Find Us On Social Media :

Mengenal Down Syndrome, Kelainan Genetik yang Dialami Rahmadi Hingga Harus Dikurung Orang Tuanya Dalam Kotak Kecil Selama 3 Tahun, Tak Ada Obat Bahkan Belum Ditemukan Pencegahannya

Rahmadi (17) dikurung orangtua kandungnya dalam kotak serupa kandang kambing sejak tiga tahun terakhir.

Laporan Wartawan Gridhot.ID, Angriawan Cahyo Pawenang

Gridhot.ID - Sedang heboh kisah Rahmadi, seorang bocah yang dikurung orangtua kandungnya sendiri di dalam kotak kecil selama tiga tahun.

Bahkan orang tua Rahmadi sampai mengunci kotak tersebut dari luar.

Dikurung dalam kotak terus-terusan akhirnya membuat tubuh Rahmadi mengecil dan tak bisa tumbuh dengan sempurna.

Baca Juga: Berparas Cantik dan Punya Kulit Putih nan Bersih, Anya Geraldine Ungkap Dirinya Mandi Hanya Seminggu Sekali, Peneliti Sebut Jarang Mandi Ternyata Baik Untuk Kesehatan Tubuh

Dikutip Gridhot dari SRIPOKU, Rahmadi harus melakukan segalanya dalam kotak kecilnya.

Bahkan Rahmadi sampai makan dan buang air di kotak yang sama di tempat dia hidup.

Hingga akhirnya warga Desa Sungai Baung, Kecamatan Talang Ubi, Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI) melaporkan kondisi memprihatinkan tersebut.

Baca Juga: Klarifikasi Supriyadi, Paman yang Jalan Kaki Bopong Jenazah Ponakannya, Sama Sekali Tak Salahkan Pihak Puskesmas: Saya Justru Diberikan Solusi

Setelah dilaporkan oleh tetangganya kepada pihak yang berwenang pada (23/8/19), Rahmadi kemudian dilarikan ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) PALI lantaran diduga mengalami kekurangan gizi.

Rahmadi sendiri dikurung orangtuanya di dalam kotak karena sang anak mengalami keterbelakangan mental atau down syndrome.

Bahkan Rahmadi juga menglami kesulitan bicara.

Baca Juga: Batasi Jaringan Internet di Papua, Menkominfo Rudiantara Sebut Hoaks dan Provokasi di Tengah Masyarakat Masih Terus Tersebar Lewat Pesan Berantai

Orangtua Rahmadi mengaku tak ingin anaknya keluyuran ketika ditinggal bekerja.

Bari (50) dan Warti (48), orangtua dari Rahmadi akhirnya bersedia untuk mengurus remaja itu dengan layak setelah dimediasi beberapa pihak.

"Jika mereka (orang tua Rahmadi) masih melakukan hal sama (mengurung dan memukul) anaknya, maka mereka siap diproses secara hukum. Itu tertuang dalam surat perjanjian yang dibuat," ungkap Fahruddin, Kepala Bidang Sosial dan Rehabilitasi Dinas Sosial PALI, Kamis (22/8/19).

Baca Juga: Viral video Seorang Ibu Basmi Kutu di Rambut Anaknya dengan Semprotan Anti Nyamuk Sampai Sebut Agar Caranya Ditiru Orang Lain, Bahaya Bisa Sebabkan Kematian Sang Anak

Down Syndrome sendiri sebenarnya bukanlah sebuah penyakit.

Dikutip Gridhot dari Alodokter, Down Syndrome sendiri merupakan kelainan genetik yang dianggap cukup sering terjadi.

Data WHO memperkirakan 3000 hingga 5000 bayi terlahir dengan kondisi ini setiap tahunnya.

Baca Juga: Buat Geram Netizen, Video Viral Perlakuan Tak Pantas Pada Beberapa Anggota Pramuka, Disuruh Tiarap Lalu Disiram Air Comberan

Down syndrome terjadi ketika ada satu salinan ekstra dari kromosom nomor 21. Kromosom atau struktur pembentuk gen normalnya berpasangan, dan diturunkan dari masing-masing orang tua.

Ada beberapa faktor yang berisiko menimbulkan salinan ekstra pada kromosom 21, antara lain ibu sudah cukup berumur saat hamil atau memiliki penderita Down syndrome lain dalam keluarga.

Penliti masih belum bisa menemukan 'penyembuh' dari kelainan ini namun dengan gaya hidup yang sehat dan baik penderita dapat sehat dan mandiri nantinya.

Baca Juga: Meninggal Dunia di Pelukan Sang Kekasih Hati, Unggahan Terakhir Wanita Rembang Ini Singgung Soal Rezeki yang Tak Perlu Dikhawatirkan

Penderita Down syndrome memiliki kelainan fisik khas, yang kadang bisa dideteksi sebelum lahir, antara lain:

- Ukuran kepala lebih- Bagian belakang kepala datar.- Sudut mata luar naik ke atas.- Bentuk telinga kecil atau tidak normal.

Down Syndrome sendiri tak bisa diobati secara pasti.

Baca Juga: Personil Duo Semangka Ngaku Jarang Pakai Pakaian Dalam, Dokter Ahli Ungkap Dampak Berbahaya dari Kebiasaan Tersebut

Namun ada beberapa pengobatan untuk penderita seperti Fisioterapi, Terapi bicara, Terapi okupasi, dan Terapi perilaku.

Terapi tersebut nantinya bisa membantu penderita agar bisa hidup lebih mandiri.

Hingga saat ini peneliti belum menemukan pencegahan dari kelainan genetik ini.

Baca Juga: Pengakuan Mengejutkan Tetangga YT Pelaku Perampokan Toko Emas Magetan, Ketua RW : Masa Tiap Hari Pakai Sorban Kok Mencuri

Namun ada dugaan umur orang tua saat memiliki janin di usia senja dan keturunan jadi salah satu yang patut diwaspadai.

(*)