Culik Anggota Tim Ekspedisi Lorentz, Ayah Egianus Kogoya Punya Sepak Terjang Mengerikan, Prabowo Subianto Sampai Kewalahan Saat Lakukan Penyelamatan

Senin, 10 Februari 2020 | 09:25
TWIPU.COM/@SJAFRIESJAMS | Intisari online | Facebook TPNPB

Komandan Jenderal Kopassus saat itu (Mayjen TNI Prabowo Subianto) diputuskan memimpin misi penyelamatan.

GridHot.ID- Pembantaian belasan pekerja Trans Papua di Kabupaten Nduga, Papua, pada 2 Desember 2018 lalu telah melambungkan nama Egianus Kogoya.

Pembantaian tersebut diduga dilakukan oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) yang ada di bawah komando Egianus Kogoya.

Lantas siapakah Egianus Kogoya itu?

Baca Juga: Polisi Ganteng yang Pernah Viral Saat Tangani Kasus Bom Sarinah Kembali Terekspos Media, Turut Bekuk Pria yang Cekik dan Tantang Petugas Saat Ditilang, Ternyata Pangkatnya Tak Main-main

Egianus Kogoya adalah putra Daniel Yudas Kogoya, tokoh pro-kemerdekaan Papua.

Kepala Kepolisian RI kala itu, Jenderal Tito Karnavian, seperti dilaporkan Majalah TEMPO edisi 10-16 Desember 2018, mengatakan, Daniel Yudas Kogoya ikut ambil bagian dalam penculikan para peneliti Tim Eskpedisi Lorentz pada 1996 lalu.

Penculikan itu sendiri dipimpin oleh tokoh Organisasi Papua Merdeka (OPM), Kelly Kawlik, yang tewas pada 2009 lalu.

Baca Juga: Tampang Garangnya Berubah Memelas Saat Diciduk Petugas, Pengemudi Agya yang Cekik Polisi Terancam 10 Tahun Bui, Kepergok Bawa Sajam dan Sengat Listrik dalam Mobilnya

Terkait penyanderaan Tim Lorentz dan bagaimana mereka diselamatkan, Intisari pernah mengulasnya secara khusus.

Tim Lorentz dibentuk di Jakarta, berdasarkan kerjasama antara Biological Science Club (BSsC) dari Indonesia dan Emmanuel College, Cambridge University.

Lembaga BSsC merupakan organisasi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) independen yang didirikan pada 7 September 1969 oleh sekelompok mahasiswa Ilmu Biologi Universitas Nasional (UNAS), Jakarta.

Baca Juga: Lakukan Penembakan Massal di Pusat Perbelanjaan dan Kuil Budha Bangkok, Pria Berpangkat Sersan Mayor Ini Sama Sekali Tak Gentar Meski Dikepung Pasukan Khusus Pemerintah: Ini Waktunya Untuk Bersenang - Senang

Tujuan ekspedisi ini adalah untuk melakukan penelitian terhadap beragam flora dan fauna di Desa Mapenduma, Kecamatan Tiom, Kabupaten Jawawijaya, Irian Jaya yang sekarang berubah nama menjadi Papua.

Selain meneliti flora-fauna, mereka juga akan mengaji keterkaitan objek penelitian dengan kehidupan dan pola pikir tradisional suku Nudga di sana.

Hasil penelitian tersebut nantinya diharapkan bisa menjadi masukan bagi usaha-usaha pelestarian dan pengembangan Taman Nasional Lorentz.

Baca Juga: Perintahkan Tembak di Tempat Harun Masiku, IPW Minta Kapolri Idham Aziz Selamatkan Eks Caleg PDIP Tersebut

Hasil penelitian tersebut juga diharapkan menjadi langkah awal bagi peran serta masyarakat yang terletak di bagian timur laut taman nasional yang pada 1999 ditetapkan sebagai situs warisan dunia oleh UNESCO .

Diinformasikan, penelitian dilakukan antara bulan November 1995 dan Januari 1996.

Anggota tim dari Indonesia terdiri dari Navy Panekanan (28), Matheis Y. Lasamalu (30), Jualita Tanasale (30), Adinda Arimbis Saraswati (25).

Baca Juga: Jauh-jauh Datang ke Amerika, KSAD Andika Perkasa Ternyata Dapat Medali Sakral, Bukan Penghargaan Sembarangan Hanya Ada 2 di Dunia

Sementara anggota tim dari Inggris terdiri dari Daniel Start (22), William "Bill" Oates (23), Annette van der Kolk (22), dan Anna Mclvor (21).

Mereka juga dibantu oleh antropolog Markus Warip (36) dari Universitas Cendrawasih dan Abraham Wanggai (36) dari Balai Konservasi Sumber Daya ALam (BKSDA) Kantor Wilayah Kehutanan Irian Jaya.

Tim Lorentz

Bersama mereka ada juga antropolog Jacobus Wandika, putra daerah suku Nduga, yang merupakan murid Markus Warip,lulusan Universitas Cendrawasih.

