Gridhot.ID- Protes anti-kudeta Myanmar masih terus berlanjut hingga kini, bahkan ketegangan makin meningkat.
Militer Myanmar makin keras menindak massa dengan tanpa seganlangsung menargetkan tembakan ke pengunjuk rasa.
Akibatnya, aksi protes tersebut telahmenelan korban jiwa.
Melansir dari Kontan.co.id, banyaknegara memberikan respons keras terhadap konflik kudeta Myanmar, seperti Eropa dan AS yang memberikan sanksi personal ke jenderal militer Myanmar, yang dinilai sebagai dalang kudeta dan konflik berdarah.
Aliansi itu juga mendesak PBB untuk turun tangan dalam kasus politik yang telah menyakiti hak hidup demokrasi masyarakat Myanmar.
Di lain sisi, ada pula respons negara asing yang berujung pada protes massa anti-kudeta militer. Seperti yang terjadi terhadap China dan belum lama ini menimpa Indonesia.
Berikut Kompas.com merangkum aksi massa anti-kudeta Myanmar yang marah terhadap respons Indonesia, dengan merangkum dari sejumlah media asing:
1. Reuters (Media London, Inggris)
Reuters yang pertama menggulirkan kabar tentang rencana penerbangan Menteri Luar Negeri Indonesia ke Myanmar, menurut surat dari Kementerian Perhubungan tertanggal Selasa (23/2/2021).
Menurut informasi dari pejabat otentik yang diterima Reuters, Retno Marsudi juga telah menggalang dukungan di Asia Tenggara untuk pertemuan khusus tentang Myanmar.
Melansir Reuters pada Rabu (24/2/2021), terdapat informasi dari berbagai sumber yang mengatakan Jakarta mengusulkan ASEAN mengirimkan pengawas untuk memastikan para jenderal mengadakan "pemilihan yang adil dan inklusif".
Sontak kabar itu menyulut amarah massa anti-kudeta Myanmar, yang memperjuangkan hasil pemilu pada November lalu, di mana hasil dimenangkan oleh Aung San Suu Kyi, tapi ditentang oleh para jenderal militer hingga terjadilah kudeta.
Pertemuan di Myanmar memicu keraguan dari beberapa pengguna Twitter dan The Future Nation Alliance, sebuah kelompok aktivis yang berbasis di Myanmar.
Kelompok itu mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa kunjungan Retno akan "sama saja dengan mengakui junta militer".
The Future Nation Alliance menuntut pejabat asing bertemu dengan Htin Lin Aung, perwakilan dari Komite Perwakilan Pyidaungsu Hluttaw (CRPH), yang dibentuk oleh anggota parlemen yang digulingkan, yang telah ditunjuk sebagai "satu-satunya pejabat yang bertanggung jawab untuk hubungan luar negeri".
"Kami sangat menentang dan mengutuk Indonesia karena mengirimkan utusan pemerintah ke Burma untuk komunikasi resmi dengan rezim kudeta," kata pernyataan itu.
2. AFP (Kantor berita Prancis)
AFP, pada Selasa (23/2/2021), menyebutkan bahwa Indonesia menjadi salah satu negara yang mendukung peran perantara perdamaian, ketika negara terkaya di dunia mengutuk junta militer yang melawan protes anti-kudeta dengan kekerasan.
AFP menyoroti Indonesia melalui Menteri Luar Negeri akan menjadi utusan asing pertama yang mendarat di Myanmar sejak kudeta 1 Februari.
Indonesia disebut telah proaktif dalam melobi negara-negara tetangga untuk membantu menengahi krisis melalui Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara.
Sementara itu, utusan khusus PBB untuk Myanmar, Christine Schraner Burgener juga ingin untuk mengunjungi negara Seribu Pagoda itu, dalam waktu dekat ini.
"Mereka (orang-orang Myanmar) mengatakan saya selalu disambut 'tetapi untuk saat ini Anda tidak bisa datang', jadi ya, tapi belum (berancana ke sana)," katanya kepada France 24 menjelang pertemuan khusus Majelis Umum PBB di Myanmar yang dijadwalkan pada Jumat (26/2/2021).
3. Associated Press/AP (Kantor berita AS)
APmelaporkan di antara slogan protes massa terhadap kudeta militer, terdapat seruan yang berbunyi untuk Indonesia, "Teman atau Musuh. Anda pilih, Indonesia".
Melansir AP pada Selasa (23/2/2021), menyebutkan bahwa Indonesia saat ini tengah menjadi target amarah baru masyarakat Myanmar anti-kudeta.
Berkumpul di Kedutaan Besar Indonesia mereka membawa papan dengan seruan-seruan yang menentang junta militer dan para pihak yang dianggap sekutu mereka.
