Gridhot.ID - UU Cipta Kerja masih menimbulkan perdebatan.
Tak hanya oelh masyarakat dan para pekerja, bahkan tim intern yang mengesahkan juga masih berdebat hingga kini.
Salah satunya adalah saat Badan Legislasi (Baleg) DPR tidak terima disebut sebagai tukang stempel pemerintah terkait Undang-undang Cipta Kerja.
Anggota Baleg DPR Taufik Basari mengatakan, pembahasan RUU Cipta Kerja berlangsung berjam-jam, dengan berdebat sesama anggota dan pemerintah sebagai pengusul RUU tersebut.
"Kalau kami menjadi tukang stempel, ya berarti draf RUU yang awal itu yang disahkan."
"Tapi sekarang draf Undang-undang Cipta Kerja sudah jauh berbeda dari draf awal," papar Taufik saat acara webinar Paradigma Konstitusi dalam Omnibus Law Cipta Kerja, Jakarta, Rabu (28/10/2020).
Tobas, sapaan Taufik Basari, menjelaskan anggota Baleg kerap mengkritisi draf yang diusulkan pemerintah.
Bahkan, ada usulan yang ditolak dan akhirnya ditarik atau dicabut dari naskah Undang-undang Cipta Kerja.
"Ada juga yang kembali ke undang-undang sebelumnya."
"Jadi proses pembahasan itu berlangsung, karena kami mengkritisi naskah itu," papar politikus Partai NasDem itu.
Tobas pun menegaskan, pembahasan RUU Cipta Kerja seluruhnya berlangsung secara terbuka.
Karena, dapat disaksikan masyarakat melalui saluran YouTube TV Parlemen dan akun Facebook Baleg DPR.
"Saya bisa pastikan tidak ada satupun rapat pembahasan materi tertutup."
"Bagaimana membuktikannya? Bisa dilihat di Youtube TV Parlemen dan Facebook Baleg," ucap Tobas.
Sebelumnya, Menteri Sekretaris Negara Pratikno mengatakan, mengukur kesamaan dokumen menggunakan indikator jumlah halaman, dapat mengakibatkann miss leading.
Karena, menurut Pratikno, naskah yang sama ditulis dalam format kertas dan huruf yang berbeda, akan menghasilkan jumlah halaman yang berbeda pula.
Sementara, setiap naskah UU yang akan ditandatangani Presiden, dilakukan dalam format kertas Presiden dengan ukuran yang baku.
Pernyataan Pratikno tersebut terkait pernyataan pihal Muhammadiyah yang menyebut telah menerima naskah UU Cipta Kerja setebal 1.187 halaman.
Sementara, naskah UU Cipta Kerja yang diserahkan DPR ke pemerintah pada 15 Oktober lalu setebal 812 halaman.
"Tentang perbedaan jumlah halaman, kami sampaikan bahwa mengukur kesamaan dokumen dengan menggunakan indikator jumlah halaman, itu bisa misleading."
"Sebab, naskah yang sama, yang diformat pada ukuran kertas yang berbeda, dengan margin yang berbeda dan font yang berbeda, akan menghasilkan jumlah halaman yang berbeda," katanya kepada wartawan, Kamis, (22/10/2020).
Menurutnya, sebelum disampaikan kepada Presiden, setiap naskah RUU dilakukan formatting dan pengecekan teknis terlebih dahulu oleh Kementerian Sekretariat Negara, agar siap diundangkan.
"Setiap item perbaikan teknis yang dilakukan, seperti typo dan lain-lain, semuanya dilakukan atas persetujuan pihak DPR, yang dibuktikan dengan paraf Ketua Baleg," jelasnya.
Pratikno memastikan substansi RUU Cipta Kerja dalam format yang disiapkan Kemensetneg untuk ditandatangani Presiden, sama dengan naskah RUU Cipta Kerja yang disampaikan DPR kepada Presiden.
"Substansi RUU Cipta Kerja dalam format yang disiapkan Kemensetneg (1187 halaman) sama dengan naskah RUU Cipta Kerja yang disampaikan oleh DPR kepada Presiden," tuturnya.
Naskah Undang-undang Cipta Kerja kembali mengalami perubahan jumlah halaman, setelah diserahkan DPR ke pemerintah pada Rabu (14/10/2020) lalu.
Kemarin beredar naskah UU Cipta Kerja setebal 1.187 halaman, padahal naskah final undang-undang tersebut setebal 812 halaman. Artinya, ada penambahan 375 halaman.
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Willy Aditya membenarkan ada perubahan halaman naskah UU Cipta Kerja usai dipegang oleh pemerintah.
"Itu perubahan format kertas disesuaikan dengan lembar negara, aku sudah cek ke Kementerian Sekretaris Negara."
"Jadi format kertas disesuaikan dengan lembar negara," terang Willy saat dihubungi di Jakarta, Kamis (22/10/2020).
Meski ada perubahan halaman, kata Willy, tidak ada perubahan substansi dari UU Cipta Kerja yang telah disahkan DPR bersama pemerintah saat rapat paripurna, hingga akhirnya diserahkan ke pemerintah
"Tidak ada substansi yang berubah," ucap politikus Partai NasDem itu.
Mengutip Kompas.com, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Muhammadiyah telah menerima naskah Undang-undang Cipta Kerja terbaru.
Wakil Ketua Umum MUI Muhyidin Junaidi mengatakan, naskah UU Cipta Kerja yang diterima tersebut setebal 1.187 halaman.
"Iya, MUI dan Muhammadiyah sama-sama terima yang tebalnya 1.187 halaman."
"Soft copy dan hard copy dari Mensesneg (Menteri Sekretaris Negara)," kata Muhyidin kepada Kompas.com, Kamis (22/10/2020).
