK tidak boleh dilakukan PK," ujarnya.
Sejumlah terdakwa juga tercatat pernah mengajukan PK lebih dari sekali, seperti terpidana mati kasus narkoba Zainal Abidin.
Artidjo dikenal sebagai sosok yang bersih dan ditakuti oleh koruptor saat dirinya masih bertugas di Mahkamah Agung (MA).
Artidjo mengawali karirnya sebagai advokat. Setelah menjadi advokat selama 28 tahun, Artidjo menjabat sebagai hakim agung terhitung sejak tahun 2000.
"Tercebur di Dunia Hukum" Dikutip dari pemberitaan Kompas.com, September 2019, tertulis bahwa Artidjo muda besar di Situbondo.
Waktu SMA dia mengambil jurusan ilmu alam (sekarang IPA). Lulus SMA, pria kelahiran Situbondo, 22 Mei 1949 ini ingin mendaftar di Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.
"Saya menitipkan untuk didaftarkan ke teman saya, Mas Said, dia orang UII (Universitas Islam Indonesia)," kata Hakim Agung ini di acara Satu Meja yang ditayangkan Kompas TV, Senin (12/9/2016).
Saat itu, Said mengabarkan bahwa pendaftaran ke UGM sudah ditutup. "Saya terlambat," katanya kepada pemandu acara Satu Meja, Budiman Tanuredjo.
Koleganya mengusulkan agar Artidjo mendaftar ke Fakultas Hukum UII sambil menunggu pembukaan pendaftaran UGM tahun depan.
Sekalian juga untuk menyesuaikan dengan kehidupan Kota Yogyakarta.
"Saya setuju. Dari pada di Situbondo saya bengong," ujar mantan Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung ini.
Setelah didaftarkan dan lulus, Artidjo ternyata menikmati kuliah di fakultas hukum.
Apalagi setelah mengikuti kegiatan organisasi kemahasiswaan. Dia malah melupakan cita-cita masuk Fakultas Pertanian UGM.
"Saya enjoy dan malah tak berminat lagi ke fakultas pertanian," tuturnya. Budiman lantas bertanya, menyesalkah Anda? "Enggak lah, karena di bidang hukum saya bisa membantu banyak orang," jawab Artidjo.(*)