Gridhot.ID - Mbah Maridjan, kuncen gunung Merapi yang tersohor karena kearifan dan sifat rendah hatinya meninggal pada 28 Oktober 2010.
Beliau meninggal dalam keadaan bersujud ketika menunaikan shalat Maghrib di Masjid Al Amien di Dusun Srunen, Glagahrejo, Cangkringan.
Beliau meninggal di usia 83 tahun.
Dikutip dari Tribunnews, Selasa (18/12) mbah Maridjan dipasrahi menjadi kuncen gunung Merapi setelah ditunjuk oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX pada tahun 1980.
Baca Juga : Keberadaan KKB Egianus Kogoya Sudah Diketahui, Wiranto : Kita Tahu Kekuatan Mereka, Tinggal Selesaikan Aja
Ia kemudian diberi gelar Mas Penewu Suraksohargo oleh Sri Sultan.
Penunjukkan mbah Maridjan sebagai kuncen Merapi sendiri untuk menggantikan sang ayah, mbah Hargo.
Sejak lahir, mbah Maridjan sudah memeluk agama Islam.
Sebagai orang Jawa, mbah Maridjan juga 'nguri uri kabudayaan jawi', memelihara kebudayaan asli Jawa laiknya Sunan Kalijaga tatkala menyebarkan ajaran Islam di Jawa.
Baca Juga : Penemuan Titanic Diklaim Sebagai Konspirasi Militer Amerika Serikat
Ajaran ala Sunan Kalijaga sengaja ditiru mbah Maridjan untuk merangkul masyarakat dengan sopan santun tanpa kekerasan.
Hal ini termuat dalam Kidung milik mbah Maridjan yang berisikan Wewarah (nasihat).
Ketika mengisi waktu sela menjadi kuncen Merapi, mbah Maridjan mengajarkan Kidung ini kepada anak cucunya.
Isi Wewarah dalam Kidung ini sendiri berupa puji-pujian kepada Tuhan yang dilantunkan dalam bentuk Tembang Macapat.
Baca Juga : Fenomena Suara Misterius di Langit Pekalongan Bukan dari Pesawat Antonov, Ini Penjelasan Ilmiahnya
Setelah melantunkan Wewarah itu mbah Maridjan kemudian menerangkan isinya kepada anak cucu.
Salah satu cucu mbah Maridjan, Sularmin berkata jika Kidung milik kakeknya memang berisi syair-syair berbahasa Jawa sarat makna nasihat untuk berbuat kebajikan.
"Sesekali, kalau kami (cucu mbah Marijan) sedang kumpul, Mbah minta anak-anak melingkar kemudian Mbah membaca kitab kidung," kenang Sularmin kepada tribunnews,com, Kamis (28/10/2010) silam.
Sularmin juga menjelaskan jika mbah Maridjan sedang membaca kitab Kidung itu, ia akan sangat serius.
Tidak seperti mbah Maridjan yang biasanya suka bercanda dengan anak cucunya.
Dengan Kidung itulah mbah Maridjan mampu bertahan hidup di gunung Merapi dalam suasana bahagia, harmonis, tenteram, rukun dan yakin dalam lindungan Allah SWT walau dalam keadaan sederhana jauh dari hiruk pikuk perkotaan.
"Kami biasanya serius mendengarkan, karena Mbah terlihat serius," tambah Sularmin.
Namun sayang ketika mbah Maridjan wafat, ia belum sempat menerangkan semua maksud dan artian dari kitab Kidung miliknya.
Lantas saat awan panas Wedhus Gembel menerjang ketika Merapi erupsi, Kidung itu raib entah kemana.
Sularmin mengatakan mbah Maridjan tidak menurunkan ilmu, pusaka atau sejenisnya kepada anak cucu.
Jadi Sularmin menganggap Kidung itulah warisan utama mbah Maridjan kepada ia dan sanak saudaranya.
"Nanti kami akan mencarinya" kata Sularmin.
Entah apakah kitab Kidung mbah Maridjan itu sekarang sudah ketemu atau belum.
(*)