Laporan Wartawan Gridhot.ID - Akhsan Erido Elezhar
Gridhot.ID -Saat Presiden Rusia Vladimir Putin memerintahkan pasukan Rusia menyerang Ukraina pada 24 Februari lalu, banyak yang memperkirakan kemenangan akan cepat diraih pihak Rusia.
Namun, enam bulan kemudian, yaitu saat ini, konflik militer terbesar Eropa sejak Perang Dunia II itu berubah menjadi perang hancur-hancuran yang menggetarkan.
Dilansir Gridhot.ID dari artikel terbitan KompasTV, 27 Agustus 2022, serangan dan gerak maju pasukan Rusia sebagian besar mandek karena pasukan Ukraina makin menargetkan fasilitas Rusia yang berada jauh di belakang garis depan, termasuk menyerang Krimea yang hampir 9 tahun dikuasai Rusia.
Berikut catatan Associated Press, Kamis (25/8/2022), tentang 6 bulan perjalanan perang di Ukraina
Serangan Kilat yang Gagal
Ketika Putin mendeklarasikan dimulainya "operasi militer khusus", dia mendesak militer Ukraina untuk berbalik melawan pemerintah di Kiev, yang mencerminkan keyakinan Kremlin bahwa penduduk akan menyambut pasukan Rusia secara luas.
Sebagian pasukan Rusia yang merangsek dari arah Belarusia, hanya 200 kilometer dari Kiev, ibu kota Ukraina, dilaporkan membawa seragam parade untuk persiapan pawai kemenangan.
Harapan itu dengan cepat dihancurkan oleh perlawanan sengit Ukraina, yang didukung sistem senjata yang dipasok Barat kepada pemerintah Presiden Volodymyr Zelenskyy.
Pasukan lintas udara yang dikirim untuk merebut lapangan udara di sekitar Kiev menderita kerugian besar dan konvoi lapis baja yang membentang di sepanjang jalan raya utama menuju ibu kota dihantam oleh artileri dan pengintai Ukraina.
Baca Juga: Tidak Ada Salahnya Hati-hati, Inilah Arti Kedutan di Area Telapak Kaki Menurut Primbon Jawa
Meskipun banyak serangan terhadap pangkalan udara dan aset pertahanan udara Ukraina, angkatan udara Rusia gagal menguasai langit Ukraina secara penuh dan menderita kerugian besar, membatasi kemampuannya untuk mendukung pasukan darat.
Satu bulan memasuki perang, Moskow menarik pasukannya dari daerah dekat Kiev, Kharkiv, Chernihiv dan kota-kota besar lainnya dalam pengakuan diam-diam atas kegagalan serangan itu.
Pergeseran Medan Pertempuran
Kremlin kemudian mengalihkan fokusnya ke wilayah Donbas, jantung industri timur Ukraina, di mana separatis yang didukung Moskow memerangi pasukan Ukraina sejak 2014 setelah aneksasi Rusia atas Semenanjung Krimea.
Mengandalkan keunggulan besar mereka di sektor artileri, pasukan Rusia beringsut maju dalam pertempuran ganas yang menghancurkan wilayah tersebut.
Pelabuhan strategis Mariupol di Laut Azov yang menjadi simbol perlawanan Ukraina jatuh pada bulan Mei setelah pengepungan selama hampir tiga bulan yang membuat kota itu hancur menjadi reruntuhan.
Lebih dari 2.400 pasukan Ukraina di Mariupol yang bersembunyi di pabrik baja raksasa Azovstal kemudian menyerah dan ditawan.
Sedikitnya 53 dari mereka tewas bulan lalu dalam ledakan di sebuah penjara di Ukraina timur, yang disusul saling tuding antara Moskow dan Kiev.
Rusia kini sudah menguasai seluruh wilayah Luhansk, salah satu dari dua provinsi yang membentuk Donbas, dan juga menguasai lebih dari setengah provinsi kedua, Donetsk.
Keberhasilan Ukraina
Senjata Barat, termasuk peluncur roket ganda HIMARS AS, meningkatkan kemampuan militer Ukraina, memungkinkannya untuk menargetkan depot amunisi Rusia, jembatan dan fasilitas utama lainnya dengan presisi dan impunitas.
Dalam kemenangan simbolis besar pada bulan April, kapal utama Armada Laut Hitam Rusia, kapal penjelajah rudal Moskva, meledak dan tenggelam saat berpatroli setelah dilaporkan terkena rudal Ukraina.
Itu merupakan pukulan berat bagi kebanggaan Rusia dan memaksanya untuk membatasi operasi angkatan laut.
Kemenangan besar lainnya bagi Ukraina datang ketika pasukan Rusia mundur dari Pulau Ular yang strategis, yang terletak di jalur pelayaran dekat Odesa, menyusul serangan Ukraina yang tak henti-hentinya.
Pengunduran diri itu mengurangi ancaman serangan Rusia di Odesa, membantu membuka jalan bagi kesepakatan untuk melanjutkan ekspor gandum Ukraina.
Rusia mengalami pukulan baru bulan ini ketika serangkaian ledakan menghantam pangkalan udara dan depot amunisi di Krimea.