Baca Juga: Tiba-tiba Sakit Perut Sampai Tak Sadarkan Diri, Wanita Ini Kaget Terbangun dengan Kondisi Sudah Miliki Bayi, Ngaku Hamil dan Lahiran Gaib dalam Waktu 2 Jam

Sebelum keberangkatan, tim sebenarnya tahu jika di sana terdapat kelompok Gerakan Pengacau Keamanan – Organisasi Papua Merdeka (GPK – OPM) yang mengaku kecewa dengan Pemerintah Pusat Republik Indonesia.

Nah, saat tanggal 8 Januari menjelang hari-hari kepulangan ke Jakarta, mereka berkumpul di rumah kayu milik Pendeta Adriaan van der Bijl asal Belanda yang sudah menetap di sana sejak tahun 1963.

Hari itu sang pemilik rumah sedang pergi, berkeliling ke daerah Mbua dan Alama untuk menyusun kegiatan misionaris bersama istrinya.

Baca Juga: Pertama Kali Buka Instagram Presiden Jokowi, Perancang Kebaya Kondang Ini Langsung Kecewa: Saya Hampir Tidak Bisa Berpikir dengan Apa yang Saya Lihat

Tiba-tiba, datanglah sekelompok suku setempat berjumlah puluhan orang berpakaian perang, lengkap dengan tombak.

Tak hanya itu, salah satu dari mereka, diduga sebagai komandan, membawa senapan laras panjang M-16 yang diacung-acungkan dan sesekali ditembakkan ke udara.

Mereka lalu mendobrak mendobrak pintu yang dikunci Tim Lorentz, memaksa masuk, menyerang, menyandera tim, dan akhirnya membawa seluruh tim peneliti ke hutan pedalaman.

Baca Juga: Lupakan Masker dan Sarung Tangan, Seorang Penasehat Medis Ungkap Cara Paling Ampuh Tangkal Penyebaran Virus Corona, Apa Itu?

Sejak itu, Tim Lorentz hilang jejaknya.

Berita penyanderaan Tim Lorentz mulai menghiasi media massa dan menjadi berita besar hingga ke Jakarta bahkan dunia.

Di Jakarta, pemerintah segera meminta ABRI (TNI) melakukan penyelamatan. Komandan Jenderal Kopassus saat itu (Mayjen TNI Prabowo Subianto) diputuskan memimpin misi penyelamatan.

Baca Juga: Berani Sebut Mampu Panggil Malaikat Sampai, Ningsih Tinampi Akhirnya Digrebek Dinas Kesehatan, Dulu Sempat Ngambek Kini Hanya Diam Patuh ke Petugas

Beberapa satuan TNI lainnya juga dilibatkan dalam misi penyelamatan ini.

Sekitar lima bulan berlalu, penyanderaan Tim Lorentz oleh GPK-OPM yang akhirnya diketahui dipimpin oleh panglima bernama Kelly Kwalik, belum juga membuahkan hasil.

Penyandera terus bersembunyi dan berpindah-pindah tempat sambil mengirimkan beberapa pesan tuntutan mereka kepada Pemerintah RI.

Baca Juga: Tidak Pernah Sekolah Tapi Bisa Buka Jasa Edit Video, Seorang Vlogger di Jawa Tengah Tega Bunuh Anak Kecil dan Buang Mayatnya ke Perkebunan, Diselidiki Polisi, Diduga Ada Kekerasan Seksual

Dalam buku Sandera, 130 Hari Terperangkap di Mapnduma (1997) disebutkan, pasukan yang dibawa Kelly Kwalik mula-mula berjumlah 50 orang.

Namun kemudian ditambah lagi hingga menjadi 100 orang.

Tanggal 7 Mei 1996, satu kompi pasukan batalyon Linud 330/Kostrad di bawah pimpinan Kapten Inf Agus Rochim ikut dikirim ke Timika untuk menambah kekuatan.

Baca Juga: Tidak Pernah Sekolah Tapi Bisa Buka Jasa Edit Video, Seorang Vlogger di Jawa Tengah Tega Bunuh Anak Kecil dan Buang Mayatnya ke Perkebunan, Diselidiki Polisi, Diduga Ada Kekerasan Seksual

Mereka persiapan dan koordinasi sebelum akhirnya mulai bergerak ke Daerah Persiapan (DP) di Kenyam.

Kompi dibagi dalam beberapa tim. Secara berangsur masing-masing tim dikirim ke daerah operasi.

Tim Pendawa I beranggotakan 25 orang mendapat giliran masuk tanggal 13 Mei 1996.

Baca Juga: Kena Jampi-jampi, Wanita Ini Jadi Korban Pelet Ajian Jaran Goyang, Selalu Terbayang Wajah Supir Angkot yang Kerap Mengantarnya Hingga Bergoyang Layaknya Kuda-kudaan

Tim ini juga dipimpin oleh Kapten Agus Rochim. Mereka berjalan menyusuri sungai Kilmik.

Namun akibat medan yang tidak tidak bisa lagi ditembus, akhirnya tim bermalam dan membuat bivak di pinggir sungai.

Keesokan harinya tim bergerak kembali ke posisi awal lalu berbelok ke arah kanan di cabang sungai Kilmik dengan harapan menemukan jejak para sandera di tempat baru.

