Jay Batongbacal, seorang pakar hukum kelautan dan profesor di Universitas Filipina, mengakui Manila menyatakan posisi yang lebih kuat "yang belum dilakukan baru-baru ini", tetapi tidak mengantisipasi hal-hal yang semakin memanas.
"Di bawah pemerintahan Duterte, Filipina lebih memilih untuk melakukan diplomasi dengan mengajukan protes tanpa pengumuman kepada publik untuk mengakomodasi keinginan China agar urusan ditangani dengan diam-diam," Batongbacal menjelaskan.
Hal ini berbeda dengan pemerintahan Benigno Aquino sebelumnya, yang membawa Beijing ke pengadilan pada 2013 atas klaim teritorialnya. Setelah Den Haag memutuskan mendukung Filipina pada 2016, Duterte dikritik karena gagal menegakkan keputusan saat ia mengejar bantuan Tiongkok dan kesepakatan investasi.
"Saya tidak berharap Manila akan mengambil tindakan drastis terhadap Beijing kecuali jika PLA secara fisik mengambil alih pulau-pulau yang diduduki Filipina," kata Anna Patricia Saberon, anggota fakultas di Universitas Ateneo de Naga.
Dia juga bilang, "Kepemimpinan Filipina tampak pro-China dan itu akan berlanjut sampai masa jabatan Dutere berakhir."
Malaysia
Malaysia telah mendapatkan ancaman terselubung China bahwa eksplorasi energi tidak boleh terjadi tanpa partisipasi Beijing dengan respons yang terukur.
Ketika perselisihan selama berbulan-bulan antara kapal Tiongkok dan Malaysia atas kegiatan Capella Barat memuncak pada bulan April dengan kapal perang AS dan Australia memasuki daerah tersebut, Menteri Luar Negeri Malaysia Hishammuddin Hussein memperingatkan "kesalahan perhitungan" yang dapat mempengaruhi stabilitas dan perdamaian di wilayah tersebut.
Dalam sambutan resmi pertamanya tentang pertikaian itu, dia mengatakan Malaysia berkomitmen untuk melindungi kepentingannya dan mempertahankan "komunikasi yang terbuka dan berkelanjutan" dengan semua pihak terkait, termasuk China dan AS.