Melansir banjarmasinpost.co.id, penceramah Buya Yahya menjelaskan ketentuan berobat menggunakan hewan yang diharamkan dalam Islam bagi kaum muslimin.
Diterangkan Buya Yahya, terdapat syarat-syarat tertentu untuk memanfaatkan binatang yang diharamkan sebagai obat untuk suatu penyakit.
Pada dasarnya, Buya Yahya menegaskan selagi ada pengobatan secara halal maka pengobatan dari hewan yang diharamkan tidak dilakukan.
Ketika seseorang tertimpa suatu penyakit, maka hendaknya berikhtiar untuk mengobatinya agar sembuh.
Sakit atau dilanda penyakit tidak diinginkan hampir semua orang, namun hal tersebut tak dapat dihindari lantaran adanya campur tangan atau kehendak Allah SWT.
Seseorang yang sakit umumnya berobat ke medis atau dokter, akan tetapi seringkali ada beberapa penyakit yang sudah tidak dapat ditangani medis.
Buya Yahya menjelaskan Allah tidak akan menjadikan obat di tempat yang haram, artinya tidak ada pengobatan dengan cara yang haram.
"Dasarnya kan seperti itu, tidak ada pengobatan dengan cara yang haram, jika ternyata betul sudah berusaha dengan cara atau makanan yang halal namun tidak bisa, ada omongan dan kesepakatan dokter harus dengan sesuatu yang haram, anggap saja lebih seram lagi yaitu babi, sah hukumnya, namun dengan syarat tertentu," jelas Buya Yahya dilansir Banjarmasinpost.co.id dari kanal youtube Al-Bahjah TV.
Ketentuan tersebut jika tidak ada lagi obat yang bisa untuk menyembuhkan, selain menggunakan hewan-hewan haram, misalnya babi dan anjing, akan mati tanpa diobati dengan itu maka hukumnya boleh dilakukan.
Dengan demikian hal tersebut bisa dilakukan apabila dalam keadaan darurat yang mengharuskan seseorang konsumsi obat dari hewan yang haram.
Buya Yahya mengimbau jika terkena penyakit biasa, maka diusahakan tidak menggunakan hewan haram untuk mengobati.
Termasuk hewan haram yakni babi, yang mana jenis hewan ini sudah disepakati adalah jenis hewan haram
"Namun misalnya untuk mengobati gatal-gatal, harus makan kadal atau buaya, ini kan dalam mazhab Imam Syafii hukumnya haram, adalagi misalnya nelan undur-undur, makan cacing, yang mana dalam mazhab Imam Syafii adalah haram," paparnya.
Meski demikian, dalam keadaan darurat cacing atau kadal itu boleh dijadikan obat, namun tidak untuk disantap menjadi semacam kuliner misalnya sate.
Syaratnya adalah ikut mazhab Imam Malik, caranya penyembelihannya dengan dimatikan. Karena di mazhab Imam Malik yang haram adalah babi saja, selebihnya tidak selama tidak membahyakan.
"Dengan catatan memang betul sakit, jangan yang sehat ikut-ikutan, misalnya yang sakit ingin mencicipi juga, itu tidak benar," urainya.
Ia menambahkan hal-hal yang diharamkan lebih parah dari memakan hewan-hewan itu, misalnya mencuri, makan riba, minuman keras, dan rebutan waris adalah sepakat keharamannya oleh empat mazhab.
"Saya paling tidak mau makan kadal karena haram, tapi makan riba, ini kebliger orang ini," tandasnya.
Karena itu makan hewan-hewan yang diharamkan, boleh pada saat darurat dan dengan cara disembelih atau dimatikan terlebih dahulu dan bukan menjadi bangkai.
Setelah itu dimasak dan dimakan bagi yang sakit saja.(*)
Source | : | Tribun-Medan.com,Banjarmasinpost.co.id |
Penulis | : | Desy Kurniasari |
Editor | : | Desy Kurniasari |
Komentar