Laporan Wartawan Gridhot.ID, Septiyanti Dwi Cahyani
Gridhot.ID - Nama Egianus Kogoya disebut-sebut sebagai pimpinan KKB yang membantai belasan pekerja pembangunan jembatan di Nduga, Papua pada 2 Desember 2018 lalu.
Namun, ternyata Egianus Kogoya bukanlah panglima tertinggi kelompok separatis yang disebut berafiliasi dengan OPM.
Hal ini seperti yang dilansir dari Kompas.com pada Kamis (13/12/2018), di mana TNI-Polri sudah mengantongi identitas para pentolan KKB termasuk panglima tertingginya.
"Selain yang sudah di-publish di media, salah satu pelaku yang mengomandoi langsung di lapangan adalah EK. Di atasnya kita sudah berhasil mengidentifikasi panglima tertingginya juga," tutur Dedi di Gedung Humas Mabes Polri, Jakarta Selatan, Rabu (12/12).
EK ialah inisial dari Egianus Kogeya.
Untuk panglima tertingginya Dedi memberi inisial yakni PU.
PU inilah yang memberi restu pembantaian di Nduga berberapa waktu lalu.
"Panglima tersebut atas nama inisial PU dan di bawah kaki-kakinya pun juga memiliki daerah operasi yang ada di Nduga tersebut," kata Dedi.
Ya, peristiwa berdarah yang terjadi pada awal Desember lalu itu sepertinya memang sudah melambungkan nama Egianus Kogoya.
Buah jatuh tak jauh dari pohonnya.
Sepertinya peribahasa itulah yang sesuai untuk menggambarkan Egianus Kogoya dengan sang ayah.
Baca Juga : Sudah Ada Sejak Zaman Belanda, OPM Kerap Serang Freeport untuk 'Cari Perhatian'
Tak banyak yang tahu jika ternyata Egianus Kogoya adalah putra dari Daniel Yudas Kogoya.
Melansir dari Suar.id, Daniel Yudas Kogoya merupakan tokoh pro-kemerdekaan Papua.
Daniel Yudas sendiri sudah meninggal sekitar dua tahun lalu.
Sejak itu, tongkat komando pun berpindah ke tangan anaknya, Egianus Kogoya.
Nama Daniel Yudas disebut-sebut terlibat dalam penculikan 26 peneliti Tim Ekspedisi Lorentz pada 1996 lalu.
Penculikan itu sendiri dipimpin oleh tokoh Organisasi Papua Merdeka (OPM), Kelly Kawlik, yang tewas pada 2009 lalu.
Terkait penyanderaan Tim Lorentz ’96 dan bagaimana mereka diselamatkan, Intisari pernah mengulasnya secara khusus.
Tim Lorentz ’95 dibentuk di Jakarta berdasarkan kerjasama antara Biological Science Club (BSsC) dari Indonesia dan Emmanuel College, Cambridge University.
Lembaga BSsC merupakan organisasi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) independen yang didirikan pada 7 September 1969 oleh sekelompok mahasiswa ilmu Biologi Universitas Nasional (UNAS), Jakarta.
Tujuan ekspedisi ini adalah untuk melakukan penelitian terhadap beragam flora dan fauna di Desa Mapenduma, Kecamatan Tiom, Kabupaten Jawawijaya, Irian Jaya—sebelumnya bernama Irian Barat dan sekarang jadi Papua.
Tim yang terdiri atas 11 peneliti ini bertugas untuk meneliti flora-fauna.
Selain itu, mereka juga akan mengaji keterkaitan objek penelitian dengan kehidupan dan pola pikir tradisional suku Nudga di sana.
Hasil penelitian ini nantinya diharapkan bisa menjadi masukan bagi usaha-usaha pelestarian dan pengembangan Taman Nasional Lorentz.
Ke depannya, penelitian ini diharapkan menjadi langkah awal bagi peran serta masyarakat yang terletak di bagian timur laut taman nasional yang pada 1999 ditetapkan sebagai situs warisan dunia oleh UNESCO itu.
