Eks Orang Nomor Satu di TNI AU Sebut Indonesia Tak Punya Langit: Di Konstitusi Hanya Bumi dan Air!

Jumat, 10 Mei 2024 | 18:42
Dokumen Boeing dan Dispenau

Bakal Presiden Indonesia Periode 2024-2029, Prabowo Subianto dihadapkan berbagai tantangan untuk meningkatkan pertahanan langit Indonesia.

Gridhot.ID - Indonesia diketahui memiliki TNI Angkatan Udara (AU) yang selalu siap siaga menjaga pertahanan negara.

Dikutip Gridhot dari Kompas.ID, TNI AU diketahui sudah meningkatkan anggarannya setiap tahun untuk bisa memperbarui alutsista.

Di tahun 2026 mendatang, TNI AU akan memiliki pesawat tempur Rafale yang terkenal akan kekuatannya.

Tahun 2027, TNI AU direncanakan akan mendapatkan jet tempur generasi 4.5, F-15EX.

Presiden Soekarno dalam pidato HUT Ke-9 TNI AU tahun 1955 pernah mengatakan bahwa kekuatan nasional di udara adalah faktor menentukan dalam perang modern.

Meski bukan untuk tujuan berperang dan menakuti negara lain, kekuatan udara yang superior dapat membantu Indonesia menjaga stabilitas dan perdamaian di kawasan.

Meski masih dalam proses pembaharuan, TNI AU masih harus menghadapi berbagai macam tantangan di kondisi global yang penuh gonjang-ganjing.

Dikutip Gridhot dari Kompas.com, Kepala Staf TNI AU (Kasau) Periode 2002-2005 Marsekal (Purn) TNI Chappy Hakim menyebutkan, ada tiga tantangan terkait sistem pertahanan udara yang dimiliki oleh Indonesia.

“Kalau kita melihat udara dan kita mau mendesain sistem pertahanan udara Indonesia, kita mempunyai tiga tantangan besar untuk menjaga udara kita,” kata Chappy dalam siaran BRIGADE Podcast yang tayang di YouTube Kompas.com, Rabu (8/5/2024).

Chappy mengungkapkan tantangan pertama adalah soal tidak adanya pengaturan terkait wilayah kedaulatan udara Indonesia dalam konstitusi.

Meski Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan dan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan mengatur soal wilayah udara, beleid tersebut dinilai belum cukup kuat mengatur soal kedaulatan wilayah udara.

Baca Juga: TNI AU Pakai Boeing 737 untuk Cari Pesawat Smart Air Pengangkut Sembako yang Hilang di Kalimantan, Teknologi Ini Jadi Juru Kunci Penyelamatan

“Kita belum mengklaim bahwa wilayah udara kita itu adalah wilayah kedaulatan NKRI. Tidak ada di konstitusi kita. Di konstitusi kita hanya disebutkan bumi dan air,” ujar Chappy.

Menurut dia, hal itu perlu diatur dalam konstitusi, apalagi Konvensi Chicago Tahun 1944 menyebutkan bahwa kedaulatan wilayah udara suatu adalah complete dan ekslusif sehingga tidak ada boleh ada penerbangan tanpa izin di wilayah tersebut.

Chappy juga mewanti-wanti perbatasan udara Indonesia bisa menjadi lemah karena belum mengeklaim soal kedaulatan wilayah udara dalam konstitusi.

“Kalau terjadi dispute (perselisihan) itu maka dengan mudah dikatakan, ‘Anda sendiri tidak mencantumkan wilayah udara anda sebagai wilayah kedaulatan kan’. Selesai,” kata dia.

Tantangan kedua adalah terkait perbatasan Selat Malaka. Menurut dia, wilayah Selat Malaka sekitar perairan Pulau Natuna, Riau adalah perbatasan yang sangat kritis.

Terlebih, otoritas penerbangan dari level 0-37.000 kaki di area tersebut didelegasikan kepada Singapura.

“Our critical border (perbatasan kritis kita) itu di Selat Malaka perairan Riau dan Natuna dan itu didelegasikan penerbangannya kepada otoritas penerbangan Singapura,” kata Chappy.

Ketua Pusat Studi Air Power Indonesia ini menilai, situasi tersebut turut membuat Indonesia kehilangan kedaulatannya.

Menurut dia, dengan memberikan teritori ruang udara di Selat Malaka, bisa membuat Indonesia kehilangan tiga hal.

Ia menyebutkan, Indonesia kehilangan kewenangan untuk mengontrol wilayah udara, tidak bisa mengunakan ruang udara yang berpotensi menghasilkan pendapatan finansial, serta kehilangan law enforcement atau penegakan hukum apabila ada pesawat terbang tanpa izin masuk di wilayah itu.

“Begitu kita ruang udara wilayah teritori kita, kita delegasikan, kita kehilangan kedaulatan. Kita kehilangan tiga hal,” ujar Chappy.

Baca Juga: 3 Jet Tempur Tercanggih dan Paling Kuat Milik TNI AU, Siap Lindungi Langit Nusantara

Tantangan terakhir adalah soal Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) atau alur terbuka yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia untuk dilalui kapal-kapal asing yang melintasi wilayah laut Indonesia.

Menurut dia, tidak masalah dengan kesepakatan terkait ALKI karena telah ditetapkan konvensi hukum laut internasional, tetapi ia mempersoalkan adanya pesawat-pesawat yang ikut melintas di atas jalur ALKI.

“Sekarang ini dengan kemajuan teknologi kapal laut tuh sudah bisa bawa pesawat. Dan pesawat-pesawat itu merasa dia juga bisa lewat di ALKI sehingga dikenal terminologi yang agak lucu airways di atas ALKI,” ucap Chappy.

Ia tidak memungkiri bahwa isu ini menjadi pertentangan antara hukum laut internasional dengan hukum udara internasional karena dalam hukum laut internasional memang ada ALKI jalur lintas bebas atau lintas damai (innocent passage).

Namun, Chappy menyebut hukum udara internasional tidak mengenal innocence passage karena berdasarkan Konvensi Chicago 1944, kedaulatan udara di suatu negara adalah complete dan exclusive.

“Dua (tantangan) ini kita bisa selesaikan kalau kita mau. (Tantangan) Tiga ini sangat tergantung pada global regulation karena ini dispute antara hukum udara Internasional dengan Hukum Laut Internasional,” kata Chappy.

(*)

Tag

Editor : Angriawan Cahyo Pawenang

Sumber Kompas.com, kompas.id