Perusahaan-perusahaan justru menilai hal ini lebih menakutkan dibandingkan efek yang diciptakan oleh pandemi.
“Orang-orang meyadari (pandemi) membuat pekerjaannya hilang atau tidak akan kembali dengan cepat. Ini semua diperparah dengan masalah rasialisme, dan menggambarkan bagaimana putus asa nya masyarakat AS,” kata Chief Economist Moody’s Mark Zandi dikutip dari Reuters.
Merebaknya aksi kekerasan ini bikin Amazon bakal mengurangi layanan pengiriman barangnya di kota-kota yang yang menjadi puncak aksi protes.
Baca Juga: Tampil Kusam Bersarung dengan Rambut Gimbal, Sosok Ini Jadi Viral, Rupanya Bukan Orang Sembarangan
Target Corp, perusahaan ritel berlogo merah, juga telah kembali menutup sementara 32 tokonya di Minneapolis, puluhan lainnya akan menyusul ditutup. Sementara di Chicago, 135 properti di pusat bisnisnya juga ikut hancur akibat aksi protes.
Kematian Floyd sekaligus aksi protes atas hal tersebut juga menujukan tekanan rasialisme yang masih kuat di AS, ditambah penangan kesehatan dan distribusi kekayaan terhadap mereka.
Di New York misalnya orang Afrika-Amerika memiliki tingkat infeksi lebih tinggi dibandingkan ras lainnya.
Sementara dari laporan McKinsey & Co disebut bahwa lebih dari 39% pekerjaan mereka berpotensi hilang akibat pandemi.
Di sisi lain, aksi Presiden Donald Trump pekan lalu yang menyatakan AS bakal menghilangkan sejumlah privilege buat Hong Kong, sekaligus memberikan sanksi bagi Hong Kong dan China jadi pemantik ketegangan dagang antara AS dan Tiongkok.
Relasi antara kedua negara ini memang makin memburuk selama pandemi. Trump kerap mengolok-olok negara-negara Asia, terutama Negeri Tirai Bambu sebagai sumber pandemi dan ketidakmampuan mereka melakukan penanganan dengan baik.