Misalnya, kepala daerah ingin membangun jalan raya namun tidak memiliki biaya yang cukup dari anggaran daerah.
Nantinya, para wakil rakyat dapat memasukkan kebutuhan anggaran itu untuk diajukan ke pemerintah.
Namun dengan syarat, kepala daerah tersebut dapat memberikan fee dari nilai anggaran yang sebagai imbalan lobi tersebut.
"Bupati pengen bikin jalan dari kabupaten Kudus ke mana misalkan. Berapa anggarannya? Rp700 miliar oke dimasukkan APBN bayar di depan 7%. Itu yang terjadi sampai akhirnya seorang Bupati di luar Jawa itu sudah bayar tapi tidak masuk APBN. Teriak lalu ketahuan bahwa dia sudah bayar ke seorang anggota DPR dan ditangkap lalu masuk penjara," ungkapnya.
Padahal, kata Mahfud, masyarakat Indonesia mengharapkan saat runtuhnya pemerintahan Soeharto dapat memperbaiki masalah KKN.
Namun yang terjadi justru sebaliknya, korupsi semakin meluas.
"Dulu itu (korupsi) terkoordinir. Sekarang bapak lihat ke DPR korupsi sendiri, Mahkamah Agung korupsinya sendiri, Mahkamah Konstitusi, gubernur, kepala daerah, DPRD semua korupsi sendiri-sendiri," tukasnya.
(*)