"3 bulan awal masih kunjungan. Lalu pindah ke rutan pondok bambu. Dari ratusan jadi puluhan dan akhirnya tinggal dihitung jari. Ada rasa sedih. Saya merasa hina, malu, ditinggal teman. Saya merasa mereka udah gak mau menerima saya sebagai teman. Baper saya," kata mantan politisi Partai Demokrat ini.
Di awal-awal ketika dia divonis 4,5 tahun di pengadilan tingkat pertama, dia bisa menerima kenyataan itu.
Namun, ketika akhirnya Mahkamah Agung melipatgandakan hukumannya menjadi 12 tahun penjara, ternyata semakin jarang teman yang mau membezuknya.
"Bisa 3 bulan 1 orang. Atau hanya titip salam saja," akunya.
Saat itu lah Angie benar-benar terpukul.
Beruntung sang ayah, Lucky Sondakh memberikan petuah padanya untuk ikhlas menerima putusan itu karena hanya ada satu pilihannya, yakni bertahan.
Saat itu lah Angie akhirnya membuka diri dengan lingkungan Lapas.
"Ternyata di dalam penjara, Allah menghadirkan begitu banyak teman, lebih dari teman, sahabat. Gak ada strata, semua statusnya sama, narapidana," katanya.
Bersama teman-teman sesama narapidana, Angie akhirnya membuat banyak kegiatan mulai dari kebersihan hingga kegiatan keagamaan.
"Saya mulai berteman dengan sampah, cacing, tanah. Item, dekil, bruntusan, gatal-gatal yang hanya diobati dengan salep harganya Rp 8.500 warnanya merah. Kena bisul obatnya harga Rp 8.900 warna item," katanya.
Tak cuma bersih-bersih, Angie dan tim yang dinamakan sapu jagad ini bahkan pernah membersihkan septik tank yang ada di Lapas.