Gridhot.ID - Resesi seks sedang ramai diperbincangkan akhir-akhir ini.
Dikutip Gridhot dari Kompas TV, Resesi Seks adalah sebuah istilah untuk menggambarkan turunnya minat masyarakat untuk memiliki anak.
Resesi seks berdampak membuat angka kelahiran menurun.
Resesesi seks sendiri sudah terjadi di Korea Selatan, Jepang, hingga China.
Dalam jangka panjang, resesi seks ini bisa membahayakan kondisi ekonomi negara karena kurangnya angkatan kerja dan penduduk usia produktif.
Lalu bisakan resesi ini terjadi di Indonesia?
Resesi seks Indonesia
Dikutip Gridhot dari Kompas.com, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo mengatakan, Indonesia menurutnya juga bisa berpotensi mengalami resesi seks.
Hal itu bisa terlihat dari usia pernikahan penduduk Indonesia yang semakin meningkat. Jika sebelumnya mayoritas pernikahan terjadi pada pasangan usia muda, kini trennya banyak pasangan yang menunda pernikahan.
"Potensi itu (resesi seks Indonesia) ada, ada ya, tapi sangat panjang, karena kan gini usia pernikahan semakin lama kan semakin meningkat. (Ini bicara ) pernikahan loh bukan seks," kata Hasto kepada wartawan di Hotel Shangri La, Jakarta, Selasa (6/12/2022).
"Usia pernikahan itu mundur, karena semakin menempuh studi, karier dan sebagainya," kata dia dikutip dari KompasTV.
Fenomena itu, kata Hasto, banyak terjadi di kota-kota besar. Selain usia pasangan menikah yang semakin mundur, tren keluarga kecil dengan jumlah anak sedikit juga sedang terjadi.
"Jadi bisa saja terjadi minus growth atau zero growth sekarang ini kan beberapa daerah sudah minus growth, zero growth seperti beberapa kabupaten di Jawa Timur, Jawa Tengah minus growth jumlah anaknya sedikit," jelasnya.
Meskipun Indonesia berpotensi alami resesi seks, namun hal tersebut menurutnya masih lama.
Hal tersebut bisa terjadi setelah generasi anak muda yang hidup di tahun 2045, mayoritas memutuskan tidak menikah dan tidak punya anak alias child free.
Dampak resesi seks bagi Indonesia
Sosiolog Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Drajat Tri Kartono, menyebutkan dampak yang terjadi apabila Indonesia alami resesi seks.
Salah satunya resesi seks akan menyebabkan jumlah keluarga berkurang.
Berkurangnya jumlah keluarga pada gilirannya berisiko menyebabkan jumlah kelahiran anak menjadi menurun.
Selanjutnya, turunnya angka kelahiran menyebabkan beban populasi produktif selama 5-10 tahun mendatang menjadi semakin besar.
"Ini artinya orang-orang yang produktif akan menanggung (beban) karena yang bekerja tidak banyak," kata Drajat kepada Kompas.com, Sabtu (10/11/2022).
Dampak lain yang ditimbulkan akibat resesi seks adalah lesunya ekonomi.
Drajat mengatakan, menurunnya jumlah keluarga otomatis dibarengi juga dengan berkurangnya keinginan untuk membeli rumah atau kebutuhan rumah tangga.
Rendahnya anak kelahiran, menurut Drajat, juga menimbulkan penurunan ekonomi karena semakin banyak orang tidak lagi membeli barang-barang kebutuhan anak.
"Itu 'kan kebutuhan besar untuk memutar ekonomi masyarakat," katanya.
Pengaruh untuk keluarga dan masyarakat
Drajat juga menyampaikan, resesi seks secara sosiologis menyebabkan fungsi kontrol masyarakat, fungsi kebersamaan masyarakat, dan fungsi moralitas masyarakat menjadi hilang.
"Karena masyarakat ketika kumpul bersama orang lain itu 'kan muncul berbagai kebutuhan sosial," ujar Drajat.
"Ada tokoh masyarakat, tokoh keluarga. Nanti tanggung jawab ibu atau ayah ini hilang karena (orang) mengelola sendiri kehidupannya."
"Tanggung jawab kepada masyarakat atau orang lain juga berkurang karena ia (orang yang tidak menikah) cenderung mem-protect dirinya sendiri," lanjutnya.
Drajat menambahkan, keenganan orang Indonesia di masa yang akan datang untuk menikah juga bisa menimbulkan alineasi sosial atau keterasingan.
Penyebab resesi seks Indonesia
Risiko-risiko yang sudah disebutkan, kata Drajat, dapat terjadi apabila generasi muda saat ini atau yang akan datang memilih hidup sendiri.
Ia menjelaskan, keinginan untuk hidup seorang diri muncul karena orang merasa tidak dibebani dengan tanggung jawab pada pasangan bahkan anak.
Keengganan generasi muda di Indonesia untuk menikah juga dikatakan Drajat terlihat dalam riset yang dilakukannya tentang perempuan otonom.
Perempuan otonom berusia 26-30 tahun yang diwawancara Drajat memilih untuk tidak menikah karena lebih mengutamakan profesi.
Mereka juga enggan untuk berumah tangga dengan alasan melanjutkan studi dan ingin mengatur ekonomi dan hiudpnya sendiri.
"Kemudian, mereka (orang tidak menikah) bisa mengelola waktu yang dimiliki, jadi kalau capek ya tidur dan tidak ada yang mengganggu," jelas Drajat.
Drajat juga menyampaikan, keenganan generasi muda menikah karena mereka tidak mau terlibat dalam pertengkaran dalam keluarga.
Menurutnya, konflik dalam rumah tangga dikhawatirkan oleh generasi muda karena dapat mengacaukan pekerjaan dan mengganggu mental selama berhari-hari.
"Keuntungan secara emosional tidak sebanding dengan itu (pertengkaran) sehingga keluarga itu dianggap tidak terlalu menguntungkan," jelasnya.
(*)