Petani Ketar-ketir, El Nino Bikin Padi Makin 'Kopong' Saat Dipanen, Begini Penjelasannya

Senin, 24 Juli 2023 | 15:25
Unsplash/Sandy Ravaloniaina

Ilustrasi Padi

Gridhot.ID - Fenomena alam El Nino membuat padi yang dipanen di musim ini mengalami kopong atau kurangnya isi.

Dikutip Gridhot dari Kompas.com, El Nino adalah pola iklim yang memicu kekeringan karena kurangnya curah hujan,

El Nino sudah muncul sejak berabad-abad yang lalu.

Biasanya El Nino terjadi selama 9-12 bulan.

Kekeringan yang dibawa El Nino membuat para petani kesulitan mendapatkan hasil tani yang maksimal.

Dikutip Gridhot dari Tribun Jateng, cuaca panas ekstrem atau fenomena El Nino mulai berdampak di sektor pertanian di Kabupaten Kudus Jawa Tengah, sebagian petani padi mulai mengeluh lantaran ancaman panen yang kurang maksimal.

Sebagai alternatifnya para petani disarankan mengganti padi dengan palawija. Namun sebagian petani masih ragu dengan ketersediaan air yang menjadikan petani malah merugi.

Ketua Dewan Pengurus Cabang (DPC) Serikat Petani Indonesia (SPI) Kabupaten Kudus, Wahyu Utomo, mengatakam sebagian besar lahan pertanian padi di Kabupaten Kudus kini telah memasuki panen raya.

Meski begitu, masih terdapat sebagian lahan pertanian padi yang tanam terlambat akibat terserang hama penyakit sehingga padi yang dihasilkan kurang maksimal.

"Dari informasi para petani, ada dampak dari El Nino, sawahnya kering, sehingga mengakibatkan padinya tidak berisi, bahasa jawanya itu Gabuk," katanya saat melihat kondisi persawahan di Desa Hadiwarno, Kudus, Senin (24/7/2023).

Menurutnya terdapat beragam faktor kondisi tanaman padi tidak tumbuh maksimal. Yakni fenomena El Nino, yang menyebabkan cuaca panas ekstrem sehingga kondisi lahan pertanian alami kekeringan.

Baca Juga: Kerap Dikeluhkan Masyarakat, Cuaca Indonesia Belakangan Ini Jadi Sangat Panas dan Menyengat, Ini Penjelasan BMKG

Panasnya saat masa El Nino menyebabkan daya serap air pada tanaman padi saat memasuki masa pengisian bulir padi menjadikan kurang maksimal.

Sehingga saat di panen, hasil timbangan padi berkurang drastis. Hal itu sangat mempengaruhi pendapatan petani.

Memasuki Masa Tanam (MT) 3, mayoritas lahan pertanian di Kudus memilih tanaman jenis palawija yang tahan air.

Namun demikian, sebagian petani mengaku ragu untuk tanam palawija lantaran kondisi cuaca panas terik serta keterbatasan air yang dikhawatirkan menyebabkan hasil tanaman palawija justru merugi.

"MT 3 itu kebanyakan menanam palawija, namun hari ini petani masih ragu dan bimbang mau ditanami atau tidak. Mereka khawatir kalau ditanami malah merugi," jelasnya.

Meskipun demikian, sebagian wilayah di Kudus terbantu adanya aliran air dari Bendungan Logung dalam menghadapi fenomena El Nino.

Sementara itu, petani yang tetap tanam palawija dengan kondisi tanah kekeringan biasanya mereka memaksimalkan lahan dengan sumur resapan tanah.

Pemanfaatan sumur resapan tanah itu, dilakukan oleh Sunarto petani Desa Megawon. Dia mengaku terpaksa harus tetap bertanam palawija lantaran saat kembali di tanami padi, kondisi tanah dan pengariannya kurang memenuhi syarat.

Penanaman tanaman palawija jagung dia lakukan demi mengantisipasi kerugian sewa lahan pertanian.

"Setelah padi kedua terus tanamn palawija jagung memang itu. Pengairannya itu ya pompa air, punya pompa sendiri-sendiri kalau jagung, itu bagus jagung kalau di pompa. Kalau kebanyak air itu kurang bagus," tandasnya.

Diinformasikan, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memperikarakan puncak fenomena El Nino bakal terjadi pada bulan Agustus hingga September 2023.

Baca Juga: Sudah Hujan Tapi Tetap Gerah, BMKG Bongkar Kapan Cuaca Panas Bakal Berakhir di Indonesia

Fenomena meningkatkan suhu disebut akan membawa dampak pada ketahanan pangan dan ketersediaan air di Indonesia.

(*)

Tag

Editor : Angriawan Cahyo Pawenang

Sumber Kompas.com, Tribun Jateng