"Mereka tidak menganggap kami sebagai masyarakat NTT dan Indonesia . Kami ini ditindas, diteror dan diancam. Mereka lakukan berbagai macam cara, agar kami keluar dari tempat itu. Tetapi, kami tetap pertahankan tempat itu karena merupakan tanah kelahiran kami dan peninggalan leluhur kami sehingga kami bertahan di situ," ujar dia.
"Seandainya kami bisa pegang nomor HP-nya Jokowi, maka kami meminta pindahkan kami ke luar negeri sehingga kami jadi orang asing, jangan jadi orang itu Indonesia ," sambung dia.
Kejadian yang dialaminya membuat ia takut.
Dia menyebut, hingga saat ini, anak-anak masih trauma berat dan tiga orang bayi berusia dua bulan, lima bulan dan tujuh bulan masih terus menangis.
Martheda mengatakan, Pemprov NTT juga telah membangun empat unit rumah sederhana dengan masing-masing ukuran 5x7 meter dan 2x3 meter, tapi tidak cukup menampung 29 kepala keluarga yang telah digusur.
Akibatnya, keluarga yang tidak mendapat rumah, terpaksa membangun rumah darurat.
Bayi-bayi pun terpaksa tidur di tanah beralaskan daun.
"Kami datang melapor ke polisi supaya ada keadilan buat kami di Pubabu. Intinya kami hanya minta keadilan," kata dia.
Kabid Humas Polda NTT Kombes Johannes Bangun, sebelumnya mengatakan, pihaknya telah menerima laporan itu.
"Sudah ada laporannya dan sudah kami terima. Kami akan menggelar perkaranya untuk menentukan masuk tindakan pidana atau bukan," ujar dia. "Masyarakat kan punya hak untuk melapor," tambah Johannes.