GridHot.ID–Intisari pernah berkunjung ke kantor beberapa pentolan partai politik yang ada di Indonesia.
Salah satunya adalah Dipa Nusantara Aidit atau biasa disebut Bung Aidit.
Intisari mengunjungi Bung Aidit pada pertengahan 1964, setahun sebelum terjadinya peristiwa 30 September 1965.
Penasaran bagaimana pertemuan Intisari dan Bung Aidit dikantor CC PKI di Jalan Raya Kramat, Jakarta Pusat.
Berikut sekelumit kisahnya.
Setelah mengisi buku tamu, kami (Intisari) diantarkan ke kamar tunggu. Tak lama kemudian Bung Aidit keluar mempersilakan kami masuk ruang kerjanya.
Di dinding ruang kerjanya, terpampang nyatapotret Bung Aidit dengan Bung Karno, serta Bung Aidit dengan kawan Mao Tse Tung.
Tak banyak kami ajukan pertanyaan, karena berdasarkan daftar pertanyaan yang kami kirimkan lebih dulu, sudah disusunnya garis besar riwayat hidupnya yang dibacanya sambil memberikan beberapa keterangan.
Dalam daftar riwayat hidupnya, kala Bung Aidit duduk di sekolah dasar HIS Blitung, pak guru St. Indra bertanya kepadanya 'dalam mata pelajaran ilmu bumi. Di Digul ada apa?'.
Bung Aidit menjawab ada banyak orang pandai. Pak guru agak terkejut danBung Aidit diberinya angka baik.
Rupanya, jawaban itu didapatkan Bung Aidit dari ayahnya.
Ayah Bung Aidit bernama Abdullah Aidit, seorang buruh perkebunan tamatan sekolah HIS.
Abdullah suka membaca surat kabar. Kepada anak-anaknya, Abdullah bercerita tentang pemimpin-pemimpin masa itu seperti Soekarno, Hatta, pemuka-pemuka lain yang banyak dibuang ke Digul. Menurut Abdullah, orang-orang itu adalah orang pandai-pandai.
Sementara itu, mengenai tempat tanggal lahir, Bung Aidit ternyata lahir di Medanpada tanggal 30 Juni 1923.
Namun demikian, Bung Aidit menamatkan sekolah dasarnya di Blitung.
Saat di Blitung, Bung Aidit bersama teman-temannya kerap masuk ke tambang sampai 200 m di bawah tanah. Kontras antara kehidupan buruh dan majikan berkesan padanya.
Begitu pula nasib yang dialami ayahnya. Sekalipun pendidikannya lebih tinggi, ia tetap buruh, sedangkan kepalanya, orang Belanda yang lulus sekolah dasar saja tidak, lagi tolol dalam pekerjaan.
Oleh anaknya, Abdullah dilukiskan sebagai seorang Muslim liberal. Liberal dalam arti membiarkan anak-anaknya memilih ideologi, lapangan hidup, dan kawan hidup menurut kehendak mereka sendiri-sendiri.
Sekitar tahun 1937, Bung Aidit pergi di Jakarta, masuk sekolah dagang sambil mengikuti kursus bahasa-bahasa asing.Namun karena biaya macet, sekolahnya tidak sampai tamat.
Bung Aidit suka sekali ke museum membaca buku-buku.Ganyangannya buku-buku sosiologi dari penulis-penulis bukan Marxis, Adler, Vierkandt, Max Weber, Le Bon, Rolandhols, dan Kautzky.Sebab, pandangan mereka tak memuaskan hatinya. Berbedahalnya saat dia membaca buku Manifesto Komunis dan buku-buku Marx dan Lenin lainnya.
Diceritakan, Bung Aidit memiliki mata yang tajam dan roman muka yang menunjukkan intelegensia tinggi.Hal itu mungkin cermin dari dinamis jiwanya.
DinamikBung Aidit di Jakarta disalurkan pada kehidupan organisasi. Dia memasuki Persatuan Timur Muda. Anggotanya dari aneka macam golongan termasuk keturunan Arab dan Tionghoa.
"Sejak dulu saya menentang rasialisme," kata Bung Aidiit.
Bung Aidit punya banyak kenalan sepertiWikana pemimpin Gerindo dan Amir Sjarifudin SH.
"Besar pengaruhnya terhadap saya. Ia seorang intelektual yang militan, yang mengintegrasikan diri dengan massa rakyat. Pejuang gigih melawan fasisme. Berwibawa dan berwata," ujarnya.
