Gridhot.ID - Pertamina kembali menaikkan harga bahan bakar non subsidi.
Dikutip Gridhot dari Kompas.com, Pertamax Turbo dan Dex Series diketahui telah mengalami kenaikan.
Pihak Pertamina sendiri mengakui Pertamax juga bisa ikut mengalami kenaikan harga.
Hal ini dikarenakan perkembangan harga minyak dunia yang masih belum stabil.
Tentu kenaikan ini beresiko bagi mereka yang sudah terbiasa menggunakan bahan bakar non subsidi lalu beralih ke bahan bakar subsidi.
Dikutip Gridhot dari TribunSolo, Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati mengungkapkan bagaimana kondisi negara apabila banyak pengguna Bahan Bakar Minyak (BBM) non subsidi beralih ke BBM subsidi.
Menurut Nicke, bakal ada potensi shifting atau perpindahan konsumsi pengguna BBM non subsidi ke BBM subsidi setelah adanya kenaikan harga Pertamax Turbo, Dexlite, dan Pertamina Dex.
Meski demikian, Pertamina mengaku sudah mengkalkulasikan dengan tepat dampak yang terjadi setelah adanya kenaikan pada harga BBM non subsidi.
“Ya, itu pasti terjadi shifting, kami hitung betul ketika kami ingin menaikkan harga, berapa kira–kira perpindahannya. Ini yang harus dilakukan lebih lanjut agar perpindahan ini terkendali, dan tidak semuanya pindah ke BBM subsidi, karena itu akan merugikan negara,” kata Nicke saat berbincang dalam Economic Challenges - Bom Waktu Subsidi BBM di Metro TV, Selasa (12/7/2022).
Nicke menyebut, berdasarkan harga Indonesia Crude Price (ICP) harga keekonomian Pertalite dengan zero margin mencapai Rp 17.000 per liter.
Namun karena ada subsidi dari pemerintah, harga Pertalite hanya Rp 6.450 per liter.
Sementara itu, harga keekonomian solar mencapai Rp 18.000 per liter, namun setelah ada subsidi, harga Solar jadi Rp 5.150 per liter.
“Sebetulnya pemerintah memberi subsidi besar sekali untuk setiap liter Pertalite yang dijual sampai Rp 9.550 per liter, solar lebih besar lagi,” ungkap dia.
Nicke mengimbau agar masyarakat melakukan penghematan penggunaan BBM untuk kegiatan–kegiatan yang produktif.
Pasalnya menurut dia, subsidi dilakukan untuk mendorong pemulihan ekonomi setelah pandemi Covid-19 yang terjadi lebih dari 2 tahun.
“Jadi sebetulnya, upaya yang dilakukan masyarakat adalah penghematan penggunaan BBM. Lebih pada kegiatan produktif, karena subsidi ini digunakan untuk orang yang tepat dan juga mendorong perkonomian bergerak, yang mana itu penting bagi kedua pihak, karena beban negara besar sekali,” jelas dia.
Kata BPH Migas
Anggota Komite BPH Migas Saleh Abdurrahman mengatakan, saat ini yang perlu dilakukan adalah pengendalian konsumen yang menggunakan BBM subsidi dengan menyusun strategi yang tepat.
Lewat langkah tersebut, konsumen yang berhak akan mendapatkan BBM subsidi.
“Kami sedang menyusun strateginya. Kita ketahui kuota Pertalite adalah 23,05 juta kilo liter di tahun 2022, sementara prognosa kita di atas 25 juta kilo liter, dan jika tidak ada pertambahan volume dari pemerintah, solusinya adalah pengeratan, dan konsumennya makin disaring,” jelas Saleh.
Sebelumnya, Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah mengatakan, meskipun kenaikan harga BBM adalah untuk yang pengguna non subsidi, bukan berarti tidak mempengaruhi golongan pengguna BBM subsidi.
Ia menyebut kebijakan yang diberlakukan seolah adalah kebijakan yang terpisah, namun secara praktik kebijakan kenaikan harga BBM non subisdi juga akan mempengaruhi konsumsi atau daya beli, hingga mobilitas masyakarakat.
“Pengguna non subsidi ini membawa kontribusi juga, tapi pemerintah seolah kebijakan ini tidak berpengaruh pada masyakarakat bawah. Padahal itu berpengaruh pada yang menggunakan non subsidi, dengan mengurangi mobilitasnya dan konsumsinya,” ujar Trubus.
Sementara itu, menurut Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio, perpindahan konsumsi masyarakat pengguna BBM non subidi ke BBM subsidi setelah kenaikan harga pasti akan terjadi.
“Kalau orang pindah ke BBM subsidi, ya sudah pasti pindah lah, cuma sekarang, boleh apa tidak? Kalau tidak boleh ya harus ada diberikan sanksi,” kata Agus.
(*)