Laporan reporter Gridhot.ID, Nicolaus Ade
Gridhot.ID -Kelas pasukan khusus dalam dunia militer tentu sudah tak diragukan lagi kemampuannya.
Mereka selalu siap sedia diterjunkan di garis depan pertahanan NKRI untuk mempertahankan keutuhan negara ini.
Hingga kini banyak kisah yang menceritakan perjuangan pasukan khusus militer saat bertugas di medan pertempuran.
Salah satunya adalah ketika provinsi Timor-Timur (sekarang Timor Leste) akhirnya lepas dari Indonesia pada September 1999 melalui jajak pendapat, ketegangan segera berkecamuk.
Warga Timor-Timur yang memilih untuk tetap bergabung dengan NKRI berbondong-bondong meninggalkan Tim-Tim.
Mereka pergi dengan tergesa-gesa dan dibayang-bayangi konflik bersenjata yang bisa meletus sewaktu-waktu.
Pascareferendum, satuan-satuan pasukan RI yang semula bermarkas di Tim-Tim juga bergegas meninggalkan negara baru itu sambil membawa perlengkapan tempur.
Mereka bergerak keluar Tim-Tim dalan konvoi serta formasi militer siap tempur.
Tapi ketegangan justru makin memuncak sewaktu pasukan multinasional The Internal Force of East Timor (INTERFET) yang dipimpin pasukan khusus Australia mulai mendarat demi melancarkan operasi stabilitas keamanan di sana.
Pasukan INTERFET mendarat pertama kali menggunakan pesawat C-130 Hercules milik Angkatan Udara Australia pada 20 September 1999.
Hal ini membuat suasana pagi kota Dilli yang semula tenang langsung berubah tegang.
Pasalnya ratusan pasukan INTERFET yang keluar dari perut pesawat alih-alih berbaris rapi, lalu melaksanakan upacara dan briefing dan berkoordinasi dengan pasukan TNI (Paskhas) yang sedang mengamankan Bandara Komoro, mereka langsung stelling (siap tempur).
Sambil diiringi oleh sirine yang meraung-raung, semua personel pasukan INTERFET keluar dari pesawat dalam kondisi siap menembaki dan berlarian ke berbagai arah untuk membentuk perimeter (pertahanan) pengamanan Bandara Komoro.
Sepak terjang pasukan INTERFET yang siap tempur dalam kondisi senjata terkokang dan siap menembak itu jelas membuat para prajurit Paskhas yang sedang bertugas mengoperasikan dan mengendalikan bandara jengah.
Sebagai pasukan komando terlatih dan memiliki kemampuan khusus mengoperasikan bandara mereka memang ditugaskan mengamankan bandara setelah para operator sipil Bandara Komoro dievakuasi ke Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), sekaligus menjadi pasukan paling terakhir yang meninggalkan Dili.
Untuk mengantisipasi kondisi terburuk, para pasukan Paskhas yang berjumlah sekitar 80 orang dan masing-masing menyandang senjata di pundak itu diam-diam juga telah menyiapkan diri bertempur sampai titik darah terakhir melawan pasukan INTERFET.
Apalagi pasukan Gurkha yang merupakan pasukan elite Inggris dan memiliki sejumlah kemampuan komando seperti Paskhas juga mulai diturunkan dan dalam kondisi siap tempur.
Pasukan INTERFET, khususnya Australia, sebenarnya sedang bingung karena dalam briefing untuk pendaratan di Dili mereka mendapat informasi intelijen jika kota Dili dalam situasi perang dan dikendalikan oleh para milisi bersenjata.
Sejumlah milisi bersenjata memang ada di Tim-Tim tapi tidak sampai menguasai Bandara Komoro yang masih dikendalikan oleh pasukan Paskhas.
Tapi sewaktu mendarat di Bandara Komoro, pasukan INTERFET yang mendapatkan tugas utama menguasai bandara, bukannya langsung menghadapi pertempuran.
Mereka justru menghadapi pasukan Paskhas berseragam resmi sebagai tentara reguler, bersenjata lengkap, dan secara profesional mampu mengendalikan lalu-lintas Bandara Komoro.
Pasukan ITERFET sebenarnya juga mendapatkan tugas untuk melucuti semua personel yang bersenjata di Tim-Tim dan menembak mati bagi mereka yang melawan.