Kemarahan massa berangkat dari laporan berita bahwa Jakarta sedang mengusulkan kepada tetangga regionalnya bahwa untuk menawarkan dukungan yang memenuhi syarat terhadap rencana junta mengadakan pemilu tahun depan.
Para demonstran menuntut agar hasil pemilu tahun lalu, yang dimenangkan secara telak oleh partai Liga Nasional untuk Demokrasi Aung San Suu Kyi, dihormati.
“Yang saya harapkan, sebagai warga negara Myanmar, adalah berdiri dengan kebenaran. Kami tidak bisa menunggu satu tahun," kata seorang demonstran, Han Ni seperti yang dikutip dari AP pada Selasa (23/2/2021).
Laporan kantor berita internasional, yang diterbitkan pada Senin (22/2/2021), memicu kekecewaan di antara para pendukung gerakan protes anti-kudeta.
Dikatakan Indonesia sedang berusaha agar sesama anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara menyetujui rencana aksi untuk memenuhi keinginan junta, yaitu mengadakan pemilihan yang bebas dan adil dalam waktu satu tahun ke depan.
Sementara itu, kelompok yang terdiri dari Kanada, Perancis, Jerman, Italia, Jepang, Inggris, Amerika Serikat dan Uni Eropa, mengutuk kekerasan yang dilakukan oleh pasukan keamanan Myanmar dan menuntut mereka bertindak dengan menahan diri sesuai standar internasional atas nama hak asasi manusia.
"Siapapun yang menanggapi protes damai dengan kekerasan harus dimintai pertanggungjawaban," kata mereka.
4. South China Morning Post (SCMP)
SCMP, melaporkan para tuntutan sejumlah massa protes anti-kudeta yang menentang langkah Indonesia.
"Tidak ada alasan kami menginginkan pemilu ulang, kami telah melakukan pemilu dengan adil dan jujur pada 2020," ujar Thet Htoo Aung (26 tahun), salah satu demonstran kepada SCMP yang dilansir pada Selasa (23/2/2021).
"Tolong hargai pilihan kami. Itu benar-benar suara kami dan kami tidak berniat melakukan pemilihan lagi," tandasnya.
Demonstran lain, Zaw Myo Htet (22 tahun) mengatakan kepada This Week in Asia bahwa para pengunjuk rasa marah dengan berita rencana yang dilaporkan Indonesia.
“Alasan kami tidak ingin pemilu lagi karena kami sudah melaksanakan pemilu yang adil dan bersih pada 2020,” ujarnya.
Tidak ada tempat untuk kudeta militer.
SCMP menyebutkan di Twitter, penentang kudeta Myanmar mengatakan Indonesia harus mendukung transisi demokrasi Myanmar, yang dimulai sekitar satu dekade lalu setelah hampir 50 tahun pemerintahan militer langsung.
Baca Juga: Hilang Misterius, Uang Nasabah BRI Lenyap Tanpa Jejak, Pihak Bank Gandeng SSI untuk Usut Kasus
Dalam artikel SCMP disebutkan juga sejarah Indonesia yang pernah berada dalam situasi, di mana kekuatan militer mendominasidi bawah pemerintahan otoriter Orde Baru yang dipimpin oleh jenderal Suharto yang menjadi diktator, selama lebih dari tiga dekade.
SCMP menggambarkan kondisi Myanmar yang tak jauh bebeda dengan Indonesia era Orde Baru.
Angkatan bersenjata selama beberapa dekade telah menikmati kekuasaan yang mencakup semua di nusantara, termasuk memegang kursi parlemen dan posisi kabinet.
Pada awal periode Reformasi, akhirnya sipil dan militer terpecah menjadi dua lembaga yang berbeda, dan militer mundur dari urusan sipil.
Kementerian Luar Negeri RI membantah pemberitaan yang menyebut bahwa Indonesia mendukung rencana militer Myanmar untuk menyelenggarakan pemilihan umum baru, setelah kudeta terhadap pemerintahan sipil negara itu pada 1 Februari lalu.
“Saya membantah adanya plan of action (rencana aksi—red). Itu sama sekali bukanlah posisi Indonesia,” kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah merujuk pada rencana aksi pemilu baru yang diberitakan Reuters tengah didorong oleh Indonesia untuk disetujui oleh negara-negara Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN).
Sebaliknya, Faizasyah menegaskan, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi sedang berupaya melakukan konsultasi dan mengumpulkan pandangan dari negara-negara ASEAN, sebelum pelaksanaan pertemuan khusus para menlu ASEAN untuk membahas krisis politik di Myanmar.(*)