Keputusan itu kemudian disahkan oleh National Concultative Council (NCC) yang wewenang dan tugasnya mirip dengan MPR RI di Indonesia.
Pada awal penerapan, penggunaan dollar AS menimbulkan gelojak di tengah masyarakat.
Hal ini karena nilai dollar AS sangat tinggi untuk ukuran standar harga barang dan jasa di negara bekas koloni Portugis tersebut.
Menerapkan dollar AS sebagai mata uang resmi negara, membuat harga-harga barang dengan cepat melambung tinggi.
Namun pemerintah Timor Leste tidak bergeming, dan beranggapan bahwa penggunaan dollar AS tidak berpengaruh pada harga, namun masyarakatkah yang harus menyesuaikan melalui pengaturan jumlah barang atau jasa.
Sederhananya, harga beras apabila dibeli dengan rupiah adalah seharga Rp 5.000 per liter, bukan berarti setelah transisi harga beras 1 liternya kemudian dihargai 1 dollar AS.
Yang berlaku adalah, saat seorang membeli beras dengan mata uang sebesar 1 dollar AS, maka beras yang didapatkan harus lebih banyak dari 1 liter.
Selain itu, kenaikan harga-harga barang di masa transisi, menurut pemerintah, bukan karena penggunaan dollar AS, namun terjadi karena adanya prinsip pasar (permintaan dan penawaran).
Keputusan untuk mengadopsi dollar AS dibuat oleh PBB dan pemerintah Timor Leste untuk menyelamatkan negara dari ketidakstabilan politik dan ekonomi.