Laporan Wartawan Gridhot.ID, Septiyanti Dwi Cahyani
Gridhot.ID - BMKG menemukan retakan baru di badan Gunung Anak Krakatau.
Menurut Kepala BMKG, Prof Dwikorita Karnawati, retakan itu muncul setelah gunung mengalami penyusutan dari 338 mdpl menjadi 110 mdpl.
Hal ini disampaikan Dwikorita di Posko Terpadu Tsunami Selat Sunda, Labuan, Kabupaten Pandeglang, Selasa (1/1/2019).
Dwikorita mengatakan jika berdasarkan pantauan terbaru BMKG lewat udara, gunung Anak Krakatau sudah landai.
Ada asap mengepul dari bawah air laut.
Baca Juga : Pasca Meletus, Tinggi Gunung Anak Krakatau Menyusut dari 338 MDPL Jadi 110 MDPL
"Pantauan terbaru kami lewat udara, gunung sudah landai, asap mengepul dari bawah air laut.
Tapi di badan gunung yang tersisa di permukaan, ada celah yang mengepul terus mengeluarkan asap, celah itu pastinya dalam, bukan celah biasa," kata Dwikorita sebagaimana dikutip dari Kompas.com.
Dwikorita juga mengatakan terdapat dua retakan baru dalam satu garis lurus di salah satu sisi badan Gunung Anak Krakatau.
Dwikorita menduga, retakan itu terjadi lantaran adanya getaran tinggi yang muncul saat erupsi gunung Anak Krakatau.
Munculnya retakan baru itu membuat BMKG khawatir akan terjadi tsunami susulan.
Hal ini dikarenakan kondisi bawah laut Gunung Anak Krakatau saat terdapat jurang di sisi barat hingga selatan.
"Yang kami khawatirkan di bawah laut curam, di atas landai.
Jika retakan tersambung, lalu ada getaran, ini bisa terdorong dan bisa roboh (longsor)" ujar Dwikorita menjelaskan.
Bagian badan gunung Anak Krakatau yang diduga akan longsor karena retakan tersebut bervolume 67 juta kubik dengan panjang sekitar 1 kilometer.
Volume tersebut lebih kecil dari longsoran yang menyebabkan tsunami Selat Sunda pada Sabtu (22/12/2018) lalu.
"Jika ada potensi tsunami, tentu harapannya tidak seperti yang kemarin, namun kami meminta masyarakat untuk waspada saat berada di zona 500 meter sekitar pantai" tandasnya.
Untuk memantau adanya tsunami karena Gunung Anak Krakatau, kini BMKG sudah memasang alat berupa sensor pemantau gelombang dan iklim.
Sensor itu dipasang di pulau Sebesi yang berjarak cukup dekat dengan Gunung Anak Krakatau.
Nantinya, alat tersebut akan bekerja memantau pergerakan gelombang dan cuaca yang disebabkan oleh aktivitas Gunung Anak Krakatau.
Jika ada gelombang mengalami fluktuasi yang tinggi, maka sensor akan mengirim sinyal ke pusat data yang terhubung.
Yakni BMKG Jakarta, BPBD dan Polda.
Aktivitas Gunung Anak Krakatau agaknya memang membuat BMKG khawatir.
Pasalnya, letusan Gunung Anak Krakatau pada tahun 1883 yang begitu dahsyat memberikan dampak luar biasa pada wilayah Indonesia bahkan dunia.
Erupsi Gunung Anak Krakatau Tahun 1883 menewaskan ribuan orang dan membuat seluruh dunia menjadi mencekam.
Letusan ini memiliki efek yang menghancurkan pulau-pulau dekat Krakatau, hingga memicu tsunami luar biasa yang menyapu ratusan desa di pesisir Jawa dan Sumatra.
Air mendorong daratan beberapa mil di tempat-tempat tertentu, dengan balok-balok karang seberat 600 ton berakhir di pantai.
Setidaknya 35.000 orang tewas, meskipun angka tersebut belum bisa dipastikan.
Tsunami berjalan hampir di seluruh dunia, gelombang tinggi yang luar biasa terlihat ribuan mil jauhnya pada hari berikutnya.
Gunung api ini melemparkan begitu banyak batu, abu dan batu apung ke atmosfer di daerah terdekat, bahkan matahari hampir tidak terlihat dalam beberapa hari.
Dalam beberapa minggu, matahari muncul dengan warna aneh di hadapan orang-orang dari seluruh dunia karena debu halus berhamburan di atmosfer.
Baca Juga : Saat Seluruh Dunia Menjadi Gelap dan 'Mencekam' Karena Erupsi Gunung Krakatau Tahun 1883
Selama 3 bulan berikutnya, puing-puing tinggi di langit menghasilkan matahari terbenam berwarna merah yang jelas.
Namun, setelah metelus gunung Krakatau hancur dan menyisakan anak Krakatau di sebuah pulau kecil yang terus tumbuh rata-rata 5 inchi setiap minggunya. (*)
Source | : | Kompas.com,GridHot.ID |
Penulis | : | Septiyanti Dwi Cahyani |
Editor | : | Septiyanti Dwi Cahyani |
Komentar