Setidaknya ada lima versi naskah yang beredar di publik.
Pertama RUU setebal halaman 1.028 pada Maret 2020. Kedua versi 905 halaman pada 5 Oktober 2020. Ketiga versi 1.052 halaman pada 9 Oktober 2020.
Keempat, 1.035 halaman pada 12 Oktober, dan kelima versi 812 halaman pada pada 12 Oktober 2020.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD menyebut ada enam versi Undang-undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja di meja kerjanya.
Dari enam versi tersebut, empat di antaranya merupakan naskah yang dibuat pemerintah sebelum dikirim ke DPR.
Mahfud MD mengungkapkan hal tersebut ketika ditanya Karni Ilyas terkait kontroversi di masyarakat tentang banyaknya versi UU Omnibus Law Cipta Kerja.
"Itu di meja saya itu sudah ada naskah enam versi."
"Saya mulai dari yang di eksekutif dulu."
"Di ekesekutif sendiri itu saya punya empat di meja saya," ungkap Mahfud MD dalam tayangan bertajuk Karni Ilyas Club - 'Sekarang Anda Bohong, Besok Dibongkar Orang', yang tayang perdana di kanal YouTube Karni Ilyas Club, Minggu (18/10/2020).
Mahfud MD menjelaskan hal itu, di antaranya karena pemerintah coba mengakomodir respons masyarakat terkait isi dari UU Omnibus Law Cipta Kerja.
"Karena memang semula itu undang-undangnya kan, ya sembilan ratus sekian lah."
"970 atau berapa."
"Sesudah beredar di masyarakat diprotes. Berubah, menjadi menebal. Diprotes lagi, berubah lagi."
"Sehingga yang versi pemerintah pun itu sudah beberapa kali, karena diubah sebelum masuk ke DPR," tutur Mahfud MD.
Setelah pemerintah mengirimkannya ke DPR, kata Mahfud MD, naskah UU Omnibus Law Cipta Kerja tersebut juga sempat mengalami perubahan.
"Nah, sesudah masuk ke DPR kan juga ada berubah, pasal 170 diubah, pasal ini diubah."
"Terus berubah terus tapi panjang," papar Mahfud MD.
Namun demikian, ia mempertanyakan kebenaran kabar yang menyebut UU tersebut berubah isinya setelah DPR melakukan pengesahan di rapat paripurna.
Sejauh ini yang ia dengar adalah naskah tersebut hanya mengalami perubahan dari sisi teknis, misalnya jenis huruf atau spasi.
"Nah, memang yang agak serius bagi saya, yang harus dijawab oleh DPR itu, sesudah palu diketok, itu apa benar sudah berubah, atau hanya soal teknis?"
"Yang saya dengar itu tidak berubah. Jadi semula dicetak dengan font tertentu yang lebih besar, dengan spasi yang lebih besar menjadi 1.035."
"Tapi sesudah fontnya dikecilkan menjadi 812 halaman."
"Benar apa tidak, nanti kan bisa dicocokkan saja. Kan mestinya ada dokumen untuk mencocokkan itu," papar Mahfud MD.
Mahfud MD menambahkan, jika isi naskah tersebut mengalami perubahan setelah disahkan oleh DPR dalam rapat paripurna, maka naskah UU tersebut menjadi cacat formal.
Jika naskah UU tersebut mengalami cacat formal, maka Mahkamah Konstitusi (MK) bisa membatalkan UU tersebut.
Sebagai mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD pun menceritakan pengalamannya ketika pernah membatalkan seluruh Undang-undang Badan Hukum Pendidikan.
Waktu itu, kata Mahfud MD, UU tersebut hanya diuji tiga pasal.
Namun, karena formalitasnya salah dan bertentangan dengan konstitusi, maka UU tersebut dibatalkan seluruhnya.
"Nah, kalau terpaksa juga itu misalnya benar terjadi itu, kan berarti cacat formal."
"Kalau cacat formal, itu Mahkamah Konstitusi bisa membatalkan," ucapnya.
Oleh sebab itu, lanjutnya, penting bagi DPR untuk menjelaskan kepada masyarakat tentang apa yang terjadi pada naskah UU Omnibus Law Cipta Kerja tersebut setelah disahkan.
"Oleh sebab itu, ini DPR yang harus menjelaskan itu."
"DPR yang harus menjelaskan sesudah ketok palu itu apa yang terjadi."
"Itu kan sudah di luar pemerintah," cetus Mahfud MD.
Naskah final Undang-undang Cipta Kerja setebal 812 halaman dikirimkan pihak Sekretariat Jenderal DPR ke pemerintah, Rabu (14/10/2020) siang.
Sekjen DPR Indra Iskandar yang mengantar langsung naskah UU Cipta Kerja kepada Sekretariat Negara, untuk diserahkan ke Presiden Joko Widodo.
"Siang ini jadi saya meluncur ke Setneg untuk menyampaikan itu (UU Cipta Kerja)," kata Indra di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (14/10/2020).
Indra mengatakan, pihaknya nanti akan diterima langsung Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno.
Dia memastikan, tidak ada perubahan substansi dari draf UU Ciptaker yang akan dikirimkan ke Jokowi dengan yang disahkan di Rapat Paripurna DPR pada Senin (5/10/2020) lalu.
Menurut Indra, jumlah halaman naskah UU Cipta Kerja menjadi 812 halaman terjadi karena perubahan format kertas yang digunakan.
"Kemarin sudah dijelaskan, itu hanya teknis dari kertas ukuran biasa ke legal, kalau dulu kita menyebut folio," ucapnya.
Artikel ini telah tayang di Wartakotalive dengan judul Berdebat Berjam-jam, Baleg DPR Tak Sudi Disebut Tukang Stempel Pemerintah Soal UU Cipta Kerja.
(*)