Gridhot.ID - Australia 'bergabung' dengan negara lainnya yang telah menolak klaim China atas Laut China Selatan.
Australia menyampaikannya dalam sebuah pernyataan pada Kamis (23/7/2020), dengan mengatakan bahwa, 'tidak ada dasar hukum' untuk beberapa klaim China atas Laut China Selatan yang disengketakan, termasuk pulau buatan di sana.
Deklarasi itu keluar setelah Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo menyatakan upaya Beijing menguasai wilayah dan sumber daya di Laut China Selatan adalah ilegal, dan secara eksplisit mendukung klaim teritorial negara-negara Asia Tenggara terhadap China.
Laut China Selatan sendiri memiliki potensi ekonomi yang sangat luar biasa.
Laut ini merupakan lalu lintas perdagangan internasional yang bernilai tak kurang dari 5,3 triliun dolar AS setiap tahunnya.
Selain itu, menurut data Badan Informasi Energi AS, di kawasan ini tersimpan cadangan minyak bumi sebesar 11 miliar barel serta gas alam hingga 190 triliun kaki kubik.
Tak hanya itu, 90 persen lalu lintas pengangkutan minyak bumi dari Timur Tengah menuju Asia pada 2035 akan melintasi perairan tersebut.
Tak heran jika China 'ngotot' untuk meguasai wilayah tersebut. Saat Australia turut kecam China, ini mengingatkan publik pada peristiwa serupa yang melibatkan Australia dan Timor Leste.
Terlebih mengenai 'cara busuk' yang dilakukan Australia untuk mendapatkan wilayah dengan sumber alam melimpah, yaitu Area Kaya Hidrokarbon di Timor Leste.
Tentu banyak orang masih ingat dengan kehebohan yang terjadi antara Australia dan Timor Leste beberapa tahun silam.
Ketika terjadi kasus dugaan mata-mata atau spionase yang dilakukan Australia terhadap Timor Leste selama negosiasi perjanjian Pengaturan Batas Maritim Tertentu di Laut Timor (CMATS).
Negosiasi tersebut untuk mengatur pendapatan dari tambang gas 'Greater Sunrise' di Laut Timor.
Diyakini Australia telah merekam diskusi pribadi para pejabat Timor-Leste tentang negosiasi batas laut dengan Australia.
Melansir The Guardian, pada Juni 2018, jaksa agung, Christian Porter, menyetujui dakwaan terhadap Bernard Collaery, mantan pengacara Gusmão, dan kliennya, pensiunan agen intelejen Australua (ASIS) yang hanya dikenal sebagai Saksi K, karena 'bersekongkol untuk mengungkapkan informasi rahasia'.
Dakwaan tersebut muncul setelah melalui perjalanan panjang sejak negosiasi Australia dan Timor Leste terkait batas maritim kedua negara.
Pada awal 1960-an, Australia mengeluarkan izin eksplorasi minyak bumi di Laut Timor ke Woodside, sekarang produsen gas alam terbesar Australia, di daerah yang diperebutkan oleh Indonesia dan Timor Portugis.
Australia menolak permintaan Portugal untuk melakukan perundingan dan sebagai gantinya menegosiasikan perjanjian dengan Indonesia pada tahun 1972.
Sementara itu, Woodside menemukan ladang minyak dan gas 'Greater Sunrise' pada tahun 1974.
Saat Indonesia menginvasi Timor Portugis, Australia mendapatkan 'Greater Sunrise' sepenuhnya di perairan Australia, Tidak seperti Portugal, yang berpendapat untuk batas garis tengah.
Tahun 2002 Republik Demokratik Timor Leste muncul setelah merdeka dari Indonesia.
Kemudian pemerintah Howard, Australia, mempertimbangkan kemungkinan Timor-Leste memperoleh kedaulatan atas garis tengah di Laut Timor.
Perundingan batas maritim berlangsung.
Tujuan Australia dalam negosiasi tak lain tak bukan adalah untuk mempertahankan hak atas area yang kaya hidrokarbon di Laut Timor lebih dekat ke Timor daripada ke Australia.
Perjanjian tentang Pengaturan Maritim Tertentu di Laut Timor (CMATS) pun akhirnya ditandatangani pada Januari 2006 oleh menteri luar negeri Alexander Downer dan Jose Ramos-Horta.
CMATS disambut secara terbuka sebagai kemenangan oleh kedua negara, namun diyakini bahwa sebenarnya merupakan kemenangan besar bagi Australia, mengingat hukum internasional.
Operasi penyadapan Dili dilaporkan dimulai pada Oktober 2004, putaran kedua negosiasi batas antara Australia dan Timor-Leste.
Namun baru kemudian pada 2012, Perdana Menteri Timor Leste, Xanana Gusmao menyadari penyadapan dan memulai proses rahasia di Pengadilan Arbitrase Permanen di Den Haag.
Dengan itu, Timor Leste berusaha agar CMATS dinyatakan batal karena Australia telah bertindak dengan itikad buruk dengan memata-matai selama negosiasi. Saksi K menjadi saksi utama Timor-Leste.
Sementara Australia menampik tuduhan tersebut.
Pada tanggal 3 Mei 2013, menteri luar negeri Australia, Bob Carr, dan jaksa agung Mark Dreyfus mengeluarkan pernyataan yang menasihati bahwa Timor-Leste telah memulai arbitrasi.
“Timor-Leste berpendapat bahwa Australia tidak melakukan negosiasi CMATS pada tahun 2004 dengan itikad baik oleh terlibat dalam spionase.
"(padahal) Australia selalu bersikap profesional dalam negosiasi diplomatik dan melakukan negosiasi perjanjian CMATS dengan itikad baik," katana.
Terkait batas maritim antara Australia dan Timor Leste, hasil akhirnya adalah batas Laut Timor yang pada dasarnya mengikuti garis median dan memberi Timor-Leste bagian yang lebih besar dari 'Greater Sunrise'.
Sebuah perjanjian ditandatangani di Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York pada bulan Maret 2018.
Hasil tersebut merupakan hasil yang ingin dihindari oleh pemerintah Howard dalam perundingan lebih dari satu dekade sebelumnya.
Terungkapnya operasi mata-mata Dili pada dasarnya memalukan Australia.
Sehingga kini ketika Australia turut menentang klaim China atas Laut China Selatan, memunculkan perhatian pada kritik munafik Australia.(*)
Artikel ini telah tayang di Intisari dengan judul Sok Suci Tolak Klaim Tiongkok di Laut China Selatan, Australia Lupa Cara Busuknya Kadali Timor Leste Demi Dapat Area Kaya Hidrokarbon yang Lebih Luas.