Gridhot.ID - Kaesang kini sedang menjadi sorotan habis-habisan.
Dikutip Gridhot dari Grid.ID, hal ini bermula dari perpisahan Kaesang Pangarep dengan Felicia Tissue beberapa waktu lalu.
Setelah sekian lama, kini Kaesang yang sudah menggandeng wanita baru justru langsung mendapat serangan dari pihak Felicia Tissue.
Ibunda Felicia sendirilah yang mengumbar masalah itu ke publik.
Bahkan sang ibunda menyebut Kaesang pernah berjanji akan menikahi putrinya.
Pertanyaannya, apakah ingkar janji menikah dapat berujung pidana?
Dikutip Gridhot dari Warta Kota, Dosen Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, Daddy Fahmanadie, mengatakan hukum pidana Indonesia menganut asas legalitas dan lex certa dari sisi perbuatan yang dapat dipidana.
Sehingga soal ingkar janji menikah bisa diproses pidana itu tergantung dari apakah hal itu sudah diatur sebagai perbuatan pidana atau belum.
Dari sisi ini agaknya sulit untuk memperoses pidana perbuatan tidak memenuhi janji menikahi.
Kalaupun hendak dimintai tanggung jawab dari salah satu pihak, tetap akan perdebatan mengenai kesengajaan dan kesalahan.
“Yang akan diperdebatkan adalah sejauh mana kesalahan dan kesengajaannya,” ujar Daddy kepada hukumonline seperti ditulis dalam berita berjudul Pernah Janji Menikahi Pacar? Hati-Hati Perangkap Onrechtmatigedaad yang tayang pada Jumat 16 Februari 2021.
Perdebatan itu mungkin muncul karena janji menikahi diucapkan secara lisan sebagai simbol keseriusan salah satu pasangan. Pembuktian janji lisan itu juga bukan perkara mudah. “Kecuali mereka sejak pacaran sudah perjanjian tertulis. Itu lain soal,” ujar Daddy.
Bisa Digugat Perdata
Jika jalur pidana sulit untuk menggugat pasangan yang ingkar janji menikah, jalur perdata mungkin bisa jadi solusinya.
Selain jalur pidana, mungkin saja salah satu pihak menempuh gugatan perdata dengan menggunakan dalil perbuatan melawan hukum atau onrechtmatigedaad.
Onrechtmatigedaad umumnya merujuk pada Pasal 1365 BW/KUH Perdata yang menyebutkan setiap perbuatan melawan hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menyebabkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.
Dalam praktiknya, onrechtmatigedaad adalah konsep hukum yang mudah digunakan pihak-pihak yang merasa dirugikan, dan bisa menjadi perangkap dalam hubungan berpacaran yang tak berlanjut ke pelaminan. Tak percaya? Setidaknya, begitulah yang terjadi di Indonesia.
Salah satu yang menjadi yurisprudensi adalah putusan yang dijatuhkan hakim agung Bagir Manan, Parman Suparman, dan Arbijoto, pada petengahan Juli 2003.
Dalam putusan ini, majelis hakim agung mengabulkan permohonan kasasi Pemohon Kasasi/Penggugat. Judex facti dianggap salah menerapkan hukum.
Menurut majelis hakim agung, tidak dipenuhinya janji menikahi mengandung arti Tergugat telah melanggar norma kesusilaan dan kepatutan masyarakat, dan perbuatan Tergugat adalah perbuatan melawan hukum.
Oleh karena perbuatan tidak memenuhi janji menikahi itu menyebabkan kerugian bagi Penggugat, maka Tergugat asal wajib membayar ganti rugi yang besarnya ditetapkan dalam amar.
Jumlahnya sebesar Rp7,5 juta sebagai pengganti biaya yang telah dikeluarkan Penggugat untuk membiayai hidup Tergugat selama mereka berdua menjalin asmara.
Dari putusan perkara ini dapat ditarik kaidah hukum bahwa ‘dengan tidak dipenuhinya janji untuk mengawini, perbuatan tersebut adalah suatu perbuatan melawan hukum karena melanggar kesusilaan dan kepatutan dalam masyarakat’.
Juga dapat diketahui bahwa ini bukan putusan pertama yang menghukum pelaku yang ingkar janji menikahi.
Hakim agung merujuk pada yurisprudensi No. 3191K/Pdt/1984 tanggal 8 Februari 1986. Dalam putusan ini, hakim agung menyatakan perbuatan Tergugat asli yang tidak memenuhi perjanjian untuk melangsungkan perkawinan dikualifikasi sebagai pelanggaran norma kesusilaan dan kepatuhan dalam masyarakat, sekaligus merupakan perbuatan melawan hukum yang merugikan Penggugat asli.
Menurut Prof. Sudargo, putusan Mahkamah Agung ini membuka jalan secara hukum perdata untuk menuntut pihak yang tidak menepati janji menikahi.
Sebab sebenarnya janji untuk menikahi tidak dapat membawa penuntutan ganti kerugian.
Hal itu lantaran pasal 58 BW menyebutkan “janji-janji kawin tidak menimbulkan hak guna menuntut di muka hakim akan berlangsungnya perkawinan, pun tidak guna menuntut penggantian biaya, rugi, dan bunga, akibat kecederaan yang dilakukan terhadapnya. Segala persetujuan untuk ganti rugi dalam hal ini adalah batal”.
Gugatan ganti rugi bisa diajukan jika terbukti sudah ada pemberitahuan akan kawin kepada petugas (Kantor Catatan Sipil) diikuti pengumuman kawin oleh petugas tersebut.
Namun setelah ada UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, mekanisme perkawinan menurut hukum Barat itu tak berlaku lagi.
Pasal 29 UU Perkawinan memperkenankan kedua pasangan membuat perjanjian tertulis sebelum perkawinan dilangsungkan.
Namun perjanjian itu tidak boleh melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan. UU Perkawinan tak menyinggung sama sekali mengenai janji menikahi yang kemudian diingkari.
Meskipun sudah ada yurisprudensi, tak semua gugatan atas janji menikahi yang diingkari diterima oleh hakim.
Dalam salah satu putusan tertanggal 23 Februari 2013, Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi Penggugat asal.
Dalam petitumnya di tingkat pertama, Penggugat asal meminta majelis hakim menyatakan Tergugat telah ingkar janji untuk menikahi Penggugat.
Namun argumentasi Penggugat ditepis majelis. Majelis hakim agung beralasan Penggugat tidak dapat membuktikan dalil-dalilnya telah menyerahkan keperawanan kepada Tergugat asal setelah Tergugat asal berjanji akan menikahi Penggugat.
Dalam bukunya Himpunan Jurisprudensi Indonesia yang Penting untuk Praktek Sehari-Hari (Landmark Decisions), Sudargo Gautama mencatat bahwa putusan 8 Februari 1986 itu mungkin yang pertama kali di Indonesia masalah tidak menepati janji untuk melangsungkan perkawinan dianggap sebagai perbuatan melawan hukum, dan diikuti keharusan membayar ganti rugi.
(*)