Bung Aidit resmi menjadi anggota partai komunis pada zaman Jepang. Perantaranya, Widarta. Terjadi pada Juli 1943, umurnya waktu itu 20 tahun.
Mengapa Bung Aidit mau menjadi anggota PKI? Karena PKI menentang fasisme Jepang secara konsekuen.
Bung Aidit pun turut memimpin Gerakan Indonesia Merdeka, suatu gerakan di bawah tanah bersama Chairul Saleh, Sidik Kertapati, dan Lukman.
Gedung Menteg 31 memainkan sejarah penting dalam kehidupan Bung Aidit.
Sebab, di sana beridri institut pendidikan politik Angkatan Baru Indonesia dalam zaman Jepang. Direkturnya Wikana.
Guru-gurunya merupakan tokoh-tokoh pergerakan seperti Bung Karno, Hatta, Syahrir, Moh. Yamin, Soebarjo, Iwa Kusumasumantri. Sementara pelajaran yang diberikan, yakni pelajaran Hukum, Filsafat, Sosiologi, Sejarah Politik, Ekonomi.
"Di situlah saya mendapat pendidikan politik yang lebih sistematis," sambungnya.
Ditambahkannya pula sejak saat itu, Bung Aidit mengenal perbedaan Soekarno dan Hatta.
Bung Karno seorang intelektual yang mengintegrasikan diri dengan massa rakyat yang percaya akan massa aksi. Dengan indoktrinasi dan agitasi menerapkan ide-ide ilmiah kepada massa.
Melopat ke tangga 15 Agustus 1945 itu, Bung Aidit mendengar berita Jepang sudah kalahdari seorang wanita Indo.
Sore harinya di gedung Menteng 31, berkumpul kira-kira 13 pemuda dipimpin oleh Chairul Saleh. Serentak semuanya sepakat, 'Sekarang juga merdeka!'.
Untuk itu dibutuhkan pimpinan, kalau tidak akan terjadi kekacauan. Juga harus dijaga jangan sampai pemimpin-pemimpin yang patriotik diserahkan sebagai inventaris Jepang kepada Sekutu.
Empat pemuda diutus rapat menghadap Bung Karno. Mereka adalah Suroto Kunto, Aidit, Subadio Sastrosatomo, dan Wikana, yang bertindak sebagai juru bicara.
Mula-mula terjadi perbedaan pahamhingga akhirnya pada 17 Agustus 1945, pukul 10 pagi, di gedung Pegangsaan Timur 17, proklamasi kemerdekaan digaungkan.
Tiga hari tiga malam Aidit dan kawan-kawan tidak memejamkan mata. Dan proklamasi barulah permulaan. Ia bandingkan dengan proklamasi RRC, Vietnam.
Pada kedua negara itu, mereka menduduki beberapa daerah dengan kekuatan senjata, baru proklamasi. Sementara di Indonesia, proklamasi dulu baru dipertahankan terhadap musuh.
Setelah rapat raksasa Ikada tanggal 9 September 1945, Bung Aidit ditawan Jepang bersama dengan Hanafi, Adam Malik.
Kepala penjara Bukitduri waktu itu Pak Thayeb, ayah Prof. Dr. Syaril Thayeb, Rektor Universitas Indonesia.
Dan dengan bantuan pak Thayeb, mereka lolos ketika penjaga membuka pintu untuk mengantarakan makanan dan obat.
Lalu, dalam pertempuran di Jatinegara, Bung Aidit ditawan pasukan Inggris, diserahkan kepada Belanda dan selama 7 bulan ditahan di pulau Onrust. Baru lepas setelah perjanjian Linggarjati.
Bung Aiditterus ke Solo, tempat CC PKI pada waktu itu. Dalam Kongres IV PKI 1945, Bung Aidit mewakili PKI Solo. Dalam kongres itu, Bung Aidit terpilih menjadi anggota Central Komite PKI.
Menurut buku Arnold C. Brackman Indonesian Communism, sekitar tahun 1949, Aidit keluar negeri.
"I left Indonesia because I was eager to learn about the world. (Saya meninggakan Indonesia karena saya ingin sekali mempelajari dunia," katanya kepada Brackman menurut buku itu.
Baca Juga: Terlalu Bernafsu Bangun Ladang Panel Surya, China Akan Alami Kejadian Mengerikan Ini, Apa Itu?
