Find Us On Social Media :

Sejarah Besar Maskapai Garuda Indonesia yang Sudah 60 Tahun Mengudara, Bermodal dari Patungan Harta Rakyat Aceh hingga Sempat Jadi Raksasa Asia, Ternyata Juga Pernah Alami Kebobrokan di Era Soeharto

Sejarah Garuda Indonesia

Gridhot.ID - Belakangan ini PT Garuda Indonesia Tbk (Persero)  ramai disoroti dan jadi pembicaraan publik.

Semuanya berawal setelah terbongkarnya kasus temuan penyelundupan motor Harley Davidson dan sepeda lipat Brompton dalam pesawat baru Garuda Indonesia.

Siapa sangka jika oknum penyelundup tidak lain adalah Direktur Utama dari maskapai pelat merah itu sendiri, I Gusti Ngurah Askhara Danadiputra.

Baca Juga: Kondisi Kedua Kaki Anggota Brimob Ini Mengecil hingga Membuat Lumpuh, Seorang Bhayangkari Tunjukkan Potret Perjuangannya untuk Suami Tercinta dengan Menggendongnya Kemanapun Pergi: Kakiku untuk Aku dan Suamiku

Tak berselang lama, sosok yang akrab disapa Ari Askhara tersebut pun dicopot dari jabatannya oleh Menteri BUMN Erick Thohir.

Usia perusahaan ini nyaris sama dengan umur berdirinya republik ini. Sejarah Garuda tak bisa dilepaskan dari masa perang kemerdekaan, saat rakyat Aceh sukarela menyumbangkan hartanya untuk pembelian pesawat pertama Garuda, Dakota RI-001 Seulawah.

Dalam beberapa dekade sejak orde lama, Garuda Indonesia mengalami pasang surut bisnis seiring pergantian penguasa.

Baca Juga: Harganya Jauh Lebih Murah Tujuh Kali Lipat, Produsen Sepeda Lokal Manfaatkan Momen Kasus Penyelundupan Brompton oleh Ari Ashkara Buat Promosi: Gak Perlu Selundup-Selundupan, Harga Terjangkau, Kualitas Memukau!

Seperti diberitakan Harian Kompas, 26 Januari 1999, Garuda Indonesia sempat menikmati kejayaannya di tahun 1980-an.

Armada Garuda Indonesian Airways waktu itu mencapai 79 pesawat, menjadikan Garuda sebagai maskapai penerbangan terbesar di belahan bumi selatan dan kedua di Asia setelah Japan Air Lines.

Butuh waktu bertahun-tahun membangun reputasi tersebut. Tidak lain dibangun dengan kredibilitas dan pemupukan modal yang saat itu susah payah dibangun Direktur Utama Garuda Wiweko Soepono yang menjabat tahun 1968-1984.

Saat itu, Wiweko merombak habis-habisan Garuda. Tindakannya ini sangat tidak populer dan kecaman datang dari segala penjuru, namun ia tidak peduli dan terus melabrak setiap usaha yang menghalangi tugasnya menyehatkan perusahaan yang dipercayakan oleh pemerintah.

Baca Juga: Bawa Ransel Jalan di Tengah Keramaian Jakarta, Orang Gila Ini dengan Santainya Hamburkan Uang Rp 7,6 Juta, Bikin Heboh Warga yang Ramai-ramai Memungutinya

Pada awal kepemimpinannya, otoritas dipusatkan di tangannya tetapi kemudian Wiweko membatasi kegiatannya hanya pada masalah strategis.

Wiweko disebut-sebut jadi satu-satunya dirut yang sering berdialog dengan para penerbang dan teknisi, yang mau turun ke lapangan sampai ke bengkel pesawat hingga menerbangkan penumpangnya sendiri.

Gaya kepemimpinannya dikritik terlalu otoriter dan tidak transparan, namun di sisi lain transparansi itu dituangkan dalam buku laporan tahunan alias annual report.

Baca Juga: Jurus Jitu Erick Thohir Obrak-abrik Perusahaan BUMN, Pakai 6 Cara yang Buat Yunarto Wijaya Terkagum-kagum: Rini Soemarno Ngapain Aja Kemarin?

"Perusahaan model yang diperlukan, bahkan merupakan suatu tuntutan di negara yang sedang membangun seperti Indonesia ini, adalah perusahaan yang mampu untuk selalu meningkatkan daya pemupukan modal. Selain modal ini diperlukan untuk membangun, sekaligus juga untuk mengejar ketinggalan," kata Wiweko kala itu.

Ia melangkah lebih jauh lagi dan berhasil membawa Garuda memasuki pasar modal internasional, ditandai dengan pemberian pinjaman komersial oleh sebuah konsorsium bank yang dipimpin oleh The Chase Manhattan Bank untuk pembelian sebuah pesawat DC-9 pada tahun 1972.

Pinjaman tersebut sejak awal hingga akhir ditangani langsung oleh Garuda sendiri, tanpa jaminan pemerintah orde baru. Sebagai jaminan atas pinjaman tersebut adalah DC-9 yang dibelinya.

