Find Us On Social Media :

Bak Tak Kapok Diperalat, Timor Leste Lagi-lagi Serahkan Urusan Pengeboran Minyak ke Australia, Ini Alasannya

Ilustrasi ladang minyak bumi.

GridHot.ID -  Negera Timor Leste pernah menjadi bagian dari Indonesia.

Namun pada 30 Agustus 1999, Timor Leste mengadakan jajak pendapat atau referendum untuk memilih melepaskan diri atau tetap bersama Indonesia.

Melansir Kompas.com, pada 31 Agustus 1999, penentuan pendapat untuk menentukan masa depan Timor Leste berlangsung lancar.

Sebab, pemilih yang berpartisipasi mencapai 90 persen, sehingga penentuan pendapat tidak berlangsung lama.

PBB mengumumkan hasil jajak pendapat pada 4 September 1999.

Baca Juga: Nelangsa Tak Bisa Rayakan Lebaran Bareng Suami Seperti Tahun-tahun Berikutnya, Krisdayanti Hanya Bisa Pasrah: Harus Kita Jalani

Hasilnya dari sekitar 450.000 pemilih, sebanyak 78,5 persen warga Timor Leste memilih untuk menolak otonomi, 21 persen memilih otonomi, dan 1,8 persen dinyatakan tidak sah.

Sekjen PBB saat itu, Kofi Annan mengatakan bahwa hasil itu menunjukkan penduduk Timor Leste menginginkan kemerdekaan.

Sejak hasil diumumkan, Timor Leste resmi memisahkan diri dari Indonesia.

Lantas bagaiman kabar Timor Leste saat ini?

Melansir Intisari Online, Timor Leste kian tergiur dengan pendapatan USD 600 Juta jika pengeboran sumur Buffalo-10 berhasil dibor akhir Oktober tahun ini.

Baca Juga: Kediaman Krisdayanti Disambangi Anak dan Menantunya, Raul Lemos Berikan Pesan yang Tak Terduga, Begini Katanya

Lagi-lagi, operator dalam proyek ini adalah perusahaan Australia, Carnarvon Petroleum.

Tidak hanya Australia, Inggris lewat Advance Energy mengatakan mereka juga akan terlibat dalam pengeboran kilang minyak Buffalo di lepas pantai Timor Leste.

Carnarvon dan Advance mengatakan mereka telah memilih rig pengeboran jack up untuk eksplorasi sumur Buffalo-10 dan kontak formal sekarang sedang difinalisasi.

Jikas emua terlaksana dengan baik maka pengeboran akan dimulai akhir Oktober dan hasilnya akan keluar awal Desember.

Melansir Energy Voice, Carnarvon Petroloeum dan Advance Energy berharap mengembangkan lebih dari 30 juta barel minyak yang tampaknya ditinggalkan oleh operator sebelumnya, termasuk BHP dan Nexen Petroleum di lepas pantai Timor Leste.

Baca Juga: Punya Misi Lawan Indonesia hingga Memutuskan Menikah, Inilah Sosok Kirsty Sword Mantan Istri Xanana Gusmao, Pernah Jadi Mata-mata Timor Leste dan Menyusup ke Penjara di Jakarta

Ladang minyak Buffalo awalnya ditemukan pada tahun 1996 oleh BHP dan menghasilkan 20,5 juta barel minyak ringan antara tahun 1999 dan 2004.

BHP mengoperasikan lapangan tersebut selama dua tahun sebelum dijual ke Nexen.

 

Kedua operator gagal membuka kunci minyak yang ada di puncak geologis lapangan, yang dikenal sebagai loteng.

Cadangan minyak yang disebut loteng tersebut adalah minyak/gas yang terletak di antara sumber tertinggi dalam reservoir dan segel reservoirnya.

Biasanya sangat sulit memproduksi minyak cadangan jenis ini.

Eksplorasi sumur Buffalo-10 akan menguji keberadaan simpanan cadangan minyak loteng itu.

Meski beberapa pengamat industri skeptis melihat operator sebelumnya bisa melewatkan cadangan minyak sebesar itu, CEO Advance, Leslie Peterkin, menjelaskan rasionalisasinya mengenai taruhan besar di ladang minyak itu.

