GridHot.ID - Kisah asmara Ibu Tien dengan Soeharto memang tidak diawali dengan kisah cinta-cintaan atau bahkan pacaran.
Dikutip dari Tribunnews, Cinta Ibu Tien dan Soeharto tumbuh dengan sendirinya setelah mereka resmi menikah
Hal ini tentu tak luput dari peran orangtua Bu Tien dan Soeharto yang sepakat untuk menjodohkan anak mereka
Melansir dari Intisari dalam artikel 'Kisah Cinta Pak Harto dan Bu Tien, Semanis Tebu yang Menyentuh Kalbu', Soeharto dan Hartinah sudah saling kenal sejak mereka kanak-kanak.
Keduanya sama-sama bersekolah di satu SMP, di Wonogiri, Jawa Tengah.
Di sana, Hartinah merupakan adik kelas Soeharto. Kebetulan dia satu kelas dengan Sulardi, sepupu Soeharto.
Soeharto sendiri diceritakan tak pernah menunjukkan tanda-tanda tertarik kepada Hartinah.
Justru Hartinah yang sempat berkelakar kepada Sulardi bahwa suatu saat nanti dirinya akan menjadi kakak ipar Sulardi.
Lulus sekolah, Soeharto melanjutkan ke PETA dan terjun ke dunia ketentaraan. Sementara Hartinah aktif di Laswi dan PMI.
Yogyakarta, 1947. Suatu hari Soeharto berkunjung ke kediaman keluarga Prawirowiardjo yang telah lama mengasuhnya.
Keluarga bibi dan pamannya itu belum lama pindah dari Wuryantoro, Wonogiri ke Yogyakarta
"Harto," kata Bu Prawiro, yang merupakan adik Pak Karto (ayahanda Soeharto).
"Sekalipun engkau bukan anakku sendiri, aku sudah mengasuhmu sejak ayahmu mempercayakan engkau pada kami. Aku pikir, sebaiknya segera mencarikan istri untukmu."
O.G. Roeder menulis dalam bukunya 'Soeharto--Dari Pradjurit Sampai Presiden', mengisahkan bahwa Soeharto sempat menolak secara halus tawaran bibinya.
Dia beralasan masih ingin berkonsentrasi di dunia militer. Tapi setelah dibujuk terus menerus, akhirnya Soeharto menurut juga.
Soeharto bertanya, siapa kiranya yang akan dijodohkan dengan dirinya.
Bu Prawiro tersenyum. Dia berkata pelan bahwa Soeharto sebenarnya sudah kenal dengan gadis tersebut.
“Masih ingatkah kamu dengan Siti Hartinah,” kata Bu Prawiro seperti dikisahkan di buku 'Falsafah Cinta Sejati Ibu Tien dan Pak Harto'.
Soeharto mana mungkin lupa dengan adik kelas manis yang suka mengolok-olok sepupunya sebagai adik ipar.
Tapi, mendadak nyali Soeharto menciut.
Hartinah berasal dari keluarga ningrat. Putri RM Soemoharjomo dan Raden Ayu Hatmati Hatmohoedojo, wedana dari Kraton Mangkunegaran, Surakarta.
Mana mungkin pria dari kelas bawah macam dirinya, bisa bersanding dengan putri ningrat ? Begitu pikir Soeharto.
"Tapi bu, apakah orangtuanya akan setuju? Saya orang kampung biasa. Dia orang ningrat…"
Bu Prawiro meyakinkan bahwa dirinya cukup dekat dengan keluarga Soemoharjomo. Selain itu, “Keadaan sudah berubah,” terang Bu Prawiro.
Hartinah sendiri dikabarkan sempat membuat pusing keluarganya. Sebab berkali-kali dia menolak lamaran banyak pria yang meminangnya.
Tak lama setelah pertemuan itu, Soeharto dan keluarga bibinya berkunjung ke rumah Soemoharjomo di Solo.
Dan Soeharto pun dipertemukan untuk pertama kalinya dengan Hartinah, calon istrinya.
Dalam pertemuan itu pun Soeharto masih belum percaya diri, “apakah dia akan benar-benar suka kepada saya?” batin Soeharto.
Kenyataannya, keluarga Soemoharjomo menerima pinangan Soeharto.
Pernikahan dilakukan pada 26 Desember 1947. Resepsinya sangat sederhana. Pada malam hari hanya bercahayakan temaram lilin. Tak dihadiri banyak tamu.
Saat itu Soeharto berumur 26 dan Hartinah 24.
Menurut RE. Elson dalam bukunya 'Suharto: Sebuah Biografi Politik', hubungan cinta dua insan yang berbeda latar belakang status sosialnya itu diuntungkan oleh situasi zaman revolusi.
Era revolusi memungkinkan seorang pemuda desa seperti Soeharto memiliki “pamor” karena berkecimpung sebagai perwira militer yang memiliki tempat terhormat pada masa itu.
Itulah yang membuat gambaran Soeharto berbeda di depan mata calon mertuanya, selain tentu saja karena hubungan dekat keluarga pamannya dengan orangtua Hartinah.
“Perkawinan kami tidak didahului dengan cinta-cintaan seperti yang dialami oleh anak muda di tahun delapan puluhan sekarang ini. Kami berpegang pada pepatah, ‘witing tresna jalaran saka kulina,” kata Soeharto kepada Ramadhan KH, dalam 'Ucapan, Pikiran dan Tindakan Saya'.
Dilansir dari SuryaMalang, dalam otobiografinya, Soeharto menulis ia dan sang istri selalu menjaga ketentraman rumah tangga dengan cinta dan pengertian.
Tak bisa dipungkiri, cinta kasih dan dukungan yang diberikan Hartinah menjadi pendorong karir Soeharto sebagai presiden.
Laiknya pasangan lain, cemburu dan cekcok suami istri juga dialami Soeharto. Namun baik Soeharto maupun Hartinah bisa menempatkan kecemburuan secara bijak.
"Hanya ada satu Nyonya Soeharto dan tidak ada lagi yang lainnya. Jika ada, akan timbul pemberontakan yang terbuka di dalam rumah tangga Soeharto," demikian tulis kata Pak Harto.
Selama 49 tahun mereka hidup berdampingan. Sampai Hartinah berpulang pada 1996.
Dan, 12 tahun kemudian, Soeharto menyusul wanita terkasihnya untuk kembali bersama.
(*)