Laporan Wartawan GridHot, Desy Kurniasari
GridHot.ID - Pemerintah bakal memungut pajak untuk penghasilan atas penjualan pulsa, kartu perdana, token, dan vocer.
Hal ini disampaikan oleh Menteri Keuangam, Sri Mulyani Indrawati.
Aturan ini bakal berlaku mulai 1 Februari 2021 besok.
Melansir Kompas.com, aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6/PMK.03/2021.
"Bahwa kegiatan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan ( PPh) atas pulsa, kartu perdana, token, dan voucer perlu mendapat kepastian hukum," jelas beleid tersebut seperti dikutip Kompas.com, Jumat (29/1/2021).
Mengutip sumber yang sama, Bendahara Negara itu pun menegaskan, aturan tersebut diberikan untuk memberikan kepastian hukum dan penyederhanaan atas pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh).
Pengenaan pajak berupa PPN dan PPh atas penyerahan pulsa, kartu perdana, token listrik, serta voucer sebelumnya sudah berlaku sehingga tidak ada jenis dan obyek pajak baru.
"Ketentuan tersebut TIDAK BERPENGARUH TERHADAP HARGA PULSA /KARTU PERDANA, TOKEN LISTRIK DAN VOUCER," tegas Sri Mulyani, dikutip dari akun Instagram-nya, @smindrawati, Sabtu (30/1/2021).
Menurut Menkeu, selama ini PPN dan PPh atas pulsa/kartu perdana, token listrik, dan voucer sudah berjalan.
"Jadi tidak tidak ada pungutan pajak baru untuk pulsa token listrik dan voucer," tegasnya.
Menanggapi peraturan menteri tersebut, ekonom Rizal Ramli buka suara.
Dilansir dari Kompas TV, pakar Ekonomi Rizal Ramli mengkritik pemerintah terkait kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) untuk penjualan pulsa, token listrik, kartu perdana, dan voucer.
Rizal menyebut, pengenaan pajak ini cara tak kreatif mengatasi utang Indonesia.
Pemerintah Indonesia pada akhir 2020 memiliki utang sebesar Rp6074,56 triliun. APBN juga menyebut, beban bunga utang mencapai Rp3737,26 untuk tahun 2021 ini.
Baca Juga: Anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional Sisa Ratusan Triliun, Bagaimana Nasibnya?
Pemerintah pun menargetkan akan berutang lagi sebesar Rp1.654,92 triliun.
"Ngutang ugal-ugalan dengan bunga kemahalan, neraca primer negatif selama 6 tahun, pajakin rakyat kecil yang pakai token listrik dan pulsa," kata Rizal Ramli Sabtu (30/1/2021).
Rizal terutama mengkritik Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang menerbitkan aturan pajak pulsa. Rizal Ramli juga mengatakan Sri Mulyani membuat kebijakan ini berdasarkan saran dari orang tak kompeten.
"Mbok kreatif dikit kek. Udah ndak ngerti, dengerin medioker," kata Rizal Ramli.
Sebelumnya, Sri Mulyani mengesahkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 6 /PMK.03/2021 yang mengatur pajak pulsa. Langkah ini diklaim akan menjamin kepastian hukum.
Baca Juga: Masih Sisa Rp 192,49 Triliun, Anggaran PEN Tak Terserap Seluruhnya, Menkeu Sri Mulyani Buka Suara
"Kegiatan pemungutan PPN dan PPh atas pulsa, kartu perdana, token dan voucer perlu mendapat kepastian hukum," demikian yang tertulis di PMK.
PMK tersebut ditandatangani Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan diundangkan pada 22 Januari 2021.
Pemerintah juga menyebut, aturan baru ini bisa menyederhanakan administrasi dan mekanisme pemungutan PPN penjualan pulsa, baik dalam bentuk voucer fisik maupun elektronik.
Pajak pulsa dan kartu perdana ini akan ditagihkan pada pengusaha penyedia jasa telekomunikasi dan distributornya. Namun, pengusaha dan distributor dapat menaruh beban pajak pada konsumen.
Penyerahan barang kena pajak (BKP) berupa token listrik oleh PLN juga akan dikenai PPN.
Pemungut PPh melakukan pemungutan sebesar 0,5 persen dari nilai yang ditagih oleh penyelenggara distribusi tingkat kedua kepada distribusi tingkat selanjutnya atau harga jual atas penjualan kepada pelanggan secara langsung.
Apabila wajib pajak tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) maka besarnya tarif pemungutan PPh pasal 22 lebih tinggi 100 persen dari tarif 0,5 persen. (*)