Baca Juga: Menyusup Jauh ke Sarang Musuh, Tim Pemburu Kopassus Berhasil Taklukan Xanana Gusmao Secepat Kilat, Pemimpin Timor Timur Sampai Sembunyi di Lubang Bawah Tanah Tanpa Pakaian, Wajahnya Pucat Ketakutan

Tim Pendawa bersenjata standar senapan serbu FNC, Steyr, Minimi tiga unit (tiap satu regu), serta GLM. Persenjataan yang sebenarnya lebih dari cukup untuk melawan GPK-OPM.

Tanggal 14, mereka bermalam lagi dan membiat bivak baru. Malamnya briefing dilakukan oleh Komandan Kompi.

Diputuskan mulai tanggal 15, tim dibagi dua, separuh di bawah pimpinan Agus Rochim, separuh lagi di bawah pimpinan Sertu Pariki, tinggal di Basis Operasi Depan (BOD).

Baca Juga: Jadi Orang Nomor Satu di TNI AD, Andika Perkasa Ternyata Tak Dikenali Keluarga Bawahannya, KSAD Hanya Dianggap Orang Biasa Saat Bertamu ke Rumah Serda Yulianus Bouway di Papua

Pukul 13.00 siang, tim mendapat informasi dari jajaran Kopassus bahwa di situ terdapat banyak jejak.

Kompi Yonif Linud 330 Kostrad sebenarnya melakukan penyusuran di ring terluar, termasuk yang dilakukan oleh Tim Pendawa I.

Mereka menyusuri sungai mengingat lebatnya hutan yang masih perawan teramat sulit untuk ditembus.

Baca Juga: Tertawa-tawa, Megawati Soekarnoputri Singgung Soal Kenakalan Prabowo Subianto Semasa Jadi Taruna Akademi Militer: Kalau Mau Nempeleng, Kasih Saja Pipinya

Pukul 14.00, tim bergerak kembali ke pos di BOD. Pada saat itulah, mulai terdengar samar-samar suara orang dalam jarak tidak terlalu jauh.

Tim Pendawa segera merespon dengan melakuan penyisiran di sekitar lokasi yang dicurigai. Satu setengah jam kemudian tepatnya pukul 15.30 ternyata ada seseorang berteriak, "Army!"

Rupanya, itulah teriakan Adinda Saraswati, salah satu anggota tim peneliti.

Baca Juga: Gara-gara Rumahnya Dekat Karantina Virus Corona, Calon Pengantin di Natuna Ini Harus Telan Kekecewaan, Nyaris Gagal Nikah Hingga Tunda Resepsi Lantaran Banyak Warga Tak Mau Menghadiri

Sembilan orang peneliti turun dari tebing di pinggir sungai Kilmik.

Sersan Duha segera menyambut, dia orang pertama yang menyelamatkan Adinda, untuk kemudian diestafetkan ke prajurit lain untuk dievakuasi ke BOD.

Peristiwa itu terjadi tanggal 15 Mei 1996, tepat pukul 15.30 (atau 3.30 sore hari).

Baca Juga: Bersanding dengan China dan Rusia, Kekuatan Militer Israel Jadi Salah Satu yang Terbaik di Bumi, Siapa Sangka, Pesawat Ini Unsur Utamanya

Sesuai tertulis dalam buku di atas, pada hari itu sekitar pukul 14.00 para sandera terus berjalan.

Setelah berjalan berputar-putar di antara kerapatan dan kelebatan pohon, tim peneliti mendapat perintah dari kelompok GPK-OPM untuk turun menuju sungai.

Namun tak berapa lama terdengar deru helikopter. Tim peneliti menduga ABRI sudah mulai mendekat.

Baca Juga: Makan Siang Sukun Bakar dan Sarapan Mangga Muda, Berbagai Kekayaan Alam Ini Malah Jadi Bukti Kemiskinan Rakyat Timor Timur, Sering Sakit Sampai Tak Ada Anak yang Menangis di Klinik

Tapi bagi GPK-OPM, kehadiran ABRI yang mereka sebut Sanbo itu, membuat kepanikan dan tak jarang mereka menjadi beringas.

Itu pula yang terjadi saat itu. Salah satu personel GPK-OPM bermata satu mendadak kalap dan mengayunkan kapak ke punggung Navy Panekanan.

Navy roboh diiringi teriakan histeris Adinda Saraswati. Para peneliti segera berlari menuruni lereng.

Tak lama setelah itu kelompok GPK-OPM yang lain dengan senjata kapak, parang, dan panah menyerang Matheis dengan senjata-senjata tajam itu.

Matheis hanya mampu berteriak, "toloong.. toloongg", Navy dan Matheis akhirnya gugur di tangan keganasan para GPK OPM. (Suar.grid.id/Moh. Habib Asyhad)

Artikel ini telah tayang di Suar.id dengan judul "Egianus Kogoya Pimpin KKB Bantai Pekerja Proyek Trans Papua, Dulu Ayahnya Ikut OPM Sandera Tim Lorentz '95"

(*)

Tag

Editor : Siti Nur Qasanah

Sumber Suar.ID