Baca Juga: Sekarang Jadi Crazy Rich Timor Leste, Siapa Sangka Raul Lemos Dulu Keluar Masuk Pasar Jualan Telur, Ini Kisah Hidup Suami Krisdayanti yang Jarang Diketahui

Jika pengeboran terbukti berhasil dan mereka menemukan sekitar 30 juta barel minyak, maka Timor Leste dapat mengantongi sekitar USD 450 juta selama masa proyek lima tahun, menurut Peter Strachan, seorang analis energi independen yang berbasis di Perth.

Ini didasarkan pada harga minyak USD 75 per barel dengan biaya pengembangan dipatok USD 450 juta dan biaya operasi USD 1.050 juta.

Jika biaya pembangunan kurang dari USD 450 juta ($15/barel) maka pemerintah Timor Leste akan menerima lebih banyak.

 

"Keuntungan bagi pemerintah bisa melihatnya mengantongi USD 610 juta selama masa proyek lima tahun," kata Strachan kepada Energy Voice.

Kepala eksekutif Carnarvon Adrian Cook mengatakan bahwa "ladang Buffalo memberikan peluang bagus untuk dengan cepat memberikan pengembangan minyak berbiaya rendah yang siap memanfaatkan pasar minyak yang menguat dan memperkirakan kekurangan pasokan."

Baca Juga: Terpisah Jarak Sampai Susah Ketemu, Krisdayanti Ungkap Kondisi Tempat Tinggal Suaminya yang Sedang Krisis Gara-gara Terdampak Bencana Alam: Sangat Sedih...

Jika proyek ini lolos, maka Timor Leste kembali terjebak dalam urusan pengeboran minyak bersama Australia yang sudah lama memperalat mereka demi cadangan minyaknya.

Sejak merdeka, hubungan Timor Leste dengan Australia telah ditutupi oleh satu faktor penting: minyak dan gas dalam perbatasan maritim mereka.

Hubungan memburuk tahun 2012 ketika Timor Leste menantang Perjanjian Susunan Maritim Tertentu di Laut Timor (CMATS) yang disepakati dua negara tahun 2006.

Kesepakatan itu mengatur moratorium 50 tahun dalam negosiasi batas maritim, atau 5 tahun setelah eksploitasi ladang minyak Greater Sunrise berakhir, yang ternyata terjadi lebih cepat.

Tuduhan merebak tahun 2013 ketika mantan agen ASIS (kini dikenal dengan Saksi K) membeberkan jika Australia telah memata-matai pejabat Timor Leste selama negosiasi perjanjian CMATS.

Baca Juga: Berjalan di Tanah Becek hingga ke Pelosok, Eks Presiden Timor Leste Kepergok Turun Langsung Pikul Bantuan untuk Korban Banjir, Xanana Gusmao: Tuhan yang Menyelamatkan Kalian

Timor Leste segera menuntut kasus tersebut dan meminta sidang di Den Haag menantang kesepakatan yang dikatakan ingin dilaksanakan atas niat baik.

Australia malu dengan pemaparan tersebut, tapi berniat mempertahankan perjanjian dan fokus dalam perjanjian pembagian hasil.

Namun, Timor Leste berargumen jika sumber daya minyak dan gas di Laut Timor akan ada di sisi lain garis tengah dan kemudian mereka mendorong batasan permanan ditarik antar dua negara.

Saat hubungan memburuk, kunjungan kementerian menurun dalam 5 tahun.

Karena Australia telah meninggalkan pengadilan internasional sebagai upaya menyelesaikan batas maritim tahun 2002, Timor Leste hanya punya satu pilihan terakhir.

Baca Juga: Hadiri Pernikahan Atta-Aurel Tanpa Didampingi Sang Suami, Krisdayanti Ungkap Alasan Memprihatinkan Dibalik Absennya Raul Lemos, Begini Kondisinya!

Tahun 2016, mereka mengawali penggunaan proses konsiliasi UNCLOS: mediasi wajib tidak mengikat antara negara yang sedang bersengketa secara maritim.

Panel konsiliasi terdiri dari 5 hakim menemukan kesepakatan CMATS dalam menentukan batas maritim terbilang invalid.

(*)