Find Us On Social Media :

Setahun Adaptasi Belajar Tanpa Tatap Muka, KPAI Bongkar Fakta Penurunan Jumlah Pelajar karena Putus Sekolah Selama Pandemi, Berikut Alasannya!

Anak-anak di sekolah dasar Gustav-Falke, di Berlin, Jerman.

 
Gridhot.ID - Jumlah anak putus sekolah selama masa pandemi covid 19 mengalami peningkatan.  
 
Dari pemberitaan yang banyak tersebar, selama sekolah jarak jauh ini, banyak teman-teman pelajar yang kesulitan mendapat akses internet serta berkekurangan mendapat jatah kuota sehingga mereka pun harus menghentikan kegiatan belajarnya.
 
Padahal menurut paparan Retno Listyarti, Anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dalam laporan pengawasan Sekolah Jarak Jauh sejak Januari 2021 ini, ada lima alasan yang menyebabkan pelajar putus sekolah, yaitu karena menikah, bekerja, menunggak Iuran SPP, kecanduan game online dan meninggal dunia. 
 
Baca Juga: Terjebak Bujuk Rayu Pelakor, Rumah Tangga Pengusaha Kaya Ini Ikut Hancur Usai Kehadiran Mayangsari, Kepergok Sang Istri Belikan Jaguar untuk Istri Bambang Trihatmojo
 
 
"Faktanya, KPAI justru menemukan data-data lapangan yang menunjukan angka putus sekolah cukup tinggi, terutama menimpa anak-anak yang berasal dari keluarga miskin,” ungkap Retno dalam siaran tertulis yang HAI terima, Sabtu (6/3/2021) ini.
 
Adapun berdasarkan hasil pantauan KPAI selama Januari-Februari 2021 saja sudah menunjukkan  angka putus sekolah yang memprihatinkan. 
 
Uraian datanya diperoleh KPAI dari wilayah pantauan, antara lain Kota Bandung, Cimahi,  Bengkulu, Kabupaten Seluma dan Provinsi DKI Jakarta.  
Baca Juga: Buntut Mutasi Ragam Virus Corona Baru Makin Ngeri, Muncul Spesifikasi Golongan Darah yang Bakal Rentan Terpapar, Berikut Penjelasan Ahli
 
Pemantauan di lakukan dengan pengawasan langsung untuk Kota Bandung dan Cimahi, dan wawancara secara online dengan guru dan Kepala Sekolah jaringan guru Federasi Serikat guru Indonesia (FSGI). 
 
Berikut hasil pemantauan yang dilakukan KPAI pada Februari 2021, beserta temuan kelima alasan pelajar putus sekolah berdasarkan wartakota.com.
 
 
1. Menikah tanpa sepengetahuan sekolah
 
Pelajar yang berhenti sekolah karena menikah jumlahnya mencapai 33 peserta didik. Ini terkadi di kabupaten Seluma, Kota Bengkulu dan Kabupaten Bima. 
 
Rata-rata siswa yang menikah berada di kelas XII, yang beberapa bulan lagi ujian kelulusan sekolah.  Karena masih PJJ, maka mayoritas siswa sudah menikah itu tanpa sepengetahuan pihak sekolah. 
 
"Wali kelas atau guru Bimbingan Konseling (BK) baru mengetahui setelah dilakukan home visit karena tidak pernah lagi ikut PJJ," papar Retno lagi.
 
Baca Juga: Miris, Sering Umbar Kemesraan di TikTok, Gadis 17 Tahun Asal Bandung Ini Tewas di Hotel Usai Dijajakan Pacar dan Kakaknya Sendiri, Polisi Bongkar Kronologi
 
Angka 33 siswa menikah di awal tahun 2021 merupakan angka yang cukup tinggi. Pada tahun 2020 dari hasil pengawasan penyiapan sekolah tatap muka diperoleh data angka putus sekolah mencapai 119 kasus, yang wilayahnya meliputi Kabupaten Bima, Sumbawa Barat, Dompu,  Lombok Barat, Lombok Timur, Lombok Utara, kota Mataram, Kota Bengkulu, Seluma, Wonogiri, Jepara, dan kabupaten Bandung. 
 
“Di Buton, baru saja berlangsung (6/2/2021) perkawinan antara anak usia 14 tahun dengan anak usia 16 tahun, ini tentu menambah jumlah anak yang putus sekolah karena menikah,” beber Retno lagi.
 
Baca Juga: Bak Bola Sepak, Heboh Video Karyawati Lokal yang Lagi Makan Ditendang TKA Korea, Ternyata Begini Duduk Perkaranya
 
2. Pelajar terpaksa bekerja 
 
Sejumlah siswa SMK dan SMP terpaksa bekerja karena orangtua terdampak secara ekonomi selama pandemi sehingga anak harus membantu ekonomi keluarga. 
 
"Ada 1 siswa SMPN di Cimahi bekerja sebagai tukang bangunan demi membantu ekonomi keluarganya. Ada 1 siswa di Jakarta yang bekerja di percetakan membantu usaha orangtuanya karena sudah tidak punya karyawan dan sepi orderan cetakan," ungkapnya lagi.
 