Namun, ketika menyadari jika pasukan Paskhas adalah pasukan resmi, mereka membatalkan diri untuk melucuti senjata mengingat pasukan Paskhas juga dalam posisi siap melaksanakan pertempuran.
Kemampuan pasukan Paskhas bisa mengendalikan operasi Bandara Komoro dengan profesional secara diam-diam justru membuat pasukan Australia merasa segan.
Di kalangan pasukan negara-negara Persemakmuran Inggris, mereka memang memiliki pasukan terlatih yang bisa mengoperasikan bandara atau pangkalan udara, yakni pasukan khusus SAS (Special Air Service).
Rupanya kualifikasi pasukan Paskhas yang setingkat SAS itulah yang membuat pasukan Australia makin segan.
Namun begitu, pasukan INTERFET tetap selalu dalam posisi siap tempur dan bersikap beringas terhadap setiap personel bersenjata.
Ketegangan kembali terjadi ketika Pangkoopsau II, Marsda TNI Ian Santosa, yang tiba dengan pesawat C-130 Hercules di Bandara Komoro untuk berkoordinasi dengan pejabat tertinggi pasukan INTERFET, Mayjen Peter Cosgrove, turun dari pesawat disertai sejumlah pasukan Paskhas bersenjata lengkap.
Rombongan Pangkoopsau tiba-tiba dihadang sejumlah pasukan INTERFET dalam posisi senjata ditodongkan dan siap tembak.
Melihat reaksi tak bersahabat itu, pasukan Paskhas pengawal Pangkoospau pun bereaksi dengan cara menodongkan senjata dan siap baku tembak dalam jarak dekat.
Granat tangan bahkan sudah diraih sehingga kalau baku tembak dalam jarak dekat itu terjadi, pasukan Paskhas yang jumlahnya lebih sedikit bisa menimbukan korban sebanyak mungkin.
Dalam situasi seperti itu, kehormatan untuk menjaga kewibawaan Pangkoopsau dan bangsa serta negara memang tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Meskipun dalam pertempuran yang tidak seimbang dan di tempat terbuka itu bisa dipastikan pasukan Paskhas akan gugur semua.
Apalagi jumlah pasukan INTERFET yang siap tempur di kawasan Bandara Komoro telah mencapai ribuan.
Namun, situasi kembali kondusif setelah petinggi militer INTERFET tiba untuk menyambut Pangkoopsau II.
Ketika Pangkoopsau II kembali terbang meninggalkan Dili, seluruh pasukan Paskhas yang tertinggal kembali bertugas untuk mengendalikan bandara sambil menunggu serah terima kekuasaan dan sekaligus menjadi pasukan yang meninggalkan diri paling terakhir.
Dalam penerbangannya menuju Kupang, Pangkoopsau II sadar, jika sampai terjadi chaos, pasukan Paskhas yang tersisa pasti akan mengalami situasi sangat sulit.
Namun, ia berjanji untuk mengerahkan semua kekuatan Koopsau II, demi menyelamatkan seluruhpasukan Paskhas.
Beruntung, situasi Dili tetap terkendali dan pasukan Paskhas pun bisa pulang ke dengan selamat.
Sebenarnya, jika harus menghadapi pertempuran sampai titik darah penghabisan di Bandara Komoro, pasukan Paskhas sebenarnya sudah siap.
Mereka bahkan telah menyiapkan prosedur tempur pelolosan diri sambil melawan dengan cara memilih 10 personel yang paling militan.
Ketika induk pasukan Paskhas sedang bertempur melawan pasukan INTERFET, kesepuluh personel itu akan meloloskan diri dengan cara berlari long march menempuh jarak ratusan km sambil bertempur menuju ke perbatasan di bawah ancaman musuh.
Teknik pelolosan diri sambil bertempur itu sudah dikuasai para prajurit Phaskas dan dikenal sebagai SERE (Survival Evation Resistance Escape).
Tujuannya adalah menyampaikan salam komando kepada Dankorpspaskhas dan seluruh jajaran serta petinggi TNI.
Namun demikian karena harus melewati rintangan tempur, diperkirakan kesepuluh pasukan komando berani mati itu tidak akan semuanya berhasil menembus perbatasan.(*)
Artikel ini telah tayang di Intisari Online dengan judul "Punya Prinsip Bertempur Sampai Mati, Pasukan Paskhas TNI AU pun Membuat Pasukan Khusus Australia Segan"