Rusia mengakui sabotase berada di balik satu ledakan dan dugaan penanganan amunisi yang tidak aman menyebabkan ledakan lainnya, namun penjelasan itu dibalas ejekan oleh Ukraina.
Ledakan, yang diikuti oleh serangan pesawat tak berawak, menggarisbawahi kerentanan Krimea, yang memiliki nilai simbolis bagi Rusia dan merupakan kunci untuk mempertahankan operasinya di selatan.
Mereka menunjukkan bahwa pasukan Ukraina mampu menyerang jauh di belakang garis depan, dan pejabat Ukraina memperingatkan bahwa jembatan Krimea sepanjang 19 kilometer, yang terpanjang di Eropa, bisa menjadi target berikutnya.
Kehidupan yang Terampas dan Tercabik-cabik
Baik Rusia dan Ukraina, sebagian besar fokus pada korban yang mereka timbulkan satu sama lain, menghindari menyebutkan kerugian mereka sendiri.
Namun panglima militer Ukraina, Jenderal Valerii Zaluzhnyi, mengatakan pada hari Senin bahwa hampir 9.000 tentara Ukraina tewas dalam perang tersebut.
Kementerian Pertahanan Rusia terakhir melaporkan korbannya pada 25 Maret, satu bulan setelah perang, ketika dikatakan 1.351 tentara tewas dan 3.825 terluka.
Perkiraan Barat tentang kematian Rusia berkisar antara lebih dari 15.000 hingga lebih dari 20.000 personil, lebih banyak dari kerugian Uni Soviet selama perang 10 tahun di Afghanistan.
Pentagon mengatakan pekan lalu antara 70.000 hingga 80.000 tentara Rusia tewas atau terluka dalam serangan mereka, kerugian yang mengikis kemampuan Moskow untuk melakukan serangan besar.
Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia mencatat lebih dari 5.500 kematian warga sipil dalam perang, tetapi mencatat jumlah sebenarnya bisa jauh lebih tinggi.
Serangan tersebut menciptakan krisis pengungsi pascaperang terbesar di Eropa.
Badan pengungsi PBB mengatakan, sepertiga warga Ukraina meninggalkan rumah mereka, dengan lebih dari 6,6 juta mengungsi di dalam negeri dan lebih dari 6,6 juta di seluruh Eropa.
Dikutip Gridhot.ID dari artikel terbitan TribunWow, 27 Agustus 2022, sementara itu eks Presiden Rusia Dmitry Medvedev menyebut operasi militer di Ukraina terpaksa dilakukan sebab kepentingan negara Rusia telah dalam kondisi terancam.
Medevedev menyebut pemerintahan Presiden Rusia Vladimir Putin tidak akan melakukan operasi militer di Ukraina jika kepentingan negara Rusia tidak terancam.
Dikutip TribunWow dari Tass, pernyataan ini disampaikan oleh Medvedev pada Jumat (26/8/2022).
"Mereka sudah dalam ancaman. Kepentingan vital Rusia sudah terancam," ujar Medvedev.
"Itulah sebabnya operasi militer khusus dilakukan untuk mempertahankan Donbass, demiliterisasi angkatan bersenjata Ukraina dan untuk mendenazifikasi negara itu," sambungnya.
Medvedev menjelaskan, sebelumnya pemerintah Rusia sempat mencoba berunding dengan pemerintah Ukraina berkali-kali.
Tak hanya dengan Ukraina, upaya berunding juga dilakukan dengan Eropa dan Amerika Serikat (AS).
"Tetapi perundingan tersebut berakhir sia-sia. Tidak ada yang mendengarkan kami," jelas Medvedev.
Di sisi lain, Menteri Pertahanan Rusia Sergei Shoigu menuding AS memiliki agenda tersendiri di Asia Tenggara.
Dilansir TribunWow.com, orang kepercayaan Presiden Rusia Vladimir Putin tersebut mengatakan AS berusaha membongkar arsitektur keamanan yang sudah mapan di Asia Tenggara.
AS diduga memanfaatkan keadaan lantaran hal ini dilakukan di tengah terjadinya konflik Rusia dan Ukraina yang berdampak di sejumlah aspek.
Menurut Shoigu, upaya tersebut dilakukan AS untuk memastikan hegemoni globalnya.
Adapun pernyataan ini diungkap Shoigu pada pertemuan militer SCO pada hari Rabu (24/8/2022).
"Adapun di sisi selatan organisasi kami, Asia Tenggara, kami juga menyaksikan serangkaian kontradiksi transnasional yang kompleks." ucap Shoigu dikutip media Rusia TASS.
"Titik panas ketegangan sedang dibentuk dengan skenario perkembangan yang sulit diprediksi. Untuk memastikan hegemoni globalnya, Washington berusaha memecah arsitektur keamanan regional," tandas pejabat tinggi militer Rusia itu.
Untuk itu, kata dia, sedang dibentuk blok-blok politik-militer seperti QUAD dan AUKUS.
"Negara-negara di kawasan itu ditarik ke dalam kerja sama dengan NATO. Mengikuti Eropa, sebuah front sedang disatukan untuk menahan China," beber Shoigu.
(*)