Video kesaksian kedua tentara itu, secara terbuka mengaku mengambil bagian dalam apa yang menurut pejabat PBB sebagai kampanye genosida terhadap Muslim Rohingya di negara itu.
Pada hari Senin (7/9/2020), dua pria, yang melarikan diri dari Myanmar bulan lalu, dibawa ke Den Haag, di mana Pengadilan Kriminal Internasional telah membuka kasus yang memeriksa apakah para pemimpin Tatmadaw (tentara Myanmar) melakukan kejahatan skala besar terhadap Rohingya.
Kekejaman yang dijelaskan oleh kedua tentara itu menggemakan bukti pelanggaran hak asasi manusia yang serius terhadap etnis Rohingya.
Namun, yang membedakan kesaksian mereka adalah mereka bersakasi sebagai ‘pelaku’, bukan korban.
“Ini adalah momen monumental bagi Rohingya dan rakyat Myanmar dalam perjuangan berkelanjutan mereka untuk keadilan,” kata Matthew Smith, kepala eksekutif di Fortify Rights, pengawas hak asasi manusia.
"Orang-orang ini bisa jadi pelaku pertama dari Myanmar yang diadili di pengadilan kejahatan internasional dan juga menjadi saksi orang dalam pertama di dalam tahanan pengadilan," ujar Smith.
The New York Times tidak dapat secara independen mengkonfirmasi bahwa, kedua tentara tersebut melakukan kejahatan yang mereka akui.
Namun detail dalam cerita mereka sesuai dengan deskripsi yang diberikan oleh puluhan saksi dan pengamat, termasuk pengungsi Rohingya, warga Rakhine, tentara Tatmadaw, dan politisi lokal.
Dan beberapa penduduk desa secara independen mengkonfirmasi keberadaan kuburan massal yang diberikan tentara dalam kesaksian mereka.
Pemerintah Myanmar berulang kali membantah bahwa kejahatan genosida semacam itu ada di seluruh wilayah.