"Kalau kita ingin berubah, kita bisa. Kalau masyarakat menghendaki yang hitam menjadi putih dan pemerintah merespons, tidak ada yang tidak bisa berubah. Contohnya adalah Kramat Tunggak yang sekarang ini menjadi bangunan kompleks Jakarta Islamic Centre," kata Kepala Badan Pengelola Jakarta Islamic Centre saat itu, H Djailani pada 11 Oktober 2005.
Ucapan tersebut lantaran masa lalu JIC yang merupakan kawasan lokalisasi terbesar di Asia Tenggara.
Bekas kawasan lokalisasi Kramat Tunggak
Puluhan tahun lalu, kawasan ini merupakan lokalisasi Kramat Tunggak dan terbesar pada 1970-1999.
Pada era itu, lokalisasi Kramat Tunggak merupakan Lokalisasi Rehabilitasi Sosial (Lokres) Kramat Tunggak yang diresmikan oleh Gubernur DKI Jakarta kala itu, Ali Sadikin.
Tujuan awal dibangun lokalisasi adalah untuk membina pekerja seks di Jakarta yang kebanyakan berasal dari Pasar Senen, Kramat dan Pejompongan.
Namun, akhirnya tempat tersebut malah menjadi lokasi berkumpulnya para pekerja seks dan menjadi lahan basah bagi mucikari untuk membujuk para pekerja seks kembali bekerja sebagai wanita penghibur.
Selanjutnya, pada 1990-an lokasi tersebut dihuni 2.000 pekerja seks dengan pengawasan 258 mucikari. Serta 700 orang pembantu pengasuh, 800 pedagang asongan dan 155 orang tukang ojek.
Ketika itu, lokasi tersebut membuat tak nyaman masyarakat yang ada di sekitarnya, sehingga kemudian masyarakat meminta tempat tersebut ditutup.
Pada era kepemimpinan Sutiyoso, ia memutar otak untuk melakukan pendekatan dengan tim yang bertugas membuat rekayasa sosial.
"Tim itu untuk memetakan rekayasa sosial, apa sih dampak saat Kramat Tunggak dibongkar, gimana muncikarinya, PSK-nya, akibat pembongkaran terhadap warga yang menggantungkan hidup sehari-hari cari nafkah di lokalisasi itu," kata mantan anggota Tim Kajian Pembongkaran Kramat Tunggak Ricardo Hutahean kepada Kompas.com pada 2016.