"Tapi apa yang terjadi pada saat musim jeruk di Kintamani, jeruknya bonyok ngga laku. Musim salak di Karangsem, bonyok juga ngga laku. Musim manggis di Tabanan, bonyok juga sampai ngga berani metik karena ongkos petiknya lebih mahal daripada harga jualnya," terang Wayan Koster.
Ia menilai hal ini terjadi lantaran tidak padunya antara produk-produk yang dihasilkan oleh petani terhadap konsumen.
Padahal konsumen wisatawan, baik dari mancanegara maupun domestik selalu memenuhi Bali setiap tahunnya.
"Apa akibatnya ini, petani kita tak menimati kehadiran wisatawan yang datang ke Bali. Gap ini. Orang datang ke sini tapi tak dirasakan manfaatnya oleh petani kita. Kalau bermanfaat salaknya laku, manggisnya laku, (dan) jeruknya laku," kata dia.
Menurutnya, hanya pada saat panen lah petani berharap bisa punya uang, sedangkan harapan itu sering pupus di pihak petani karena harga panennya selalu anjlok.
"Nah disini negara harus hadir untuk mempertemukan pengusaha dengan pertanian. Jangan pariwisatanya cuma enak-enak sendiri cuma berkunjung saja di sini, cuma kencing saja di sini. Harus bermanfaat dia," tuturnya.
Baca Juga: Bak Harta Karun, Warga Palu Temukan Uang Ratusan Ribu Rupiah dari dalam Tanah
Oleh karena itu, pihaknya terus berupaya mencarikan solusi atas permasalahan ini, salah satunya dengan mengeluarkan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 99 tahun 2018 tentang Pemanfaatan Produk Pertanian, Perikanan dan Industri Lokal Bali.