Langkah ini merupakan awal ekspansi Garuda hingga kemudian dengan bekal kredibilitas dan kiat pemupukan modal, membangun armada Garuda dengan nilai 1,2 miliar dollar AS.

Baca Juga: Bak Makanan Sehari-hari, KPK Tak Heran Ari Ashkara Harus Dipaksa Lepas Jabatan karena Kasus Penyelundupan, Saut Situmorang: Cerita Lama dan Sudah Jadi Rahasia Umum!

Dua unsur dasar itu diperoleh Wiweko dari pengalaman zaman perjuangan 1949 dengan Indonesian Airways di Burma (Myanmar).

Dari modal satu Dakota DC-3 "Seulawah" sumbangan rakyat Aceh, Indonesia mampu membeli pesawat-pesawat lain, bahkan menghadiahkan sebuah Dakota kepada Pemerintah Burma.

Untuk mendukung armadanya, dibangun pusat perawatan pesawat Garuda Maintenance Facility, pusat pelatihan Duri Kosambi, dan pusat catering, membangun hotel di Sanur dan hotel Nusa Dua Beach senilai 30 juta dollar AS di Bali.

Baca Juga: Erick Thohir Gencar Bersih-bersih Perusahaan Plat Merah, Sekjen PDIP Turut Beri Ultimatum Para Direktur Perusahaan BUMN: Makanya Jangan Hidup Mewah-mewahan!

Ia sekaligus menempatkan Garuda Indonesian Airways pada jajaran maskapai kelas dunia.

Dipecat Soeharto

Unsur kredibilitas dan pemupukan modal lenyap dari Garuda Indonesia sejak Wiweko yang berhasil mengisolasikan Garuda dari unsur KKN, malah dicopot oleh Presiden Soeharto pada November 1984.

Kepada penggantinya, ia meninggalkan surplus tunai sebesar 108 juta dollar AS plus dana taktis sekitar 4 juta dollar AS.

Selain dana tersebut menguap, sengaja atau tidak sengaja, ikut pula lenyap warisan Wiweko menerbitkan Annual Report yang memuat posisi keuangan Garuda, rencana pengembangan perusahaan, dan informasi lain yang dapat dipergunakan menganalisa kondisi perusahaan secara menyeluruh.

Baca Juga: Kelihatannya Seperti Puncak Gunung Es, Mantan Sekretaris BUMN Bongkar Rahasia Kekuatan Jabatan Ari Ashkara Selama Jabat Dirut Garuda: Biasa, Orang Titipan Kekuasaan

Pernah Nyaris Bangkrut

 Seperti diberitakan harian Kompas, 26 Januari 1999, badai krisis moneter dan tahun-tahun setelahnya jadi masa-masa paling pelik yang dialami perusahaan ini. Perusahaan bahkan hampir bangkrut lantaran beban utang yang terlampau berat.

Utang yang menggunung ini diperparah dengan kinerja keuangan yang buruk dan banyaknya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme ( KKN). Ibaratnya, untuk bernapas pun sulit.

Menteri Pendayagunaan BUMN saat itu, Tanri Abeng, sampai turun gunung mencurahkan banyak perhatian supaya perusahaan negara itu jadi prioritas pertama untuk diselamatkan.

Baca Juga: Pernah Perkarakan Vloger Rius Vernandes hingga Kerap Hukum Karyawan karena Masalah Sepele, Ketum IKAGI Blak-blakan Soal Bobroknya PT Garuda Indonesia di Era Ari Ashkara: Sikapnya Sewenang-wenang!

Tunjuk Robby Djohan jadi dirut

Langkah pertama yang dilakukannya ialah menunjuk Robby Djohan di pucuk pimpinan Garuda.

"Begitu saya duduk di sini, langsung saya tahu bahwa Garuda Indonesia harus diberi prioritas utama dari BUMN-BUMN lain. Kalau tidak, Garuda akan kolaps. Mungkin tiga atau empat bulan," tutur Tanri Abeng saat itu.

Hingga Agustus 1998, utang Garuda tercatat masih Rp 828 miliar ditambah 377 juta dollar AS kepada 50 bank pemerintah dan asing. Bila kurs dollar Rp 10.000, berarti total utangnya sekitar Rp 4,6 triliun.

Baca Juga: Kelihatannya Seperti Puncak Gunung Es, Mantan Sekretaris BUMN Bongkar Rahasia Kekuatan Jabatan Ari Ashkara Selama Jabat Dirut Garuda: Biasa, Orang Titipan Kekuasaan

Adapun piutangnya hanya Rp 2,7 triliun, berasal dari piutang agen/tiket, allowance para vendor, dan penggunaan jasa Garuda Maintenance Facility (GMF).

Keadaan jadi lebih gawat lagi mengingat sebagian besar pengeluaran dan investasi jangka panjang dibiayai dengan pinjaman jangka pendek. Dari utang tersebut, hanya Rp 346 miliar dan 53 juta dollar AS yang tercatat sebagai utang jangka panjang Garuda.