Penelitian dilakukan antara bulan November 1995 dan Januari 1996.
Anggota tim dari Indonesia terdiri dari Navy Panekanan (28), Matheis Y.Lasamalu (30), Jualita Tanasale (30), Adinda Arimbis Saraswati (25).
Sementara anggota tim dari Inggris terdiri dari Daniel Start (22), William “Bill” Oates (23), Annette van der Kolk (22), dan Anna Mclvor (21).
Mereka juga dibantu oleh antropolog Markus Warip (36) dari Universitas Cendrawasih dan Abraham Wanggai (36) dari Balai Konservasi Sumber Daya ALam (BKSDA) Kantor Wilayah Kehutanan Irian Jaya.
Bersama mereka, ada juga Jacobus Wandika, putra daerah suku Nduga, yang merupakan antroplog lulusan Universitas Cendrawasih dan murid Markus Warip.
Tidak ada gangguan berarti yang dialami tim selama menjalankan misinya.
Baca Juga : Kata Wiranto Soal KKB di Nduga, Papua: Kita Kejar, Kita Habisi Mereka!
Meski begitu, sebelum keberangkatan, tim tahu jika di sana terdapat kelompok Gerakan Pengacau Keamanan – Organisasi Papua Merdeka (GPK – OPM) yang mengaku kecewaa dengan Pemerintah Pusat Republik Indonesia.
Tanggal 8 Januari menjelang hari-hari kepulangan ke Jakarta, mereka berkumpul di rumah kayu milik Pendeta Adriaan van der Bijl asal Belanda yang sudah menetap di sana sejak tahun 1963.
Hari itu sang pemilik rumah sedang pergi, berkeliling ke daerah Mbua dan ALama untuk menyusun kegiatan misionaris bersama istrinya.
Tiba-tiba, datanglah sekelompok suku setempat berjumlah puluhan orang berpakaian perang, lengkap dengan tombak.
Salah satu dari mereka yang diduga sebagai komandan membawa senapan laras panjang M-16 yang diacung-acungkan dan sesekali ditembakkan ke udara.
Mereka lalu mendobrak pintu yang dikunci Tim Lorentz, memaksa masuk, menyerang, menyandera tim dan akhirnya membawa seluruh tim peneliti ke hutan pedalaman.
Sejak itu, Tim Lorentz hilang jejaknya.
Berita penyanderaan Tim Lorentz mulai menghiasi media massa dan menjadi berita besar hingga ke Jakarta bahkan dunia.
Di Jakarta, Pemerintah segera meminta ABRI (TNI) melakukan penyelamatan.
Komandan Jenderal Kopassus saat itu (Mayjen TNI Prabowo Subianto) diputuskan memimpin misi penyelamatan.
Baca Juga : Polisi Pastikan Senjata KKB Berasal dari Papua Nugini dan Filipina
Beberapa satuan TNI lainnya juga dilibatkan dalam misi penyelamatan ini.
Sekitar lima bulan berlalu, penyanderaan Tim Lorentz oleh GPK-OPM yang akhirnya diketahui dipimpin oleh panglima bernama Kelly Kwalik, belum juga membuahkan hasil.
Penyandera terus bersembunyi dan berpindah-pindah tempat sambil mengirimkan beberapa pesan tuntutan mereka kepada Pemerintah RI.
Dalam buku Sandera, 130 Hari Terperangkap di Mapnduma (1997) disebutkan, pasukan yang dibawa Kelly Kwalik mula-mula berjumlah 50 orang.
Namun kemudian ditambah lagi hingga menjadi 100 orang.
Tanggal 7 Mei 1996, satu kompi pasukan batalyon Linud 330/Kostrad di bawah pimpinan Kapten Inf Agus Rochim ikut dikirim ke Timika untuk menambah kekuatan.
Mereka melakukan persiapan dan koordinasi sebelum akhirnya mulai bergerak ke Daerah Persiapan (DP) di Kenyam.
