Find Us On Social Media :

Jadi Proyek Mercusuar Paling Prestise di Zaman Soekarno, Pembangunan Monas Nyatanya Simpan Ironi Tersendiri, Mulai dari Pemborosan hingga Ambisi Sang Plokamator yang Tak Direstui Semua Kalangan

Monas

GridHot.ID - Monas hanya satu dari deretan proyek mercusuar Soekarno.

Lainnya, Soekarno turut menggagas Gelora Senayan (kini Gelora Bung Karno), Tugu Selamat Datang, hingga Hotel Indonesia.

Proyek-proyek mercusuar yang dalam pandangan Soekarno, akan memoles pamor bangsa yang baru lepas dari cengkeram kolonialisme di mata internasional.

Baca Juga: Lari Pakai High Heels Saat Menyeberang Jalan, Wanita Ini Kehilangan Keseimbangan hingga Terjatuh, Tubuhnya Langsung Terseret Mobil yang Melintas

"Di Monas, ada lorong bawah tanah yang dirancang memberi kesan hampa pada pengunjung saat melewatinya, lalu tumbuh kekaguman, tumbuh ketakjuban saat keluar dari lorong itu dan dihadapkan dengan tugu yang begitu megah," ungkap penulis buku 50 Tahun Monas, Nunus Supardi, seperti dikutip dari Harian Kompas, 17 April 2019.

Emas dari pengusaha Aceh

Monas adalah salah satu proyek mercusuar paling prestise. Ia dibangun tepat di jantung Ibukota. Emas murni – lambang kemuliaan dan prestise – melapisi puncaknya.

Baca Juga: Blak-blakan Akui Belum Pernah Disakiti Pria, Nia Ramadhani Bongkar Kisah Asmaranya Sebelum Sukses Dinikahi Konglomerat Bakrie

Emas di puncak Monas berbobot lebih dari 30 kilogram. Sekitar 28 kilogram di antaranya, disebut hasil sumbangan dari seorang pengusaha bernama Teuku Markam asal Aceh.

"Äda beberapa catatan resmi, sumbangannya itu sekitar 28 kilogram dari sekitar 38 kilogram emas di puncak Monas. Jadi bisa dibilang yang tidak sumbangan hanya 10 kilogram,” ujar Ketua Komunitas Jelajah Budaya, Kartum Setiawan kepada Kompas.com, Rabu (4/12/2019).

Kartum menyebut, Markam merupakan satu dari segelintir pengusaha yang dekat dengan Soekarno. Pria kelahiran Panton Labu, Aceh Utara pada 1925 itu menyumbangkan emasnya kepada negara untuk dilebur.

Baca Juga: Istrinya Disamakan dengan Monster Gara-gara Selalu Pakai Topeng Selama 20 Tahun Lamanya, Pria Ini Ungkap Alasan Pilu di Baliknya

Pemerintah kemudian menggunakannya sebagai pelapis lidah api di pucuk Monas.

Harian Kompas pada 7 Juli 1996 menulis, lidah api di puncak obelisk Monas setinggi 132 meter itu merupakan pengejawantahan langsung dari gagasan Soekarno. Lidah api dianggap sebagai perwujudan kepribadian bangsa Indonesia: ia dinamis, bergerak, dan berkobar.

Dilapis emas, lidah di puncak Monas tampak seperti api menyala di atas obelisk dan cawan Monas yang bentuknya menampilkan metafora kesuburan: pasangan lingga dan yoni sekaligus pasangan alu dan lesung penumbuk padi.

Baca Juga: Pernah Bekerja Pada Nike Ardilla, Laki-laki Ini Menghilang Usai Sang Penyanyi Meninggal Dunia, Saat Ditemukan Sudah Jadi Seorang Pemulung

Simbol-simbol ini menyiratkan, Monas memang tak lain dari rangkuman asa Soekarno tentang "kebesaran bangsa".

Di luar itu, Monas berdiri dengan sokongan gotong-royong warga dari beragam latar belakang, selain juga anggaran pemerintah

Sumbangan wajib

Harian Kompas pada 17 April 2019 menulis, pemerintah memberlakukan sumbangan wajib dari pengusaha-pengusaha bioskop se-Tanah Air.

Baca Juga: Sempat Digeletakkan Begitu Saja Padahal Sudah Muntah Darah, Dylan Carr Sebut Pihak Rumah Sakit Takut Tidak Dibayar, Padahal Banyak Temannya yang Berani Menjamin Biaya Perawatan

Sepanjang November 1961-Januari 1962 tercatat 15 bioskop menyumbang Rp 49.193.200,01. Di dalamnya, misalnya, terdapat sumbangan dari Bioskop Parepare dan Bioskop Watampone, Sulawesi Selatan dan Bioskop Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Rp 884.528,85.

Rekapitulasi tahun 1972, total biaya pembangunan Monas mencapai angka Rp 358 juta.

Namun, tak semua satu suara dengan Soekarno, apalagi terhadap gagasannya soal "kebesaran bangsa”.

Baca Juga: Hilang Kendali Saat Pacu Motor di Jalan Sepi, Pemuda Ini Alami Kecelakaan, Motornya Ringsek Tersangkut di Tiang Listrik

Nyatanya, kebesaran bangsa yang diwujudkan lewat kemegahan Monas dan aneka proyek mercusuar tak punya tuah apa pun untuk menyelamatkan ekonomi Indonesia yang compang-camping di pengujung dekade 1950-an.

Utang pemerintah menggemuk, ekspor lesu, ujungnya dapat ditebak, inflasi meroket.

Era pengabisan Demokrasi Terpimpin di bawah Soekarno menderita hiperinflasi ratusan persen, berujung pada diberlakukannya pemangkasan tiga angka nol rupiah atau Sanering pada 1965.

Baca Juga: Berasal dari Putra Nabi Yakub, 10 Suku Bangsa Israel Ini Menghilang dari Sejarah, Kemanakah Mereka?

Proyek mercusuar Soekarno jadi bulan-bulanan kritik, meski saluran kritik ketika itu belum seterbuka saat ini. Teristimewa emas di puncak Monas pun tak luput dari sorotan.

Harian Kompas melaporkan pada 21 November 1966, Kesatuan Aksi Guru Indonesia (KAGI) Kotamadya Surabaya merilis pernyataan "usul" pada pemerintah untuk menurunkan emas yang melapisi lidah api Monas.

"Diturunkan dan diuangkan untuk dapat dipergunakan bagi hal-hal yang 'bersifat produktif'," tulis Kompas dalam artikel bertajuk "Produktifkan Emas Tugu Nasional".

Baca Juga: Dicap Penuh Manfaat, Cula Badak Dianggap Mujarab Sebagai Obat Hingga Peningkat Gairah Seksual, Benarkah Demikian?

Usul KAGI Surabaya berangkat dari pertimbangan bahwa Indonesia tengah tercekik hutang luar negeri yang parah dan ekonomi nasional perlu dibenahi.

"Politik mercusuar zaman Orde Lama mengakibatkan pemborosan," sebut KAGI Surabaya kala itu.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Ironi Emas di Monas: Sumbangan, Ambisi Soekarno, dan Pemborosan"

(*)