BUMN ini harus gali lubang tutup lubang mencari utang jangka panjang untuk menutupi utang jangka pendek. Namun, dalam kondisi ketika krisis kepercayaan dipertanyakan, sulit kiranya untuk memperoleh utang yang dicari tersebut.

Baca Juga: Powernya Untuk Bersih-bersih Perusahaan Plat Merah Makin Kuat, Erick Thohir Tak Akan Main-main Lagi Usai Keputusannya Pecat Ari Ashkara Direstui Presiden, Jokowi: Pesan Menteri BUMN Sudah Tegas Sekali!

Terkejut Garuda untung Rp 200 miliar

Kendati dalam kondisi yang sangat sakit, Robby Djohan secara mengejutkkan bisa memperbaiki kinerja Garuda setelah genap tiga bulan mengambil alih kepemimpinan.

Dalam laporan yang dirilis, Garuda Indonesia pada Agustus bisa meraup laba Rp 200 miliar.

Banyak yang tidak percaya mengingat selama bertahun-tahun BUMN ini terkenal selalu merugi.

"Untung! "Uangnya benar ada, bukan rekayasa," kata Robby ketika ditemui di ruang kerjanya menanggapi respons sumir publik saat ini.

Baca Juga: Persiapan Sewa Gedung hingga Sebar Undangan Nikah Sudah Matang, Pria Ini Bubarkan Total Rencana Pernikahannya, Sebarkan Video Syur Calon Mempelai Wanita karena Masalah Ini

Robby menjelaskan, perolehan laba tersebut sebenarnya bukan hal istimewa. Sebab, pada bulan peak season Agustus-September, umumnya Garuda Indonesia memang selalu untung dari penerbangan internasional.

Rata-rata pada bulan peak season itu, load factor Garuda mencapai 87 persen dibandingkan dengan 55-60 persen pada bulan-bulan lain.

Dari pendapatan jalur internasional kedua bulan tersebut, bila dikurskan dengan nilai dollar yang sedang meroket (waktu itu), laba Garuda memang jadi lumayan besar sampai Rp 200 miliar.

Baca Juga: Viral Pernyataan Kontroversial Pria Diduga Ari Ashkara Tolak Pengunduran Diri, Bikin Panas Erick Thohir hingga Ancam Akan Dipecat Secara Tak Hormat: Kalo Merasa Salah, Berjiwa Samurai Lah!

Namun, diingatkan pada bulan low season, load factor Garuda hanya berkisar 40-55 persen sehingga angka musim peak season bukanlah patokan. Diakuinya bahwa dirinya bukanlah pesulap yang dapat mengubah Garuda langsung meraup untung seketika.

"Namun, sekarang Garuda sudah enak, sudah gampang. Enggak ada lagi KKN keluarga Soeharto segala itu," lanjut Robby di tengah acara penyerahan enam pesawat baru Boeing 737-300/-500 pada 2 Januari 1999.

Lanjut dia, fungsi manajemen bisa berjalan dengan benar. Program golden handshakes (pensiun dini) pun berjalan dengan lancar sehingga perumahan tahap pertama 1.596 tenaga kerja, dengan total pesangon Rp 110 miliar berlangsung mulus.

Estafet dirut ke Abdul Gani

Setelah kondisi Garuda mulai perlahan membaik, posisi dirut beralih mulus kepada Abdul Gani, yang tentunya dengan persetujuan Tanri Abeng.

"Pak Gani sama saya sudah berkompetisi (di perbankan) selama 30 tahun. Jadi, saya tahu bahwa dia itu enggak orang enteng!" kata Robby Djohan mengenai penggantinya.

Saat itu, kata Tanri Abeng, kredibilitas Garuda sudah mulai pulih sehingga Bank Exim AS dan pabrik Boeing serta Pemerintah Indonesia sendiri mendukung pengadaan Boeing 737 senilai 368 juta dollar AS.

Baca Juga: Suguhkan Aksi Heroik dengan Terjang Tingginya Ombak Tanpa Pedulikan Dirinya, Peselancar Filipina dengan Sigap Selamatkan Atlet Indonesia yang dalam Bahaya, Rela Lepas Peluang Raih Medali Emas

Pengadaannya merupakan refleksi dari kredibilitas direksi dan dewan komisaris Garuda yang baru.

Memuji direksi dan dewan komisaris Garuda, Tanri Abeng mengatakan, pengadaannya tidak mungkin kalau tanpa kredibilitas yang dibangun oleh Garuda Indonesia.

Kredibilitas memang kata kuncinya seperti pernah diucapkan Wiweko Soepono, mantan direktur utama yang pernah pegang kendali Garuda selama 16 tahun (1968-1984).(*)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Sejarah Panjang Garuda Indonesia yang Pernah Rajai Langit Asia" dan "Cerita Garuda yang Pernah Nyaris Bangkrut".