Bikin Syok hingga Tak Mampu Beri Komentar, Ahli Temukan Fakta di Luar Nalar Saat Bedah Jasad Pasien Covid-19, Sebut Ada Kemiripan dengan Wabah Ini

Rabu, 07 Juli 2021 | 19:42

(ilustrasi) Jenazah korban Covid-19. Kabarnya Singapura telah melakukan otopsi mayart korban Covid-19.

GridHot.ID - Pandemi virus corona hingga kini masih menjadi momok bagi dunia.

Bahkan, di Indonesia, kasus harian positif covid-19 makin menunjukkan peningkatan.

Melansir Tribunnews.com, tak hanya tambahan kasus positif Covid-19, angka kematian akibat virus corona pun pada awal Juli ini mengalami peningkatan cukup tajam.

Baca Juga: Bak Bukti Tak Hanya Modal Tenar, Mulan Jameela Tunjukkan Taringnya Sebagai Anggota Dewan, Komentari PPKM Darurat dan Soroti Kebijakan Luhut Ini

Berdasarkan catatan Tribunnews.com, Selasa (6/7/2021), angka harian positif Covid-19 kembali menunjukan peningkatan signifikan dengan 31.189 kasus.

Dibanding hari sebelumnya angka tersebut meningkat sebanyak 1.444 kasus.

Pada hari yang sama dilaporkan 15.863 orang sembuh dan 728 dilaporkan meninggal dunia karena Covid-19.

Baca Juga: Tabiatnya Seolah Jadi Boomerang sampai Harus Masuk Ruang NICU, Fatin Shidqia Sampai Ditegur Dokter Gara-gara Nekat Lakukan Ini Saat Positif Covid-19

Hingga saat ini dari kasus pertama ditemukan pada Maret 2020, total kasus infeksi corona di Indonesia berjumlah 2.345.018.

Sementara itu, dilansir dari GridHits.id, peneliti ini mendadak syok usai melakukan pembedahan terhadap tubuh jenazah pasien covid-19.

Sesuatu yang belum pernah di temui sebelumnya, terdapat pada bagian dalam tubuh korban yang meninggal akibat virus corona.

Hal itu terjadi usai seorang ilmuwan China membedah salah seorang korban.

Tubuh yang diotopsi merupakan jenazah dari seorang pria berusia 50 tahun.

Baca Juga: Heboh Curhatan Fotografer Soal Artis 'N' Positif Covid-19 Tapi Ngotot Kerja, Natasha Wilona Buka Suara: Kalian Lihat Sendiri Buktinya

Ia disebutkan sudah meninggal akhir Januari lalu akibat virus corona.

Melansir The Lancet, ini berdasarkan otopsi yang dilakukan para ahli dari Pusat Medis Kelima Rumah Sakit Umum, Tentara Pembebasan Rakyat di Beijing.

Rupanya dalam tubuh korban terdapat situasi yang mirip dengan wabah SARS, penyakit yang pernah menyerang China Selatan tahun 2002-2003.

Baca Juga: Perlahan Mulai Tertekan 'Penguncian Nasional', Warga Malaysia Ramai Kampanyekan #benderaputih dan #benderahitam di Media Sosial, Ternyata Simpan Makna Mendalam Dibaliknya

Pada saat itu SARS menewaskan lebih dari 800 orang dan lebih dari dua lusin negara saat itu juga merasakan dampak dari wabah tersebut.

Sementara itu wabah MERS mewabah tahun 2012, pertama kali diidentifikasi di Arab Saudi menyebabkan 860 kematian secara global.

Peristiwa ini terjadi beberapa waktu lalu.

Pria yang diotopsi di Beijing itu memiliki gejala awal pada 14 Januari kemudian meninggal dua minggu kemudian.

Setelah itu dia mendonasikan tubuhnya untuk bahan penelitian jika dirinya meninggal, namun akhirnya dia benar-benar tewas.

Kemudian setelah ilmuwan melakukan peneliti dengan otopsi temukan pada alveoli di kedua paru-parunya mengalami kerusakan.

Baca Juga: Namanya Terseret Isu Pelanggaran Protokol Kesehatan, Natasha Wilona Klarifikasi Soal Kondisinya yang Diduga Ngotot Pemotretan Saat Positif Covid-19: Semoga Tak Ada Lagi yang Menggiring Fitnah

Juga ditemukan cedera pada hatinya yang kemungkinan disebabkan oleh virus corona.

Ada kerusakan yang kurang substansial pada jaringan jantung, menunjukkan bahwa infeksi "mungkin tidak secara langsung merusak jantung."

Peneliti mengatakan, bahwa pengobatan antiinflamasi yang direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tidak boleh secara rutin digunakan di luar uji klinis.

Baca Juga: Bakal Dijadikan Syarat Bepergian Selama Pandemi, Pemerintah Wajibkan Masyarakat Cetak Sertifikat Vaksin Lewat Aplikasi PeduliLindungi, Berikut Caranya

Wa Fu-sheng dan Zhao Jingmin dua rekan penulis itu tidak mampu menghadapi kometar lebih lanjut.

Tapi mereka mencatat dalam penelitian ini bahwa tidak ada patologi yang ditemukan, sebelum kasus virus corona.

Wabah ini telah menyebabkan sekitar 74.000 orang terinfeksi dan lebih dari 2.000 orang meninggal, sementara yang disembuhkan sekitar 16.000 orang.

Lebih dari 25 negara telah melaporkan infeksi virus corona, dan memicu kekhawatiran bahwa wabah tersebut oleh WHO digolongkan sebagai darurat global.

Sebuah studi terpisah yang diterbitkan dalam The Lancet oleh para spesialis dari University of Edinburgh pada 7 Februari berpendapat bahwa, tentang penggunaan kortikosteroid.

Baca Juga: Stok Oksigen Langka hingga 33 Pasien Covid-19 Meninggal saat Dirawat, Kritisnya RS di Indonesia dapat Sorotan Media Australia, Berikut Pemberitaannya

Suatu kelas hormon steroid banyak digunakan selama wabah SARS dan MERS dan telah dicoba pada pasien virus corona baru.

Studi pengamatan menyarankan penggunaannya untuk mengurangi peradangan dapat menyebabkan komplikasi termasuk diabetes, kematian jaringan tulang dan penundaan pengangkatan virus.

Lima ilmuwan China yang dipimpin oleh Lianhan Shang dari Universitas Pengobatan China Beijing, menerbitkan tanggapan terhadap penelitian yang mendorong penggunaaan kortikosteroid dalam kasus tertentu.

Baca Juga: Ganasnya Virus Corona Varian Delta, Jubir Covid-19 Pemerintah Anjurkan Cara Paling Mudah untuk Bertahan di Tengah Pandemi: Waspada dan Hati-hati Kuncinya

Tanggapan ini mengakui risiko penggunaan kortiskosteroid dosis tinggi pada pasien virus corona, termasuk potensi infeksi lainnya.

Tapi mungkin dibenarkan untuk pasien yang sakit kritis dengan peradangan yang signifiasinnya terletak di paru-paru mereka.(*)

Tag

Editor : Desy Kurniasari

Sumber Tribunnews.com, GridHits.ID