Menurutnya, Timor Timur bisa menjadi 'duri di mata Australia dan duri di punggung Indonesia'.
Duta Besar Australia untuk Jakarta, Richard Woolcott, menulis bahwa Canberra harus memutuskan antara 'idealisme Wilsonian dan realisme Kissingerian'.
Sementara Duta Besar Australia di Portugal, Frank Cooper, mempertanyakan kerugian akibat mengorbankan Timor Lorosa'e ke Indonesia kepada Australia.
"Pertanyaan yang akan ditanyakan banyak orang bukanlah apakah kita dapat hidup dengannya tetapi apakah kita dapat hidup dengan diri kita sendiri," katanya.
Keinginan Whitlam agar Timor Leste bergabung dengan Indonesia dan tidak berdiri sebagai sebuah negara sendiri bukan tanpa alasan.
Kepala Urusan Luar Negeri, Alan Renouf, menulis bahwa Whitlam mengubah posisi Australia dengan mengadopsi kebijakan dua cabang ketika dua poin tidak dapat didamaikan.
"Whitlam tentu tidak ingin ada lagi negara mini yang dekat denganAustralia di Asia Tenggara atau Pasifik Selatan. Karena itu, dia tidak menginginkan Timor Timur merdeka; merger dengan Indonesia adalah satu-satunya jawaban," ungkapnya.
Sementara itu, sebulan kemudian, mayor jenderal yang bertanggung jawab atas operasi khusus Indonesia menyatakan bahwa sampai kunjungan Whitlam ke Jakarta, mereka masih ragu-ragu tentang Timor.
Namun, dukungan Perdana Menteri Whitlam tentang gagasan penggabungan Timor ke Indonesia telah membantu mereka mengukuhkan pemikiran mereka sendiri dan menjadi sangat yakin akan hal tersebut.