3. Siswa menunggak SPP berbulan-bulan
 
Kasus menunggaknya iuran SPP yang mengadu ke KPAI jumlahnya cukup tinggi. Terhitung mulai Maret 2020 s.d. Februari 2021 ada 34 kasus. 
 
"Tiga diantaranya berasal dari sekolah yang sama. Hampir 90 persen kasus berasal dari sekolah swasta dan 75 persen kasus berada dari jenjang SMA/SMK," beber Retno lagi.
 
Penunggak sekolah terjadi karena biasanya kena dampak langsung pandemi di mana ekonomi keluarga dari anak-anak tersebut anjlok. Bakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja mereka sulit, sehingga bayar SPP yang dikorbankan.  
 
Baca Juga: Sempat Bantah Soal Isu Kudeta, Kini Moeldoko Justru Buat Gonjang-ganjing Partai Asuhan SBY, Terima Jabatan Ketum Kubu Demokrat Kontra AHY
 
"Rata-rata yang mengadu sudah tidak membayar SPP 6-11 bulan, faktor ekonomi keluarga yang terpuruk selama pandemic menjadi penyebab utama," jelasnya.
 
Sempat ada pengaduan dari sekolah di Pekanbaru dimana ketiga siswa swasta  sama sudah tidak dapat mengakses pembelajaran daring lantaran menunggak spp. 
 
"Sudah dikeluarkan dari grup whatsApp kelasnya dan salah satu anak akan ujian kelulusan sebentar lagi. Kasus ini dalam proses penanganan oleh KPAI, pihak sekolah dan Dinas Pendidikan kota Pekanbaru sudah dimintai klarifikasi. Tahapan selanjutnya adalah mediasi demi pemenuhan ha katas pendidikan  ketiga anak tersebut," terang Retno juga.
 
Baca Juga: Setelah Ashanty, Kini Beredar Kabar Adelia Pasha Ramai-ramai Diberitakan Meninggal, Begini Fakta Sebenarnya, Kapolsek Pulogadung Ikut Angkat Bicara
 
Beberapa sekolah juga melakukan penahanan ijasah anak yang lulus tahun 2020 karena sampai sekarang belum melunasi pembayaran SPP.
 
Yang parah sekolah sampai tega mengeluarkan siswa penunggak tersebut. Kasus-kasus ini berasal dari berbagai wilayah seperti Jakarta, Bandar Lampung, Makasar, Denpasar, Pekanbaru, kota Tangerang Selatan, dan Cirebon.
 
4. Kecanduan game online 
 
Punya kuota, bisa bayar SPP tapi saat dilakukan pengawasan pelajar di kota Cimahi, KPAI mendapatkan data bahwa ada 2 anak kelas 7 SMP yang berhenti sekolah karena kecanduan game online, satu diantaranya berhenti sementara (cuti) selama 1 tahun untuk proses pemulihan psikologi. 
 
"Guru menceritakan, anak-anak yang pagi hari tidak muncul di PJJ online ternyata masih tidur karena main game online hingga menjelang subuh," tuturnya.
 
KPAI menghitung jika di rata-rata di setiap kabupaten/kota ada minimal 2 kasus serupa, maka total di seluruh Indonesia bisa ada seribuan anak atau lebih mengalami kecanduan game online. 
 
Baca Juga: Siap Dikirim Negara untuk Musnahkan KKB Papua yang Beringas, Ipda Listra Kini Jadi Sorotan, Penampilannya yang Mempesona di Luar Seragam Brimob Buat Pangling Atas Kemampuannya yang Mematikan
 
5. Siswa Meninggal Dunia
 
Hasil pemantauan kasus siswa putus sekolah karena meninggal dunia terjadi di salah satu SMAN di Kabupaten Bima karena terseret arus ketika bencana banjir pada Januari lalu.
 
Satu siswa lainnya berasal  dari salah satu SMK Swasta di Jakarta yang meninggal karena kecelakaan motor.  
 
Jadi secara data KPAI, ada 2 siswa yang putus sekolah karena meninggal pada semester genap tahun ajaran 2020/2021. 
 
Baca Juga: Atlet Kalah Netizen Bertindak, Akun GothamChess Jadi Sasaran Keganasan Warganet Indonesia Usai Blokir Dewa Kipas: Tolong Berhenti Menyerang Kami
 
Atas temuan ini, KPAI meminta negara harus hadir untuk mencegah anak-anak putus sekolah selama pandemi karena masalah ekonomi atau karena ketiadaan alat daring.  
 
"Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah harus segera melakukan pemetaan peserta didik yang putus sekolah beserta alasannya. Hasil pemetaan dapat digunakan sebagai intervensi pencegahan oleh Negara. Hak atas pendidikan adalah hak dasar yang wajib di penuhi Negara dalam keadaan apapun," terangnya.
 
Selain itu, faktor yang menyebabkan peserta didik berhenti sekolah karena menikah, bekerja dan menunggak SPP,  umumnya di sebabkan oleh faktor kesulitan ekonomi dan alat daring juga jadi perhatian.  
 
"Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah harus membantu kelompok rentan ini, yaitu anak-anak dari keluar miskin yang sangat berpotensi kuat untuk putus sekolah," jelasnya. (*)