Gridhot.ID - Inalillahi wa innailaihi rojiun, sosok tokoh militer penting ini meninggal dunia.
Meski telah lama meninggal dunia, namanya akan terus dikenang lewat kisah-kisahnya berjuang untuk bangsa Indonesia di tengah peperangan hebat.
Sosok yang telah meninggal dunia tersebut adalah Herlina Kasim.
Dikutip Gridhot dari Antara, Herlina Kasim meninggal dunia di usia 75 tahun.
Herlina Kasim diketahui meninggal dunia di Jakarta pada tahun 2017 silam.
Jenazah Herlina Kasim, dimakamkan di Pondok Ranggon, Cipayung, Jakarta Timur, pada Rabu siang.
"Ibu sudah mengamanahkan demikian. Beliau tidak mau disemayamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta," kata kata anak laki-laki Herlina, Rigel Wahyu Nugroho, kepada Antara saat ditemui di rumah duka Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto, Jakarta, Rabu dinihari.
Menurut keterangan Rigel, jenazah penerima penghargaan "Pending Emas" dari Presiden Soekarno itu sudah dirawat di rumah sakit selama 13 hari terakhir karena penyakit komplikasi.
"Pada pukul 22.15 WIB (Selasa) dokter menyatakan bahwa ibu sudah tidak bisa diselamatkan," kata Rigel.
Soekarno memberikan Pending Emas, yang berupa emas seberat setengah kilogram serta uang Rp10 juta, atas jasa Herlina yang turut bergerilya dalam Tri Komando Rakyat (Trikora)--sebuah operasi beranggotakan relawan sipil dengan tugas penyusupan dan penyerangan terbuka di sejumlah wilayah strategis Papua.
Operasi Trikora merupakan pelengkap operasi Mandala yang beranggotakan satuan militer di bawah komando Mayor Jenderal Soeharto--presiden kedua Indonesia.
Dalam operasi Trikora, Herlina ditugaskan bersama 20 sukarelawan sipil lain di hutan-hutan Papua--saat itu masih bernama Irian Barat. Dia adalah satu-satunya perempuan di antara ratusan relawan yang terbagi menjadi 10 kompi.
Sebelum mendaftarkan diri dalam operasi Trikora, Herlina adalah seorang jurnalis di Maluku yang dikenal punya hubungan dekat dengan satuan militer setempat.
Atas keberaniannya sebagai perempuan gerilyawan itulah Soekarno memberi penghargaan Pending Emas.
Namun, dia kemudian mengembalikan penghargaan itu kepada negara untuk menunjukkan niat tulusnya membebaskan Papua, sebuah nama yang Herlina tidak suka karena dianggap "tidak menghargai" perjuangan para relawan dalam membebaskan Irian Jaya.
"Ibu mengembalikan penghargaan itu karena memang niatnya tulus berjuang untuk kemerdekaan Papua," kata Rigel.
Selama ini jarang diketahui publik, inilah sosok Herlina Kasim yang juga merupakan TNI pertama wanita.
Dikutip Gridhot dari Intisari Online, ternyata Herlina Kasim berani merangkak di bawah hujan peluru demi merebut Irian Barat dari Belanda.
Mungkin sedikit kita mendengar kisah wanita-wanita TNI yang melakukan misi besar.
Namun, tahukah Anda ternyata ada satu nama pernah melakukan misi berbahaya menyurup ke Irian Barat, dia adalah Herlina Kasim.
Dia sempat nekat menemui Soeharto untuk meminta ikut menyusup ke Irian Barat (sekarang Papua).
Meski bukan seorang pria, hati Herlina Kasim ikut terketuk saat Ibu Pertiwi memanggilnya untuk ikut membebaskan Irian Barat dari Belanda.
Dia tercatat sejarah sebagai wanita pertama TNI yang dengan sukarela berjibaku di rimba perawan Irian untuk bergerilya.
