Menurutnya, profesi ini berawal dari adanya kesempatan serta pemahaman akan pentingnya media sosial, minat politik dan jaringan yang dimiliki. Namun dia lebih suka menyebut ini bukan buzzer tapi sebagai upaya push-elektabilitas.
Karena tim (buzzer) ini hanya memberikan upgrade atau branding semacam great-wording untuk calon yang diangkat elektabilitasnya. Hanya mempublih menyebarluaskan hal-hal positif. Di masa pandemi saat ini, orang makin suka media sosial maupun berita online. Ditambah lagi adanya video syur menambah kinerja buzzer lebih mudah.
Sebab dengan adanya kedua hal tersebut seseorang menjadi lebih sering berselancar di media sosial.
"Harusnya nggak berpengaruh. Karena kami beda jalur meski sejalan. Dalam arti tidak mengganggu tapi masih tetap jalan apabila video syur lagi trend. Malah semakin intens orang akses sosmed," imbuhnya.
Bekerja di bidang ini menurut Alex sangat mudah. Hanya butuh perangkat komunikasi, komputer atau gadget, dan kemampuan IT sederhana. Selain itu tak kalah pentingnya adalah jaringan informan untuk mengisi konten.
Berkaitan dengan tarif, menurutnya tergantung kesepakatan.
Karena harga akan dipengaruhi oleh area sebaran informasi, tenaga tim produksi dan jumlah akun serta target harian yang mereka ambil.
Untuk sekaliber kepala daerah tingkat provinsi misalnya, Alex mendapat bayaran Rp 150 juta perbulan. Itu dibagi kepada tim, beranggotakan sekitar 20 orang.
Artikel ini telah tayang di Tribunjateng.com dengan judul Tarif Buzzer Pemula di Semarang Ikut Terkerek Viralnya Video Syur.
(*)