Gridhot.ID - Rupiah ternyata pernah berjaya di masa pasca perang.
Dalam masa-masa tersebut, mereka yang berhasil mendapatkan pekerjaan stabil pasti merasakan betapa nikmatnya mendapat penghasilan tetap.
Salah satu orang yang menikmati masa tersebut adalah sosok yang satu ini.
Berikut ini kisah Slamet Soeseno yang menceritakan pengalamannya saat ia hidup dalam masa Ketika Rupiah Masih “Enak”, seperti kisahnya dalam Majalah Intisari edisi Januari 1999.
Saya masih di kelas 3 MLS (Middelbare Landbouw School) Bogor di Negara Pasundan, Repoeblik Indonesia Serikat, ketika pada 1950 negara itu bersama Repoeblik Indonesia dari Yogya berfusi menjadi Repoeblik Indonesia.
Dengan begitu, uang merah Belanda di negara Pasundan beredar bersama-sama dengan uang putih ORI (Oeang Repoeblik Indonesia).
Ketika Menteri Keuangan Meester Sjafruddin Prawiranegara memerintahkan agar semua uang merah Rp 5,- ke atas digunting menjadi dua bagian, banyak orang pingsan, setengah mati, atau getem-getem, tetapi tak bisa berbuat apa-apa.
Saya sendiri tidak apa-apa karena jarang mempunyai uang besar. Uang saku dari orangtua hanya Rp 4,- sebulan. Selalu receh-receh seperti pecahan 5 sen, ketip (10 sen), atau setalen (25 sen) dari logam yang bentuknya bulat, sesuku (50 sen), atau kadang-kadang Rp 1,-. Kedua recehan terakhir itu berupa uang kertas persegi panjang.
Pada 1951 saya lulus sekolah dan bekerja di Laboratorium Perikanan Darat, Bogor, di bawah Kementerian Pertanian, dengan gaji Rp 250,- sebulan. Dipotong Rp 50,- untuk bayar kos di rumah keluarga menengah, sisa gaji saya masih banyak. Dipakai bersenang-senang tiap akhir pekan, beli pakaian setiap bulan, dan jajan sehari-hari, tetap tersisa banyak.
Tiap Sabtu malam yang disebut "Malem Minggu", saya berkunjung ke dan menginap di rumah paman di Jakarta, dengan naik oplet Bogor - Jakarta lewat Cibinong. Tarifnya Rp 1,5,-.
Di "Malem Minggu" itu saya selalu menonton bioskop di Metropole bersama teman istimewa. Karcisnya Rp 1,- (untuk kelas 3, baris depan),Rp 2,- (untuk kelas 2, tengah), Rp 3,- (kelas 1, belakang), dan Rp 3,5 (untuk balkon di atas kepala penonton kelas 1).
Dibandingkan dengan harga beras yang 16 sen seliter, karcis bioskop itu mahal, Tetapi dibandingkan dengan gaji pegawai negeri menengah (bukan sarjana) yang ratusan rupiah, karcis itu murah sekali.
Hari Minggu saya isi dengan pesiar bersama teman istimewa itu ke Pantai Zandvoort di bilangan Priok, atau ke Cilincing di sebelah timumya. Anggaran bersenang-senang tiap akhir pekan itu cuma Rp 20,-, termasuk makan bersama ami intime itu di restoran elite Capitol, di Pintu Air. Kalau dikalikan empat hanya Rp 80,- sebulan. Gaji masih tersisa banyak!
Semula saya tidak mengerti mengapa uang rupiah hasil guntingan Sjafruddin begitu "enak rasanya". Baru setahun kemudian saya paham. Pertama, jumlah uang yang dicetak hanya sedikit. Penduduk yang mengedarkan (memakai) uang itu pun masih sedikit. Penduduk Jakarta hanya 1,5 juta orang waktu itu.
Kedua, kebutuhan hidup masih sedikit. Pesawat TV, tape recorder, dan radio kaset tidak ada, sehingga tidak mendorong orang untuk membelinya secara kreditan.
Hiburan saya sehari-hari hanya radio roti yang harganya cuma Rp 75,-. Radio ini radio juga, kecil, bentuknya seperti roti tawar yang besar.
Ketiga, distribusi barang lancar. Sampai ke desa-desa di luar batas ibukota kabupaten pun ada toko pedagang P & D (provisien en dranken) yang kemudian menjadi M & M (makanan dan minuman). Sekarang orang menyebutnya Waserba (warung serba ada) meski isinya banyak yang tiba-tiba tidak ada.
Pengusaha toko P & D itu kebanyakan orang Cina, atau orang Indonesia keturunan. Cara mereka berdagang jujur sekali, dengan harga eceran yang kompetitif. Tidak ada yang menaikkan harga EZ yang ditetapkan pemerintah untuk melindungi rakyat konsumen.
EZ kependekan dari Departement van Economische Zaken warisan Belanda. Walau kementeriannya sudah berubah menjadi Kemakmuran, harga itu masih disebut harga EZ.
Tetapi menjelang Pemilu I tahun 1955, inflasi mulai karena gejolak politik berkepanjangan sampai memacetkan produksi dan distribusi barang.
Perdagangan kacau, sehingga gaji rupiah saya sebagai pegawai negeri tidak enak lagi.
Artikel ini telah tayang di Intisari Online dengan judul Ketika Rupiah Masih ‘Enak’, Gaji Pegawai Negeri Masih Bersisa Banyak meski Sudah untuk Bersenang-senang.
(*)