Kompi dibagi dalam beberapa tim. Secara berangsur masing-masing tim dikirim ke daerah operasi.
Tim Pendawa I yang beranggotakan 25 orang mendapat giliran masuk tanggal 13 Mei 1996.
Tim ini juga dipimpin oleh Kapten Agus Rochim. Mereka berjalan menyusuri sungai Kilmik.
Baca Juga : 3 Anggota KKB Tewas Ditembak TNI-Polri dalam Operasi Pengejaran Kelompok Separatis Papua
Namun, karena medan yang tidak tidak bisa lagi ditembus, akhirnya tim bermalam dan membuat bivak di pinggir sungai.
Keesokan harinya tim bergerak kembali ke posisi awal lalu berbelok ke arah kanan di cabang sungai Kilmik dengan harapan menemukan jejak para sandera di tempat baru.
Tim Pendawa bersenjata standar senapan serbu FNC, Steyr, Minimi tiga unit (tiap satu regu), serta GLM. Persenjataan yang sebenarnya lebih dari cukup untuk melawan GPK-OPM.
Tanggal 14, mereka bermalam lagi dan membuat bivak baru. Malamnya briefing dilakukan dan dipimpin oleh Komandan Kompi.
Diputuskan mulai tanggal 15 tim dibagi dua, separuh di bawah pimpinan Agus Rochim, separuh lagi dibawah pimpinan Sertu Pariki tinggal di Basis Operasi Depan (BOD).
Pukul 13.00 siang tim mendapat informasi dari jajaran Kopassus bahwa di situ terdapat banyak jejak.
Kompi Yonif Linud 330 Kostrad sebenarnya melakukan penyusuran di ring terluar, termasuk yang dilakukan oleh Tim Pendawa I.
Mereka menyusuri sungai mengingat lebatnya hutan yang masih perawan teramat sulit untuk ditembus.
Pukul 14.00 tim bergerak kembali ke pos di BOD. Pada saat itulah, mulai terdengar samar-samar suara orang dalam jarak tidak terlalu jauh.
Tim Pendawa segera merespon dengan melakuan penyisiran di sekitar lokasi yang dicurigai. Satu setengah jam kemudian tepatnya pukul 15.30 ternyata ada seseorang berteriak, “Army!”
Rupanya, itulah teriakan Adinda Saraswati, salah satu anggota tim peneliti.
Sembilan orang peneliti turun dari tebing di pinggir sungai Kilmik.
Sersan Duha segera menyambut, dia orang pertama yang menyelamatkan Adinda, untuk kemudian diestafetkan ke prajurit lain untuk dievakuasi ke BOD.
Peristiwa itu terjadi tanggal 15 Mei 1996, tepat pukul 15.30 (atau 3.30 sore hari).
Sesuai tertulis dalam buku di atas, pada hari itu sekitar pukul 14.00 para sandera terus berjalan.
Setelah berjalan berputar-putar di antara kerapatan dan kelebatan pohon, tim peneliti mendapat perintah dari kelompok GPK-OPM untuk turun menuju sungai.
Namun tak berapa lama terdengar deru helikopter. Tim peneliti menduga ABRI sudah mulai mendekat.
Tapi bagi GPK-OPM, kehadiran ABRI yang mereka sebut Sanbo itu, membuat kepanikan dan tak jarang mereka menjadi beringas.
Itu pula yang terjadi saat itu. Salah satu personel GPK-OPM bermata satu mendadak kalap dan menyerang Navy Panekanan dengan senjata tajam
Navy roboh diiringi teriakan histeris Adinda Saraswati. Para peneliti segera berlari menuruni lereng.
Tak lama setelah itu kelompok GPK-OPM yang lain dengan sejumlah senjata tajam juga mulai menyerang Matheis.
Matheis hanya mampu berteriak, “toloong.. toloongg,”. Navy dan Matheis akhirnya gugur di tangan keganasan para GPK OPM. (*)