Gridhot.ID-Ketegangan Laut China Selatan adalah bentuk sempurna dari konflik sederhana bercampur dengan konflik rumit.
Sederhana, karena jika diingat-ingat, konflik terjadi karena benturan kepentingan dari negara-negara yang terlibat.
Sebagai sumber daya alam yang kaya raya dan menjanjikan, seharusnya negara-negara yang ada di sekitar perairan itu bisa saling berbagi satu sama lain.
Namun karena keserakahan, konflik menjadi rumit dan melibatkan beberapa pihak yang punya kepentingan lebih besar dari sekedar menguasai sumber daya alam.
Pihak yang dimaksud adalah Amerika Serikat, yang punya agenda membangun Indo-Pasifik yang bebas dari China.
Hal itulah yang menyeret konflik AS dan China juga menjadi agenda teratas di Laut China Selatan.
Tidak bisa mundur dan damai lagi, kedua militer masing-masing negara mulai siapkan berbagai manuver untuk menjegal satu sama lain.
Serta, mulai mengajak pihak dengan kepentingan mirip untuk bergabung menjadi persekutuan.
Seperti yang dibeberkan oleh laporan Kementerian Pertahanan AS ini.
Berjudul "Military and Security Developments Involving The People's Republic of China 2020", laporan tersebut beberkan bocoran manuver-manuver China.
Laporan tersebut dibuat untuk menyiasati kemampuan militer China (PLA) saat ini dan untuk ke depannya.
Tak lupa, untuk membeberkan berbagai kemungkinan strategi keamanan China untuk 20 tahun ke depan.
Laporan juga dibuat untuk menyiasati kondisi tegang antara China-AS dan kerja sama keamanan dalam periode yang disebutkan dalam laporan tersebut, termasuk melalui kontrak militer China-AS serta strategi AS menghadapi hal tersebut di masa depan.
Laporan itu dibuat untuk diajukan ke Kongres AS, dan selama 20 tahun terakhir ini Kementerian Pertahanan AS telah sediakan laporan tahunan perkembangan militer dan keamanan China.
2020 ini menandai tahun penting bagi PLA karena telah bekerja keras mencapai pencapaian melebihi tujuan Partai Komunis China yaitu mengubah China menjadi masyarakat moderat tahun 2021 mendatang.
Oleh sebab itu, laporan tahun 2020 ini sangat penting bagi AS sebagai kesempatan menilai kelanjutan dan perubahan yang ada di Partai Komunis China dan militer China sendiri selama 20 tahun.
Salah satu poin penting dalam laporan ini adalah akses pangkalan militer PLA di luar negeri.
Mengutip dokumen tersebut, Partai Komunis China mencari cara untuk mendapatkan logistik senjata dan perlengkapan yang diperlukan di luar negeri.
Serta, mereka ingin membangun pangkalan militer untuk memudahkan operasi PLA serta mempertahankan kekuatan militer dalam jarak lebih jauh.
Saat ini, PLA sudah punya pangkalan militer di Djibouti, serta kemungkinan merencanakan menambah fasilitas pangkalan militer mereka.
Beberapa negara yang dibidik China untuk pangkalan militer mereka antara lain adalah Myanmar, Thailand, Singapura, Pakistan, Sri Lanka, Uni Emirat Arab, Kenya, Republik Seychelles, Tanzania, Angola, Tajikistan, dan tentu saja Indonesia.
Pangkalan militer ini akan digunakan untuk sediakan bantuan untuk operasi PBB dan mengamankan komunikasi China.
Membangun pangkalan militer di negara lain bukanlah perkara sepele, karena negara tuan rumah dapat melakukan aksi penting dalam mengatur operasi militer PLA, dan China sadar akan hal tersebut sehingga mereka berusaha bermanis-manis dan menyediakan bantuan untuk negara yang mereka bidik agar pangkalan militer mereka senantiasa terawat di negara tersebut.
Pembangunan pangkalan militer di negara lain juga bisa sebabkan konflik militer, sinyal diplomasi, perubahan politik, kerjasama internasional serta latihan militer gabungan.
Bagi Partai Komunis China, jaringan logistik militer dapat sediakan pengawasan intelijen untuk memata-matai militer AS.
Menariknya, ada satu negara yang secara publik menolak tawaran pangkalan militer China dibangun di negara mereka, tapi penelusuran Kementerian Pertahanan AS temukan hal yang berbeda.
Negara tersebut adalah Kamboja, yang menolak tawaran AS untuk membayar biaya renovasi pangkalan militer Ream Naval Base.
Padahal, Ream Naval Base sesungguhnya juga merupakan pangkalan militer yang dibangun AS. Namun anehnya Kamboja menolak penawaran renovasi tersebut.
Kemungkinan besar Kamboja menolak karena menerima tawaran China, padahal sebelumnya mereka menampik hal tersebut.
Jika memang benar demikian, maka strategi pangkalan militer di luar negeri China telah melebar termasuk mampu membangun pangkalan militer sendiri.
Perlu diingat bahwa pangkalan militer luar negeri China pertama kali, Djibouti yang dibangun Agustus 2017 lalu hanya berbentuk kendaraan lapis baja dan dilindungi oleh persenjataan saja, karena memang di Djibouti dilaporkan kurang bangunan yang layak untuk jadi pangkalan militer.(*)
Artikel ini telah tayang di Sosok.ID dengan judul "Termasuk Indonesia, Ini Dia Daftar Negara yang Dibidik China Jadi Lokasi Pangkalan Militer, Ada yang Sampai Khianati AS"