Find Us On Social Media :

Innalillahi Wa Innailaihi Rojiun, Bintang Film Laskar Pelangi Ini Meninggal Dunia, Riwayat Karir Menterengnya di Dunia Hiburan Berawal dari Keisengan Belaka

Ikranagara meninggal dunia

Gridhot.ID - Innalillahi wa innailaihi rojiun, sosok bintang film kondang ini meninggal dunia.

Meski sudah meninggal dunia, namanya akan selalu dikenang berkat karyanya yang luar biasa di dunia hiburan Indonesia.

Sosok yang telah meninggal dunia tersebut adalah Ikranagara.

Dikutip Gridhot dari Kompas.com, Ikranagara merupakan aktor senior yang juga menjadi pelukis, penulis skenario, dan sastrawan.

Namanya sudah dikenal lekat dengan dunia film Indonesia.

Karirnya di dunia film bahkan sudah membuahkan hasil yang luar biasa.

Namun, dikabarkan Ikranagara meninggal dunia pada Senin, 6 Maret 2023 di Bali.

Kabar duka tersebut disampaikan oleh sang anak, Innosanto Nagara melalui sosial media Facebook.

"Berita duka. Innalillahi Wa Inna Ilaihi Roji'un. Telah berpulang ke Rahmatullah, Suami, Ayah, Datuk tercinta kami: H. Ikranagara pada usia 79 tahun di Bali," tulis Innosanto Nagara, Selasa (7/3/2023).

Dikutip Gridhot dari Tribun Seleb, pria kelahiran Bali ,19 September 1943 ini merupakan keturunan Bali, Jawa, Madura, dan Bugis.

Dalam kariernya selama lebih dari lima dekade, ia telah dinominasikan untuk Piala Citra di Festival Film Indonesia dua kali.

Baca Juga: Primbon Jawa Menyebut Anda Akan Dapatkan Kabar Buruk hingga Segera Dilamar Seseorang, Simak 5 Arti Kedutan Area Hidung Kiri Berikut Ini

Perannya sebagai paman yang menjengkelkan dalam drama komedi romantis Kejarlah Daku Kau Kutangkap (1986) mendulang penghargaan sebagai Aktor Pendukung Terbaik.

Untuk perannya sebagai tokoh pendiri Nahdlatul Ulama, KH Hasyim Asy'ari dalam film biografi Sang Kiai (2013) juga berhasil menyabet penghargaan sebagai Aktor Terbaik, dikutip dari p2k.stekom.ac.id.

Ikranagara memulai karirnya dalam dunia seni melalui drama dan puisi.

Keterlibatannya di dunia film sendiri diakui Ikra karena faktor keisengan belaka.

Sekurangnya hingga detik ini sudah sekitar 13 film berhasil ia bintangi.

Ketika bersekolah di SR, ia mempunyai kawan yang ayahnya seorang dalang.

Dari ayah temannya itulah ia banyak mengenal istilah pewayangan, profesi dalang, dan berbagai cerita, seperti Ramayana dan Mahabarata. Karena ikut ayah temannya mendalang, ia sering bolos mengaji, dikutip dari ensiklopedia.kemdikbud.go.id

Tamat SR, ia melanjutkan pendidikannya ke SMP lalu ke SMA-B di Singaraja.

Masa remajanya di Bali dihabiskan untuk berteater.

Berbagai pementasan drama dilakukannya bersama Putu Wijaya, teman satu sekolahnya.

Setelah tamat SMA, ia melanjutkan pendidikannya ke Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada (UGM), menyusul Putu Wijaya yang telah lebih dahulu menjadi mahasiswa Fakultas Hukum di sana.

Baca Juga: Jangan Asal Makan, Sederet Makanan Ini Bisa Memperburuk Asam Lambung

Baru setahun mengikuti kuliah di fakultas itu, ia pindah ke Fakultas Kedokteran.

Tahun 1966, setelah terjadinya peristiwa G-30-S/PKI yang berkaitan dengan terjadinya pergolakan mahasiswa, suasana berkesenian benar-benar lumpuh.

Dia ikut berdemonstrasi, bahkan ia dipercaya sebagai penghubung Yogyakarta-Jakarta. Ketika suasana bertambah gawat, ia kembali ke Bali.

Karena kesepian dan kuliahnya berantakan, ia pindah ke Jakarta.

Di Jakarta ia masuk Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, dengan maksud agar memperoleh pengetahuan untuk kesenian.

Namun, di fakultas tersebut ia juga merasa jenuh dan kuliahnya tidak pernah selesai.

Setelah beberapa tahun bergabung bersama Teater Kecil, pimpinan Arifin C. Noer, tahun 1974 ia mendirikan sebuah grup teater yang bernama Teater (Siapa) Saja.

Pada 1979, ia bertugas sebagai dosen tamu di Universitas California di Davis, Universitas Ohio, dan Universitas Michigan.

Pada saat yang sama, ia juga menjadi seniman tamu di Theatre Compesino (Los Angeles), Snake Theatre (San Fransisco), dan di Gafres Tire (Minneacles).

Ikranagara sempat bermain film "Pagar Kawat Berduri" (1961), "Bernafas dalam Lumpur" (1970), "Cinta Biru"(1977), "Si Doel Anak Modern" (1976), "Dr. Siti Pertiwi" (1979), "Untukmu Indonesiaku"(1980), "Djakarta 66"(1982), "Keluarga Markum" (1986), "Kejarlah Daku Kau Kutangkap"(1985), dan "Bintang Kejora"(1986).

Selain itu, ia juga pernah menjadi wartawan dan redaktur harian Indonesia Raja (1967—1968) dan Berita Buana.

(*)