GridHot.ID - Ferdy Sambo menjadi saksi mahkota dalam kasus perintangan penyidikan atau obstruction of justice dengan terdakwa Chuck Putranto, Kamis (22/12/2022).
Dikutip dari Kompas TV, Ferdy Sambo tampak ditanya oleh Hakim Afrizal Hadi soal pertanggungjawaban atasan untuk perintah keliru terhadap bawahannya di kitab hukum pidana.
"Saudara mengatakan, saudara siap bertanggungjawab. Apakah dalam kitab hukum pidana saudara mengetahui ada pertangggungjawaban atasan?" tanya Hakim Afrizal Hadi kepada Ferdy Sambo.
Ferdy Sambo meyakini dalam kitab hukum pidana tidak ada pasal soal pertanggungjawaban atasan untuk perintah keliru terhadap bawahannya.
"Di pidana sebetulnya tidak ada," jawab Ferdy Sambo.
Hakim Afrizal Hadi, sempat bertanya ulang kepada Ferdy Sambo soal pertanggungjawaban atasan untuk perintah keliru terhadap bawahannya di hukum pidana.
Tanpa menunggu jawaban, Hakim justru menduga pertanggungjawaban atasan untuk perintah keliru terhadap bawahannya ada di sistem komando atau UU Militer.
"Tidak adakah pertanggungjawaban atasan? Itu mungkin di sistem komando, di sistem UU Militer barangkali ditemukan," Afrizal Hadi.
Lebih lanjut, Hakim Afrizal Hadi bertanya kepada Ferdy Sambo apakah tahu di kitab hukum pidana ada Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Belum direspons, Hakim Afrizal Hadi pun menyampaikan kepada Ferdy Sambo untuk paham risiko dalam perintah salah yang diberikan kepada anak buah.
Terlebih, lanjut Hakim Afrizal, Ferdy Sambo mengakui dirinya sadar jika anak buahnya tidak mungkin berani menolak perintah dengan jabatannya yang ketika itu sebagai Kadiv Propram.
"Saudara mengatakan, tidak mungkin mereka menolak, karena mereka takut, kenapa enggak saudara sendiri secara langsung, secara eksplisit menyatakan kalian semua menceritakan apa adanya, jangan sembunyi-sembunyikan," ucap Hakim.
Mendengar perkataan hakim, Ferdy Sambo dengan nada bicara lirih mengakui perintah salah yang diberikan kepada anak buahnya dalam kasus tewas Nofriansyah Yosua Hutabara atau Brigadir J sebagai kesalahannya.
"Saya sudah sampaikan, itulah salah saya yang mulia," jawab Ferdy Sambo.
Sebagaimana diketahui buntut cerita tidak sebenarnya Ferdy Sambo dalam tewasnya Nofriansyah Yosua Hutabarat, banyak anggota Polri yang disidang oleh komisi etik, disanksi, hingga harus menjalani proses hukum pidana.
Dilansir dari Kompas.com, selain Ferdy Sambo, Jaksa Penuntut Umum (JPU) juga menghadirkan tiga saksi mahkota lain yakni Hendra Kurniawan, Agus Nurpatri, dan Arif Rachman Arifin, dalam sidang terdakwa Chuck Putranto, Kamis (22/12/2022).
Selain itu, dihadirkan pula satu saksi fakta yakni ART Ferdy Sambo di rumah dinas Kompleks Polri, Duren Tiga, bernama Diryanto alias Kodir.
Diketahui, Chuck merupakan mantan Sekretaris Pribadi (Spri) Ferdy Sambo saat menjabat Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri.
Dalam kasus ini, ia didakwa jaksa telah melakukan perintangan proses penyidikan pengusutan kematian Brigadir J bersama Ferdy Sambo, Hendra Kurniawan, Agus Nurpatria, Arif Rachman, Baiquni Wibowo, dan Irfan Widyanto.
Tujuh terdakwa dalam kasus ini dijerat Pasal 49 jo Pasal 33 UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Keenam anggota polisi tersebut dikatakan jaksa menuruti perintah Ferdy Sambo yang kala itu menjabat sebagai Kepala Divisi (Kadiv) Propam Polri untuk menghapus CCTV di tempat kejadian perkara (TKP) lokasi Brigadir J tewas.
"Perbuatan terdakwa mengganggu sistem elektronik dan/atau mengakibatkan sistem elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya," kata jaksa membacakan surat dakwaan dalam persidangan di PN Jakarta Selatan, Rabu (19/10/2022).
Para terdakwa juga dijerat dengan Pasal 48 jo Pasal 32 Ayat (1) UU No.19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
"Para terdakwa sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apapun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik orang lain atau milik publik," terang jaksa.
Selain itu, enam anggota polisi yang kala itu merupakan anak buah Ferdy Sambo juga dijerat dengan Pasal 221 Ayat (1) ke-2 jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
"Para terdakwa turut serta melakukan perbuatan, dengan sengaja menghancurkan, merusak, membikin tak dapat dipakai, menghilangkan barang-barang yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan sesuatu di muka penguasa yang berwenang," kata jaksa.
Jaksa memaparkan, perintangan proses penyidikan itu diawali adanya peristiwa pembunuhan terhadap Brigadir J di rumah dinas Ferdy Sambo di Duren Tiga, Jakarta Selatan, pada 8 Juli 2022.
Akibat kejadian itu, Ferdy Sambo menghubungi Hendra Kurniawan yang kala itu menjabat sebagai Kepala Biro (Karo) Paminal Polri untuk datang ke rumah dinasnya dengan niat menutupi fakta yang sebenarnya.
Berdasarkan dakwaan yang dibacakan jaksa, Sambo lantas merekayasa cerita bahwa terjadi tembak-menembak antara Richard Eliezer atau Bharada E dengan Brigadir J di rumah dinasnya yang menyebabkan Brigadir J tewas.
Singkatnya, Sambo memberikan perintah untuk melakukan segera menghapus dan memusnahkan semua temuan bukti CCTV yang dipasang di lingkungan Kompleks Polri, Duren Tiga, setelah pembunuhan Brigadir J.
(*)