Waktu sudah menunjukkan pukul 5.40 pagi hari. Angin Mamiri yang akan membawa Herlina Kasim dengan teman-temannya menerobos ke Irian Barat masih terapung-apung di tengah laut.
Kompas tak ada, yang ada malah kabut tebal. Tidak ada jalan lain untuk masuk teluk dan harus menunggu sampai kabut agak reda.
Daripada menunggu di kapal, mereka turun sebentar. Alangkah kagetnya. Yang disinggahi justru pos tentara Belanda.
Untung tidak ada penjaga. Tanpa pikir panjang, mereka seketika kembali ke perahu.
Motor dihidupkan, terus meluncur. Arah dikira-kira saja, asal sudah bisa keluar dari lubang buaya.
Fajar sudah mulai menyingsing, waktu mereka tiba di perairan musuh. Tanpa punya kompas mereka yakin sudah menuju ke arah yang benar.
Bendera Belanda dipasang, demi berhasilnya usaha mereka. Lihai, tetapi apa boleh buat.
Pulau Waigeo di mana sebagian dari Pasukan Gerilya (PG) 500 mendarat, sudah berada di depan mata. Namun di mana posnya?
Bendera merah putih biru diganti dulu dengan merah putih.
Sangat berbahaya, tetapi tidak ada jalan lain. Mereka sudah diberi pesan, di sekitar Pulau Waigeo harus menggunakan bendera Indonesia.
Salah-salah bisa diganyang oleh kawan sendiri.
Akhirnya mereka toh bisa bertemu dengan rekan-rekannya. Pos mereka di Teluk Arago.
Kapal tak dapat dinaikkan ke darat, karena sudah telanjur air surut. Padahal kapal sama dengan urat nadi.
Tanpa kapal mereka tidak mungkin dapat berkutik. Lagi pula kapal tersebut dapat memberi petunjuk kepada musuh.
Tetapi sekarang tak ada jalan lain, daripada menunggu sampai sore hari.
Selama itu awak Angin Mamiri menggunakan kesempatan untuk terjun ke laut. Badan rasanya sudah ketat.
Beberapa hari tidak pernah menyentuh air. Baru enak-enaknya mandi, tiba-tiba ada seorang berteriak, “Kapal musuh!”
Kapalnya memang terlihat memakai bendera merah putih. Tetapi tidak mungkin kapal Republik Indonesia berlayar dengan seenaknya di perairan tersebut.
Herlina merangkak keluar di bawah hujan peluru. Bagaimanapun juga mereka yakin, Belanda tidak akan berani mendarat.
Hujan peluru
Baca Juga: Innalillahi Wa Innailaihi Rojiun, Pedangdut Jebolan Ajang Pencari Bakat Ini Meninggal Dunia
Letak Teluk Arago terlalu masuk ke darat dan pohon-pohon tumbang bergeletakan di mana-mana. Posisi mereka sekarang sangat berbahaya, oleh karena sudah diketahui musuh.
Satu-satunya jalan untuk mempertahankan diri ialah main kucing-kucingan di pulau-pulau kosong sekitarnya.
Apa yang harus mereka lakukan dalam keadaan segawat itu?
Suara peluru terakhir baru saja lenyap, sewaktu Komandan J. Komontoy membuat rencana untuk meluncurkan sebagian pasukannya, agar musuh tidak terus-menerus menghadang mereka.
Sungguh suatu putusan yang sangat berani.
Dua puluh tiga orang yang akan ikut. Sisanya harus mengembara di hutan, termasuk Herlina.
“Sebulan lamanya kami mengembara di hutan belantara,” kata Herlina.
“Juli 1962, kami mendarat di Irian Barat. Makanan yang dibawa sudah habis, binatang-binatang tak ada, kecuali kerang di tepi pantai."
"Itu pun harus dimakan mentah. Karena kami tidak boleh menyalakan api. Takut ketahuan musuh.”
(*)