Find Us On Social Media :

Keluarga Beberkan Keberadaan Supriyadi, Komandan Pemberontakan PETA di Blitar Terhadap Jepang

Supriyadi (kiri)

Gridhot.ID - Kepepetnya Jepang dalam Perang Asia Timur Raya melawan Marinir AS membuat negeri Matahari Terbit itu bingung bukan kepalang.

Satu persatu daerah yang mereka kuasai macam Guadalcanal, Peleliu hingga ke tanah air mereka Okinawa berhasil direbut Marinir AS sebelum melancarkan pemboman udara masif menuju 'kepala' Kaisar Hirohito di Tokyo.

Sebab inilah yang membuat Jepang harus mengerahkan tenaga ekstra termasuk mengirim tentara lebih banyak ke palagan perang melawan AS termasuk dari daerah pendudukannya di Hindia Belanda (Indonesia).

Merujuk dari Ensiklopedia Nasional Indonesia (1989), maka Jepang membentuk badan-badan ketentaraan dan kepolisian di daerah jajahannya termasuk Indonesia.

Baca Juga : Hampir Musnah di Suriah, ISIS Mulai Lakukan Taktik 'Kamikaze' Bom Bunuh Diri

Badan-badan keamanan itu seperti Heiho, Keibodan, Seinendan dan tentunya yang paling fenomenal, Pembela Tanah Air (PETA).

Pembentukan PETA sendiri didasarkan atas maklumat Osamu Seirei No 44 pada 3 Oktober 1943.

PETA dibentuk Jepang bertujuan agar warga pribumi mendapat pelatihan militer supaya bisa mempertahankan tanah air mereka sendiri dari serangan Sekutu.

Tapi apa lacur, dibentuknya PETA malah berbuah buruk kepada Jepang.

Supriyadi, seorang Shodancho (komandan peleton) yang sudah mendapatkan pelatihan militer angkat senajata memberontak terhadap Jepang di Blitar, Jawa Timur pada 14 Februari 1945.

Pemberontakan ini sendiri merupakan yang terhebat selama pendudukan Jepang.

Terhitung banyak tentara Jepang yang tewas dan kelimpungan memadamkan pemberontakan yang dipimpin oleh Supriyadi.

Baca Juga : Suami Dipatuk Ular Berbisa, Ia Lantas Gantian Menggigit Istrinya Supaya Ikut Mati Bersamanya

Namun tetap saja perbedaan kekuatan membuat Jepang berhasil memadamkan pemberontakan ini dan Supriyadi menghilang entah kemana dan bagaimana keadaannya sampai saat ini tidak diketahui.

Padahal sesudah Indonesia merdeka, Supriyadi sempat didapuk menjadi Menteri Keamanan Rakyat namun karena tak diketahui keberadaannya maka digantikan oleh Imam Muhammad Suliyoadikusumo.

Puluhan tahun sudah peristiwa itu berlalu, kini banyak orang-orang mengaku sebagai Supriyadi.

Polemik pengakuan orang-orang ini kemudian mendapat tanggapan keluarga Supriyadi sendiri.

Adik Tiri Supriyadi, Utomo Darmadi yakin bahwa orang-orang yang mengaku sebagai kakaknya tidak ada yang benar.

Utomo menyebut adalah urusan pemerintah untuk menangani orang-orang yang menurutnya senang membikin sensasi seperti itu.

Ia menegaskan bahwa sebagai pihak keluarga Supriyadi, dirinya tidak berniat melakukan tindakan apa-apa terhadap orang-orang yang mengaku-ngaku sebagai kakaknya.

"Itu urusan pemerintah. Mereka itu kan orang sekarang suka sensasi, karena pelakunya sudah nggak ada," kata Utomo Darmadi.

Utomo meyakini jika kakaknya sekarang sudah meninggal pada tahun 1945 silam.

Baca Juga : Panggung Pernikahan Roboh, Pengantin Wanita Syok Terjeblos Nyemplung ke Sungai

Untuk klaim bahwa Supriyadi menghilang hanyalah propaganda Jepang saja.

"Jepang pintar, ngerti kejiwaan orang jawa. Lalu cerita bahwa Supriyadi iso ngilang. Lha opo bapakku kuwi gendruwo, duwe anak isa ngilang. Kita rasional saja lha," ujarnya.

Utomo melanjutkan usai pemberontakan PETA Blitar dipadamkan maka keluarga para pemberontak termasuk dirinya ditahan di sebuah rumah daerah Kertosono yang dijaga ketat oleh tentara Jepang.

"Kalo nggak ada proklamasi, September itu sudah ada rencana pembunuhan besar-besaran terhadap keluarga pemberontak itu," kenangnya.

Menurut Utomo, kalaupun sudah meninggal dan tidak ada makamnya, itu adalah hal yang wajar selama pendudukan zaman Jepang.

"Saya beritahu, zaman jepang itu, orang mati yang gak ngerti makamnya gak pirang-pirang (banyak). Pahlawan nasional dr Muwardi, sampai sekarang makamnya ga ketahuan. Itu orang tanya begitu, itu nanya debat kusir," pungkasnya.

Atas perjuangannya melawan penjajah, Supriyadi diangkat menjadi Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan pada 9 Agustus 1945 Keputusan Presiden No. 063/TK/1975. (Seto Aji/Gridhot.ID)