Setelah terjadinya 'peristiwa Madiun' 1948, PKI kehilangan poros pimpinan. Pada 1950, Bung Aidit mulai menyusun konsep anggaran dasar baru.
Dan pada sidang CC tahun berikutnya, Bung Aidit terpilih menjadi Sekretaris. Lalu tahun 1951, bersama Njoto, ia hendak menghadiri kongres partai komunis Nederland.
Waktu itu, kalau mau ke Belanda tak diperlukan visum. Sampai di lapangan terbang Schiphol keduanya tak dibolehkan turun. Disuruh pulang kembali.
"Kami disuruh bayar lagi. Tentu saja kami tolak. Kan mereka yang memulangkan kami," ujar Bung Aidit.
Pada Kongres IV PKI 1954, peremajaan pimpinan PKI berhasil. Sekjen D.N. Aidit (31 tahun), kedua wakilnya MH Lukman (34 tahun), dan Njoto (29 tahun).
Sekali waktu Sekjen Aidit pergi ke Manado. Orang bertanya kepadanya, 'Bung kapan datang jenderalnya?'.
Orang kira sekjen berarti sekretarisnya jenderal. Nama itu ternyata tak sesuai dengan pengertian masyarakat kita.
Pada 1959, diubah menjadi Ketua Rekan dan anak buah menyebutnya 'Kawan ketua Aidit'.Salam mereka bukan membungkuk (ini feodal bukan?) tetapi angkat tangan sambil tersenyum.
Dalam kedudukan sebagai Ketua CC, Bung Aidit sering kali melawat ke luar negeri. Menghadiri kongres-kongres di Moskow dan negara-negara komunis lainnya.
Katanya ini perlu baginya. Karena merupakan bahan perbandingan yang bermanfaat dalam 'mengindonesiakan' partai komunis.
Istri Bung Aidit adalah seorang dokter spesialis atom untuk kesehatan tetapi juga seorang aktivis Gerwani. Namanya, nyonya dokter Tanti Aidit. Merekamenikah pada tahun 1948, di Solo.
"Sebenarnya anak saya 4, tetapi karena yang bungsu kembar jadi 5," kata Bung Aidit sambil menarik-narik kedua pipa celananya sampai-sampai ke atas lutut.
Tatkala nyonya Tanti mengadakan spesialisasi di Moskow, anak-anaknya turut serta. Dua anak perempuan yang tertua sekolah di sana sampai sekarang, 1 SM, 1 SD. Tiga yang di rumah semuanya lelaki.
Bung Aidit rupanya juga sangat menjaga kesehatannya.
"Kalau pemimpin sakit, bukan dia saja menanggung akibatnya, tetapi organisasi masyarakat," ujarnya.
Selama wawancara dua jam itu, Aidit banyak minum, rokok, dan secangkir kopi pahit.
Dulu Bung Aidit beranggapan untuk politik cukup mengetahui sosiologi. Itu sebabnya ia membaca banyak buku sosiologi di museum. Itu tak benar, harus ditambah dengan ekonomi dan politik.
Orang berpolitik harus belajar banyak. Mengambil keputusan-keputusan politik hanya berdasarkan surat kabar atau majalah tidaklah cukup.
Karena itu kader-kader PKI sendiri diwajibkan mengikuti pelajaran. Untuk itu dibuka Akademi-akademi seperti Akademi Ali Archam, Dr. Rivai, Dr. Ratulangi, dll.
Baca Juga: Terkuak Percakapan Ashanty dengan Asisten Rumah Tangga, Singgung Soal Transfer Uang, Ada Apa?
Kalau kader-kader PKI militan dan semangat itu karena mereka telah mendapat pendidikan, latihan, dan contoh dari pimpinan.
Seorang kader yang mengeluh tentang beban sandang pangan dewasa ini, misalnya, harus insaf karena banyak banyak yang lebih sulit keadaannya.
Padahal kekuatan mereka justru dalam kesetiakawanan dengan massa rakyat. Demikian keterangan Bung Aidit.
Itulah sekadar perkenalan pertama dengan Bung Aidit. Belum mendalam tentu, tiada lengkap pula. Maklum hasil percakapan dua jam saja.
(Artikel ini pernah dimuat di MajalahIntisariedisi Maret 1964)
Artikel ini pernah tayang di Intisari Online dengan judul "DN Aidit ketika Diwawancarai Intisari Maret 1964: Banyak Minum Air Putih, Rokok, dan Secangkir Kopi Pahit"
(*)